Jordan B. Peterson layaknya dosen filsafat yang tiba-tiba jadi selebritas internet. Ia adalah psikolog klinis dan profesor asal Kanada yang terkenal karena cara bicaranya yang berapi-api, penuh argumen, tapi kadang bikin dahi berkerut. Jika ditanya “mengapa ia bisa terkenal?” jawabannya adalah kombinasi antara buku larisnya, ceramah yang sering viral, dan berita kontroversi yang tidak pernah jauh darinya. Bukunya yang paling terkenal, 12 Rules for Life: An Antidote to Chaos, isinya mengenai panduan hidup namun ditulis dengan gaya “kamu harus ambil tanggung jawab hidup, bro, atau hidupmu bakal kacau.” Salah satu pesannya yang paling sering dikutip adalah “bersihkan kamarmu dulu sebelum kamu coba beresin dunia.” Intinya, Peterson di sini berlaku sebagai orang tua yang selalu bilang, “Stop rebahan, ayo mulai gerak!” Sesuatu yang tidak terdengar filosofis namun menginformasikan pada kita jika hidup dibentuk dan bukan bergerak dengan sendirinya.
Peterson juga dikenal karena pandangannya tentang politik, budaya, dan gender, yang sering membuat netizen berkomentar di setiap post-nya. Kadang pandangannya dianggap bijak, tapi kadang juga dianggap kontroversial, tergantung konteks dan hal yang dibahasnya. Hal menarik dari Peterson lainnya adalah ia dengan mudah membuat analogi tentang lobsters. Ia sering menggunakan lobster sebagai contoh untuk membahas hierarki sosial di alam, yang sayangnya justru lebih sering digunakan sebagai bahan meme. Namun di samping banyak kontroversi mengenai Peterson, kita perlu mempelajari bagaimana teladannya dalam menulis.
Menulis, menurut Peterson adalah seperti menanam benih di tanah subur; aktivitas ini memiliki potensi untuk menyuburkan kesehatan fisik, kesejahteraan mental, dan produktivitas hidup. Seperti kata pepatah, “Luka lama sembuh oleh obat, luka batin sembuh oleh kata.” Menulis menurut Peterson adalah tentang pengalaman traumatis bukan sekadar menggoreskan pena, tetapi juga mengurai simpul yang membelenggu jiwa. Dalam penelitian, orang yang menuangkan perasaan tentang trauma mereka mengalami peningkatan kesehatan secara keseluruhan—mereka lebih jarang ke dokter, imun tubuh lebih kuat, dan bahkan nilai akademik mereka membaik. Menulis memberi ruang untuk pikiran-pikiran berat terbang seperti asap, meninggalkan ruang lega yang memperbaiki kapasitas memori kerja.
Selain itu, menulis tentang masa depan ideal ibarat memahat peta kehidupan di atas batu. Ketika seseorang menggambarkan mimpinya, mereka seperti “menggenggam bara api dengan tangan,” membakar semangat yang membawa perubahan nyata. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang menuliskan gambaran terbaik dari diri mereka di masa depan menjadi lebih bahagia dan puas dengan hidup. Bahkan, mereka juga cenderung lebih sehat, jarang mengunjungi dokter. Menuliskan tujuan hidup ibarat membangun jembatan kokoh menuju pulau impian; setiap kata menjadi batu fondasi yang menghubungkan cita-cita dengan kenyataan.
Menulis juga menurut Peterson juga memiliki kekuatan yang tak terhingga dalam meningkatkan produktivitas. “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian,” begitu kira-kira gambaran proses ini. Peterson menekankan pentingnya menetapkan tujuan yang jelas dan menantang, karena ini jauh lebih efektif daripada sekadar berharap yang terbaik tanpa arah. Orang yang menetapkan dan menulis tujuan intrinsik—tujuan yang lahir dari dalam hati, bukan dari tekanan luar—lebih mungkin mencapainya. Mereka seperti “mengukur baju di badan sendiri,” memahami apa yang benar-benar penting dan relevan untuk hidup mereka.
Pada akhirnya, menulis menjadi alat untuk mengubah kekacauan menjadi keteraturan, seperti “menyusun batu bata menjadi rumah.” Peterson percaya bahwa menulis tidak hanya membantu kita memahami diri sendiri, tetapi juga membangun masa depan yang lebih baik. Seperti peribahasa lama, “Tajam pisau karena diasah, tajam pikiran karena diasuh,” menulis adalah cara untuk mengasah pikiran, menyembuhkan luka batin, dan memperkuat tekad untuk melangkah lebih jauh dalam hidup.
Jika menulis adalah cara untuk menjelajahi pikiran dan memperbaiki diri, maka Jordan Peterson menyarankan agar seseorang memperlakukannya seperti menyusun bangunan megah: dimulai dengan fondasi yang kuat. Dalam pandangannya, agar gemar menulis, seseorang harus terlebih dahulu memahami bahwa menulis bukan hanya tugas sekolah yang membosankan, melainkan alat penting untuk berpikir lebih jernih, berargumen lebih kuat, dan bahkan menjalani hidup yang lebih terarah.
Menulis, menurut Peterson, adalah cara untuk menyaring ide. Ia menyebut bahwa proses ini memungkinkan kita “memilah gandum dari sekam,” membuang gagasan buruk, dan menyimpan yang baik. Dengan menulis, kita memahat pikiran menjadi lebih terstruktur dan koheren. “Jangan takut menulis buruk pada awalnya,” katanya, “karena karya yang selesai, meski belum sempurna, tetap lebih baik daripada tidak menulis sama sekali.” Seperti pepatah, “Gagal itu biasa, menyerah itu yang fatal,” Peterson percaya bahwa menulis adalah latihan yang membutuhkan keberanian untuk memulai tanpa rasa takut akan kesalahan.
Ia juga memberikan beberapa saran praktis agar kebiasaan menulis menjadi lebih menyenangkan dan produktif. Salah satunya adalah pentingnya ruang kerja yang nyaman: gunakan dua layar komputer agar referensi dan tulisan dapat dilihat bersamaan, pilih kursi yang ergonomis, dan pastikan postur tubuh mendukung konsentrasi. Selain itu, Peterson menekankan pentingnya menulis di pagi hari, ketika otak segar dan lebih siap menghadapi tantangan intelektual.
Untuk mengatasi rasa malas atau kebosanan, Peterson mengingatkan bahwa pikiran cenderung memberontak saat memulai menulis. Ia menyarankan strategi sederhana: bertahan selama 15 menit pertama. Seiring waktu, gangguan akan mereda, dan fokus pun akan muncul. Menulis setiap hari, meski hanya sebentar, adalah rahasia utama untuk menumbuhkan kebiasaan ini.
Bagi Peterson, memilih topik yang bermakna adalah langkah kunci. Menulis tentang sesuatu yang tak menarik, katanya, adalah seperti “menggali sumur tanpa air.” Sebaliknya, topik yang penting bagi penulis dapat menjadi sumber gairah dan energi yang tak ada habisnya. Dengan memilih pertanyaan yang benar-benar ingin dijawab, menulis berubah dari tugas menjadi petualangan intelektual.
Akhirnya, Peterson mengingatkan bahwa “pena lebih tajam dari pedang,” menulis bukan sekadar tugas pribadi, tetapi juga alat untuk memengaruhi dunia. Dengan gagasan yang tertata dan terlatih, seseorang dapat mendaki hierarki kompetensi dan memberikan dampak nyata. Jika menulis menjadi bagian dari kehidupan, maka, seperti peribahasa, “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian,” hasilnya adalah pemikiran yang lebih tajam, hidup yang lebih produktif, dan dunia yang lebih baik.
Bayangkan hidup seperti berjalan di hutan lebat tanpa peta. Langkahmu terseok, salah jalan, bahkan mungkin terjebak di rawa. Jordan Peterson mengatakan, menulis adalah seperti menggambar peta itu—membuat jalur agar kita tidak hanya berjalan, tetapi melangkah dengan arah yang jelas dan tujuan yang nyata. Kata-katanya membakar semangat: menulis bukan hanya tentang mencatat, tetapi tentang berpikir, mengerti, dan akhirnya menguasai hidupmu sendiri.
Saat kita menulis, kita mengumpulkan potongan-potongan ide yang berserakan dalam pikiran kita, seperti tukang kebun yang mengubah lahan liar menjadi taman. Tidak semua bunga akan tumbuh sempurna; beberapa biji gagal, beberapa gulma harus dicabut. Namun, dengan menulis, perlahan kita akan menemukan bunga terbaik untuk dirawat. Peterson percaya bahwa proses ini akan memberimu kejelasan—dan kejelasan adalah kekuatan. “Orang yang bisa menyusun argumen terbaik hampir selalu menang,” katanya. Jika kita ingin didengar, dihormati, atau bahkan hanya dipahami, menulis adalah jalan menuju sana.
Namun, menulis itu tidak mudah, dan di sinilah banyak orang menyerah. Tapi Peterson mengingatkan: “Jangan takut buruk di awal. Lebih baik sesuatu yang belum sempurna daripada tidak ada sama sekali.” Dia tahu bahwa pikiran akan memberontak, mencari alasan untuk tidak memulai. Tapi seperti petani yang tahu bahwa panen hanya datang setelah kerja keras, Peterson mengatakan bahwa menulis setiap hari, bahkan sedikit, adalah kunci untuk membangun kebiasaan ini.
Lebih dari itu, dia ingin kita memahami bahwa menulis adalah cara untuk berkomunikasi tidak hanya dengan orang lain tetapi juga dengan diri kita sendiri. Saat kita menulis, kita menggali jauh ke dalam diri kita, menemukan apa yang benar-benar penting, dan mewujudkannya dalam kata-kata. Ini bukan hanya latihan intelektual; ini adalah latihan spiritual. Menulis adalah cara untuk memahami hidup yang kita jalani, memperjelas tujuan yang kita kejar, dan menciptakan makna dari kekacauan.
Peterson juga berkata bahwa kata-kata lebih kuat dari pedang. Peradaban dibangun di atas ide-ide yang tertulis, bukan sekadar otot yang diayunkan. Ketika kita belajar menulis dengan baik, kita tidak hanya menjadi lebih pintar; kita menjadi lebih berdaya. Kita dapat membela apa yang benar, melawan apa yang salah, dan memengaruhi dunia di sekitar kita.
Gilang Pambudi Ardhana
Pekerja lepas
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.