Pandangan Socrates mengenai demokrasi

Pemilihan merupakan sebuah ilmu pengetahuan dan bukan hanya sekedar intuisi. Lalu selayaknya sebuah ilmu pengetahuan, cara menentukan pilihan tersebut harus diajarkan pada sebuah instansi pendidikan.

Socrates merupakan seorang filsuf ternama yang dapat dikatakan sebagai peletak batu pertama dalam pemikiran filsafat yang berkembang di barat. Pemikiran Socrates banyak dikemukakan melalui buku yang ditulis muridnya, Plato, seorang filsuf yang namanya juga begitu termasyhur. Hal ini merupakan keunikan tersendiri dari Socrates, ia tidak banyak menuliskan sendiri hasil pemikirannya seperti filsuf-filsuf ternama lainnya. Pemikirannya justru lebih banyak muncul pada karya-karya muridnya, seperti Xenophon dan Plato. Socrates begitu terkenal sebagai seorang guru yang berfokus kepada ilmu pemikiran dan juga wawasan. Ia memiliki metode pembelajaran yang mendorong para muridnya untuk bersifat interogatif dalam memandang suatu permasalahan. Hal ini diharapkan dapat membuka diskursus serta pemikiran baru mengenai topik tersebut. Cara ia dalam berpikir tersebut membuatnya memiliki pendapat tersendiri mengenai demokrasi.

Dalam buku Republic karya Plato, Socrates mengutarakan bahwa ia keberatan dengan cara kerja demokrasi di kota Athena. Dijelaskan pula bahwa terdapat dialog antara Socrates dan Adeimantus. Socrates melontarkan pertanyaan kepada Adeimantus, “jika kamu hendak pergi berlayar ke lautan lepas, siapa pilihanmu untuk memimpin pelayaran tersebut? Tidak peduli entah siapa atau seorang yang memang teredukasi dalam hal pelayaran?” Adeimantus seketika berkata, “jawaban terakhir tentunya.” Socrates lalu berucap “lantas mengapa kita membiarkan semua orang memiliki suara untuk menentukan siapa yang cocok memimpin?”

Pada kesempatan lain, Socrates juga mengutarakan studi kasus mengenai jika seorang dokter dan penjual permen berada dalam sebuah debat pemilihan. Penjual permen dapat dengan mudah berkata bahwa ia akan membolehkan semua orang untuk memakan permen sesuka hati mereka, ia tidak akan melarang-larang seperti sang dokter. Sementara sang dokter tidak dapat mengatakan hal yang sama, ia juga tidak dapat berkata bahwa “saya melarang untuk kebaikan kalian” tentunya. Hal ini begitu sering kita jumpai dalam kampanye pemilihan pada demokrasi modern, pemilih yang termakan janji-janji manis dari bakal calon.

Untuk menghindari hal tersebut, kita sebagai pemilih harus benar-benar mengeliminasi seluruh logical fallacy sebelum akhirnya menentukan pilihan. Logical fallacy sendiri dipahami sebagai suatu kesalahan umum dalam akar pemikiran yang akan merusak landasan logika dari argumen itu sendiri. Alhasil, argumen yang terlihat benar tersebut sebenarnya mengandung kesalahan fatal dalam cara bernalarnya. Ada banyak jenis fallacy yang beredar secara umum dalam cara berpikir masyarakat, bahkan dari permasalahan kecil sekalipun. Hal ini begitu disayangkan karena kesalahan berpikir pada masalah kecil tadi dapat menjalar hingga ke permasalahan besar. Seperti pada saat pemilihan calon pemimpin dan perwakilan rakyat, saat di mana cara berpikir yang jernih benar-benar sangat diperlukan.

Seperti yang kita pahami, pilihan-pilihan tersebut sungguh krusial untuk masa depan negara. Di sini kita bicara tentang siapa yang akan memimpin dan mewakilkan suara kita selama lima tahun ke depan. Tentunya harus ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum pilihan akhirnya ditentukan. Pilihan yang masih berlandaskan logical fallacy seperti misalnya “saya memilih calon A karena dia orang Jawa, sama seperti saya.” harus segera dieliminasi. Perlu dipahami lebih lanjut bahwa kita memilih untuk seluruh masyarakat Indonesia, bukan untuk diri sendiri. Oleh karenanya, pilihan yang benar-benar dilandaskan akar argumen yang kuat merupakan harga mati sebelum akhirnya menentukan pilihan.

Jika akhirnya sang pemilih menentukan bahwa ia akan memilih bakal calon A, maka ia harus benar-benar yakin atas pilihan tersebut. Bukan yakin bahwa ia benar-benar akan memilih bakal calon A, namun yakin akan landasan pemikiran utama mengapa ia memilih si calon tersebut. Untuk itu, Akar argumen yang kuat merupakan suatu hal yang krusial dalam upaya menentukan pilihan ini. Logika dan pemikiran kritis juga sangat diperlukan guna mengeliminasi segala logical fallacy dalam hal ini. Merupakan sebuah kemajuan jika hal ini telah berusaha dilakukan oleh salah seorang individu. Sebuah perjalanan penuh harapan bahwa ke depannya ini akan dilakukan oleh seluruh aspek masyarakat Indonesia.

Itulah yang berusaha disampaikan oleh Socrates. Ia beranggapan bahwa pemilihan merupakan sebuah ilmu pengetahuan dan bukan hanya sekedar intuisi. Lalu selayaknya sebuah ilmu pengetahuan, cara menentukan pilihan tersebut harus diajarkan pada sebuah instansi pendidikan. Namun karena nyatanya cara memilih tersebut tidak diajarkan, masyarakat akhirnya lebih percaya terhadap intuisi masing-masing daripada menggunakan landasan argumen yang akarnya kuat sebelum memilih. Alhasil, logical fallacy pada saat memilih banyak sekali muncul dan terlihat pada masyarakat.

Referensi

Brennan, Janson. (2020). The Ethics and Rationality of Voting. The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Retrieved From: https://plato.stanford.edu/entries/voting/

Hans, Hansen. (2020). Fallacies. The Stanford Encyclopedia of Philosophy. Retrieved From: https://plato.stanford.edu/entries/fallacies/.

HKU Philosophy Department. (n.d). List of Fallacies. Hongkong University. Retrieved From: https://philosophy.hku.hk/think/fallacy/list.php.

Purdue Online Writing Lab. (n.d) Fallacies. Purdue University. Retrieved From: https://owl.purdue.edu/owl/general_writing/academic_writing/logic_in_argumentative_writing/fallacies.html.

The School of Life. (n.d). Why Socrates Hated Democracy. Retrieved From: https://www.theschooloflife.com/thebookoflife/why-socrates-hated-democracy/.

 

Fiqar Galih

satu Respon

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content