Sebagai agama monoteis, soteriologi Katolik dan beberapa Kekristenan arus utama dapat dilihat sebagai sebuah aberasi. Batas-batas bagi keselamatan seseorang diletakkan dalam prerogatif kekuasaan Allah, sehingga sepenuhnya tidak dapat didefinisikan (Samarenna, 2019). Keselamatan bagi umat Kristiani adalah sama tidak pastinya dengan yang tidak memaknai ajarannya. Sementara, atribut devosi lain: doa, syafaat, sampai pembacaan kitab tidak menjamin tercapainya surga bagi seseorang. Walau menjadi bahan perdebatan sepanjang zaman, keyakinan soteriologi tersebut nyaris harga mati. Kalau bisa dimaktubkan—terutama dari peristiwa reformasi gereja—skisma boleh saja terjadi asal soteriologi tidak terusik.
Uniknya, apabila kecenderungan tersebut justru membuat soteriologi bergaya prerogatif ke-Allah-an terlihat eksklusif bagi Katolik atau Ortodok saja, maka kini terjadi sebaliknya. Kebanyakan denominasi gereja yang masih bertahan, bahkan aliran kharismatik sekalipun, menghayati nilai mutlak bagi kebebasan Allah (Zaliwu et al., 2022). Malahan, lima sola yang menjadi dasar bagi gereja pascareformasi juga ikut ditransformasikan. Keberadaannya bukan lagi berlaku layaknya prasyarat keselamatan sebagaimana dulu dimaksudkan oleh Martin Luther (Fajarensa & Talan, 2023). Toh, bila masih menyandang dikotomi sebagai soteriologi; keberadaan sola yaitu sola gratia (oleh anugerah), maka kondisi ini akan menjadi semakin tidak dapat dipahami. Untuk apa perlu dua-atau-empat sola lain, jika manusia hanya dapat selamat oleh karena anugerah Yang Ilahi? Dengan mengabaikan bagaimana keselamatan nantinya berlangsung, misalnya yang dianut dalam soteriologi universalisme— pada akhirnya segenap umat manusia akan menjejaki surga setelah menanggung hukuman dalam kurun waktu tertentu. Pantas-pantas saja apabila titik singgung interdenominasi terbesar Kekristenan justru terletak pada keyakinan soteriologi yang sama.
Sekiranya hendak didefinisikan, masalah kesadaran interdenominasi semacam ini terletak pada pendefinisiannya dalam keberagaman tafsir. Akibat perbedaan perangkat dan metode hermeneutis yang begitu luas, soteriologi seringkali dipandang terlampau khusus. Lahir banyak soteriologi, seperti universalisme, calvinisme, hingga arminianisme dengan pemahaman subtilnya masing-masing. Padahal, parameter paling dasar yang diberlakukan agar kumpulan denominasi tidak memaklumatkan heresi satu dengan yang lainnya terlihat sangat jelas: padunya keyakinan bahwasanya tindakan soteria (keselamatan) paling besar merupakan Missio Dei (pekerjaan Allah) dan tidak bersifat antroposentris (Sihombing, 2012). Umumnya, dinyatakan melalui pengorbanan Al Masih di atas kayu salib.
Lantas, apa yang dapat kita miliki dengan mengambil irisan interdenominasi tersebut? Suatu soteriologi monoteis sederhana yang teosentris dengan hanya meyakini bahwa keselamatan adalah sepenuhnya pekerjaan dan pemberian Allah: orang yang beriman akan berbagi ketidakpastian yang sama dengan mereka yang tidak beriman. Bahkan, di antara keduanya pun, pengampunan dan pengabaian atas dosa masih harus dilakukan oleh Yang Ilahi—jelas, dalam agama manapun nyaris mustahil menjadi individu tanpa dosa. Yang terjadi adalah Allah melakukan tindakan kompromi dengan individu ciptaannya—bukan dengan dosa—sebagai makhluk yang tidak sempurna dan berusaha meraba keberadaan Tuhan. Oleh karena beberapa alasan tersebut, demi berjalannya diskursus, keberadaan irisan soteriologi interdenominasi akan lebih lanjut dipanggil melalui terminologi soteriologi kompromi.
Di satu sisi, soteriologi kompromi akan membawa agama dalam posisi yang mudah digugat dan dieksaminasi keberadaannya. Tentu potensi tersebut adalah celaka besar bagi perkembangan rumah tangga tiap agama. Beberapa implikasinya juga terkesan tidak biasa: pencarian akan Yang Ilahi dalam ranah pribadi menjadi hal yang tidak lagi tabu, wawasan akan iman naik menjadi urgensi beragama paling tinggi, dan dialog antar agama dapat terbuka semakin lebar. Segalanya dapat terjadi karena umat dapat terbebas dari kungkungan teror angkara murka neraka. Implikasi bagi soteriologi kompromi jelas besar. Bahkan, dengan eksaminasi keimanan tanpa akhir — sebagai istilah pengganti untuk teror tanpa akhir —Nietzsche akan tampak konyol bila masih menyerukan eksklusifitas Übermensch. Dengan hilangnya ancaman dan timbulnya kesadaran bahwa segalanya adalah mutlak keputusan Yang Ilahi, maka semua orang bisa menjadi manusia super.
Di sisi lain, soteriologi kompromi juga akan memberi demarkasi jelas pada keimanan agama-agama modern, sebab keyakinan menjadi tidak deterministik layaknya yang kini terjadi. Manusia memiliki kemampuan dan peluang yang sebebas-bebasnya untuk menginternalisasikan apa yang paling ideal menurut budinya, alih-alih dibatasi oleh agama warisan. Tindak peribadatan juga berubah dari, yang semula, digunakan sebagai upaya mendekati surga, menjadi bentuk paling utuh dari kecintaan pada Allah. Manusia dapat memilih untuk menyembah keberadaan Yang Ilahi, tanpa peduli akan berakhir di surga atau terbakar di neraka. Semua karena cinta semata.
Kesadaran soteria yang dinyatakan dalam soteriologi kompromi bukanlah hasil kebudayaan mentah. Apabila penciptaannya terjadi melalui irisan interdenominasi Kekristenan — sehingga bersifat teosentris — maka potensi terbaiknya sebagai suatu ciri khas monoteistik dapat tercapai bila kompromi yang sama dapat ditemui dalam agama-agama lain yang sejenis. Keberadaan soteriologi kompromi tidak akan memiliki arti, apabila penghayatan mentahnya dicari dalam ajaran Kristen. Toh, dogma-dogma eksklusif dalam penyelenggaraan keagamaan pasti tetap ada. Misalnya, Extra Ecclesiam nulla salus pada Gereja Katolik, yang meyakini bahwa di luar Gereja tidak terdapat keselamatan (Saeng, 2020).
Tentu, kita tidak dapat mengharapkan alasan-alasan teosentris yang sama dalam pembenaran soteriologi kompromi. Namun, yang pasti, suatu genealogi menjadi tahap yang diperlukan dalam menentukan unsur aksiologi — pada kondisi mentah — apa saja yang dapat digunakan sebagai legitimasi kompromi surgawi. Nantinya, dengan memegang nilai-nilai tersebut, menentukan keberadaan soteriologi kompromi pada agama-agama monoteis lain, akan menjadi proses yang lebih mudah.
Digunakannya Kekristenan sebagai bahan dalam mensintesiskan soteriologi kompromi sebenarnya sudah cukup memudahkan. Alkitab, yang menjadi pijakan genealogi, dapat dimaknai bukan saja sebatas teks, sebab ditulis dengan suatu kepekaan waktu. Menggali soteriologi tidak hanya dilakukan secara hermeneutis (mengenai apa yang dimaksud oleh teks?) melainkan juga filologis (mengenai apa yang hendak diceritakan oleh zaman?). Metode semacam ini malahan bukan prosedur yang baru. Aplikasinya umum ditemui di beberapa upaya genealogi metafisik yang memiliki pendekatan waktu. Albert Camus, misalnya, dalam L’homme Révolté menafsirkan kisah inkarnasi Kristus sebagai bagian dari genealogi pemberontakan metafisik: dalam diri-Nya Allah berhenti bersikap apatis dan mau melebur dengan ciptaan, sejak saat itu pemberontakan kepada dewa-dewi kuno dapat diredam dari literatur dan kesusastraan.
Permulaan soteriologi kompromi dalam sejarah Kekristenan tidak dapat dibatasi pendek pada keluarnya Konsili Vatikan II. Tidak dapat dipungkiri bahwa sikap Gereja untuk tidak menolak nilai religius — yang dinyatakan melalui “apapun yang dianggap benar dan suci”— di agama-agama lain muncul dari dokumen-dokumen Konsili Vatikan II. Akan tetapi, kesadaran tersebut sudah dibagun, bahkan sejak Konsili Vatikan I. Kendati bertujuan mendefinisikan peran Gereja, nyatanya Konsili Vatikan I tidak secara eksplisit membuat garis penghubung antara pembenaran oleh iman dengan ajaran Kekristenan.
Sebaliknya, penulis yakin bahwa upaya untuk menafahus soteriologi kompromi paling jauh dapat ditemukan melalui sabda Kristus di atas kayu salib. Dalam peristiwa penyaliban Yesus, yang dituliskan oleh Lukas — jauh sebelum segala peristiwa penting, baik fisik maupun ilahi, terjadi sepanjang penyaliban — Ia memulai penderitaannya dengan suatu pemakluman terbesar bagi sejarah umat manusia: “Πάτερ, ἄφες αὐτοῖς· οὐ γὰρ οἴδασιν τί ποιοῦσιν.” (“Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”). Sembari mewartakan penebusan melalui kucuran darah, kebudayaan zaman itu menggambarkan Allah sebagai pribadi yang mampu memaklumi keterbatasan manusia dalam memahami kehendaknya.
Dengan mensintesis kompromi Kristus tersebut, kita dapat memahami bahwa pemakluman terbesar yang dapat Allah berikan bagi manusia terletak dalam keterbatasan budinya. Pertama-tama, sebagai Yang Maha Pencipta, keberadaan Yang Ilahi mensyaratkan suatu kepekaan, bahwa manusia diciptakan dengan batasan budi yang kuat, terutama untuk memahami kehendak-Nya. Oleh sebab itu, segala upaya yang bertujuan untuk mencari keberadaan-Nya—berarti melakukan pencarian atas suatu agama—tentu diinisiasi oleh niat baik.
Selanjutnya, pemakluman atas budi tersebut juga berarti suatu kesadaran bahwa manusia hanya dapat memahami apa yang, secara kognitif, bersentuhan dengannya: sesuatu yang asing tentu tidak dapat serta-merta diyakini. Demikian halnya dengan keterbatasan bagi pewartaan agama yang benar hingga ke peradaban manusia yang paling tua dan antik. Allah tidak dapat menuntut masyarakat etnik di pedalaman hutan pulau Huwalahumba (hanya ilustrasi) yang paling dalam, untuk menyembahNya, apabila toh masyarakat tersebut sama sekali belum mengenal konsep ketuhanan.
Melalui kedua konsep tersebut, kompromi Yang Ilahi mulai dapat terlihat pada agama-agama monoteis lain. Misalnya, Islam yang meyakini bahwa pencarian akan Yang Ilahi merupakan hidayah (wahyu) langsung dari Allah. Sementara, dalil ketidaktahuan (bahwa murka Allah tidak jatuh kepada manusia yang bahkan tidak memiliki akses menuju ide-ide tentang diriNya), secara umum, justru sudah dipegang oleh mayoritas agama monoteis.
Soteriologi kompromi jelas bukan hal yang nyata. Keberadaannya dapat membuat agama menjadi banyolan tanpa klaim keunggulan mutlak. Namun, melalui pengandaiannya, kita dituntut untuk menyadari bahwa agama tidak pernah diciptakan sebagai suatu nilai yang deterministik. Di samping penghayatan spiritual, keyakinan pada suatu agama harus berdiri atas dasar pengetahuan iman. Oleh karenanya, segala bentuk rasa ingin tahu dan pencarian akan kebenaran bukanlah dosa yang harus ditanggung oleh manusia dalam ratap. Sudah menjadi bagian dari masing-masing pribadi untuk pergi sejauh-jauhnya guna mencari kebenaran, bahkan bila akhirnya Allah bukan bagian dari kebenaran tersebut, sekurang-kurangnya kita tahu betul bahwa jalan-jalan eksodus bagi akal budi tidak dihantui oleh angkara murka ilahi.
Referensi
Camus, A. (2018). Pemberontak. Narasi.
Fajarensa, C. J., & Talan, Y. E. (2023, 6 27). Memahami Konsep Sola Fide dari Perspektif Para Reformator dan Implementasinya bagi Orang Percaya Masa Kini. SESAWI: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen, 4(2), 214-230. 10.53687
John Paul II. (1995). Evangelium vitae [Encyclical letter]. https://www.vatican.va/content/john-paul-ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_25031995_evangelium-vitae.html
Saeng, V. (2020, 11 20). Konsili Vatikan II: Sebuah Revolusi Sunyi dan Pengaruhnya bagi Gereja Katolik Indonesia. Seri Filsafat Teologi Widya Sasana, 25(24), 289-312. https://doi.org/10.35312/
Samarenna, D. (2019, 12). Konsep Soteriologi Menurut Efesus 2:1-10. FIDEI: Jurnal Teologi Sistematika Dan Praktika, 2(2), 247-264. https://doi.org/10.34081/fidei.v2i2
Sihombing, A. F. (2012, 12 31). Soteoria untuk Missio Dei Anugrah Keselamatan untuk Misi Allah. Te Deum (Jurnal Teologi Dan Pengembangan Pelayanan), 2(1), 169-183. https://doi.org/10.51828/td.v2i1.116
Zaliwu, F. Y., Soliyanto, I. K., & Waruwu, K. M. (2022, 12). Penghakiman Yang Akan Datang: Refleksi Teologis Bagi Kehidupan Kristiani. DIEGESIS: Jurnal Teologi Kharismatika, 5(2), 97-111. https://doi.org/10.53547/diegesis.v5i2.266
Jonathan Sihotang
Penulis lepas dan peneliti belia dengan lingkup studi sastra, sejarah, filsafat, dan bidang-bidang humaniora lain. Pada 2023, mendapat penghargaan dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi dalam riset bidang antropologi.