Pasca dialektika adalah sebuah teori tentang berakhirnya orde lama rasionalitas dalam argumen dan datangnya orde baru persuasi. Adam Cody mengatakan, pasca dialektika menganggap perspektif dialektika tidak mampu menangkap kekuatan persuasif sebuah argumen. Padahal, persuasi adalah kekuatan pendorong norma-norma dialektika.
Adam Cody menilai pidato Lysias (445-380 SM.), berjudul Lys. 12 Against Eratosthenes, sebagai contoh argumen persuasif, atau sebagai fascistic-argument dalam istilah Paliewicz dan McHendry. Dalam naskah pidatonya, Lysias menuduh Eratosthenes membunuh saudara Lysias yang bernama Polemarchus pada 403/2 SM .
Pidato Lysias secara umum ditujukan kepada 30 orang oligarki di Yunani, yang diduga bertanggung jawab atas penangkapan dan eksekusi terhadap beberapa orang Metics yang kaya raya, termasuk Polemarchus (Todd, 2020). Orang-orang Metics adalah orang-orang asing yang tinggal di kota-kota Yunani kuno dengan mendapatkan status kewarganegaraan istimewa.
Pidato Lysias XII, menurut Adam Cody, memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan Paliewicz dan McHendry untuk disebut sebagai argumen persuasif. Kelima syarat tersebut adalah mengandung sisi mitos, pembedaan satu identitas dengan identitas lain, memuja kepemimpinan yang kuat, memiliki visi profetik, dan memunculkan ancaman apokaliptik.
Syarat-syarat tersebut dapat dirancang dengan sengaja untuk memanipulasi emosi lawan bicara, menyederhanakan masalah yang sebenarnya sangat kompleks, dan membangun loyalitas orang-orang terhadap pemimpinnya tanpa kompromi. Lysias melakukan semua itu melalui pidatonya.
Menurut Adam Cody, konsekuensi persuasi adalah tergantikannya rasionalitas dan adanya upaya mendominasi ruang diskursif dengan menebar persuasi. Persuasi tidak pernah menguji klaim-klaim sebuah argumen dengan memberikan penjelasan rasional, sebagaimana mestinya dalam metode dialektika (Cody, 2023).
Runtuhnya rezim rasionalitas dan bangkitnya rezim persuasi juga mengubah ruang diskursif itu sendiri. Pada mulanya, ruang diskursif dialektis berisi pertukaran gagasan kritis dan rasional. Ruang diskursif dialektis diramaikan oleh pertarungan tesis, antitesis, dan sintesis. Sejak persuasi menggantikan rasionalitas, ruang diskursif semata-mata menjadi ajang dominasi itu sendiri, dan mungkin juga ajang berkampanye seperti pidato Lysias 12 Against Eratosthenes.
Bagaimana persuasi dan dominasi muncul? Menurut Nicholas S. Paliewicz dan George F. McHendry, kekuatan persuasi sebuah argumen muncul dengan dua cara: pertama, melalui subjek argumennya sendiri, dan kedua, melalui jaringan sosialnya. Cara pertama terjadi ketika satu argumen yang mandiri dan tidak terikat mampu memikat pendengarnya.
Sementara cara kedua terjadi ketika sekumpulan aktor menyusun himpunan argumen, dan mengekspresikan himpunan tersebut sebagai tantangan terhadap subjek argumen yang berusaha menyelesaikan suatu masalah melalui pertukaran kritis dan rasional (Paliewicz & McHendry, 2017). Himpunan argumen semacam tindakan keroyokan, untuk menciptakan posisi dominan dan represif terhadap subjek yang kritis dan rasional. Dominasi represif ini didukung oleh kekuatan jaringan sebuah argumen. Semakin luas jaringannya maka semakin mendominasi. Mengandalkan jaringan juga merupakan cara kerja pasca dialektika.
R.L. Bince mengatakan, jaringan sebuah argumen mengandung kekuatan persuasi. Terbentuknya jaringan argumen disebabkan strategi struktural, yang menyeret satu argumen ke dalam skala jaringan atau advokasi jaringan. Strategi kultural merupakan alasan pembentukan jaringan argumen. Bince menggunakan teori jaringan untuk mengembangkan teori pasca dialektika yang dicetuskan Paliewicz dan McHendry. Bince menafsirkan kembali teori pasca dialektika, sehingga diperoleh suatu formula baru. Bagi Bince, sebuah argumen pasti memiliki jaringan sosialnya sendiri (Bince, 2024).
Jaringan adalah awal bagi pembentukan himpunan. Pasca dialektika membuka pintu selebar-lebarnya bagi perluasan jaringan dan pembentukan himpunan. Dengan begitu, pasca dialektika terlihat lebih demokratis dalam menampung berbagai macam entitas, terutama dalam ruang diskursif sekuler. Demokratisasi merupakan salah satu aspek aksiologis teori pasca dialektika, yang membuka peluang bagi non-rasionalitas untuk duduk sejajar, bahkan menggantikan, posisi rasionalitas.
Dogma, mitos, folklore, legenda, dan berbagai macam non-rasionalitas lainnya setara dengan rasionalitas. Namun, pasca dialektika menciptakan dinamika yang jauh lebih kompleks dalam konteks ruang diskursif yang sakral, seperti agama. Pasca dialektika tidak saja mengandung persuasi melainkan juga mampu mengubah persuasi tersebut menjadi rasionalitas itu sendiri.
Piagam Madinah Sebagai Persuasi Profetik
Jika Adam Cody mencontohkan Pidato Lysias 12 Against Eratosthenes sebagai argumen mempesona dalam pasca dialektika, maka satu milenium kemudian, tepatnya pada tahun 622 M., sejarah Islam menawarkan teks Piagam Madinah. Argumen Piagam Madinah juga memenuhi 5 (lima) syarat dari Paliewicz dan McHendry.
Teks Piagam Madinah tidak terpisahkan dari latar belakang umat muslim yang melakukan da’wah ‘alāniyyatan(menyampaikan misi Islam secara terang-terangan dan terbuka). Tindakan ini menciptakan ruang diskursif, sekaligus mengundang masyarakat non-muslim, baik kalangan kafir Quraisy Makkah maupun Ahlu al-Kitāb Madinah, untuk terlibat.
Kafir Quraisy menyambut seruan Islam dengan metode dan nalar dialektika, sehingga menempatkan Islam sebagai antitesis bagi dogma Jahiliah (Paganisme) mereka. Dialektika di Makkah ini kerap berujung pada kekerasan fisik, pembunuhan dan perang, yang menyudutkan umat muslim (Jasman, 2018).
Berbeda halnya dengan sikap Ahlu al-Kitāb (orang-orang Yahudi dan Nasrani) di Madinah, yang.menyambut seruan Islam dengan metode dan nalar pasca dialektika. Keragaman entitas berjejaring satu sama lain, dan membentuk satu himpunan bersama yang kelak akan mengubah Kota Yatsrib menjadi Negara Madinah. Mereka mulai mengenal konsep satu bangsa satu negara atau “Ummah” (Denny, 1977).
Umat Muslim, Yahudi dan Nasrani berhasil menciptakan ruang baru yang lebih persuasif, tidak saling menghakimi, hidup berdampingan secara harmonis, namun tetap melakukan pertukaran argumen secara kritis dan rasional, serta menjaga perbedaan akidah masing-masing.
Sejarah masyarakat Madinah memiliki dua corak. Pertama, dalam bidang keagamaan, Islam menjadi antitesis keyakinan Ahlu al-Kitāb, yaitu Yahudi dan Nasrani. Hal ini juga dilakukan Islam terhadap Kafir Quraisy di Makkah. Kedua, dalam bidang sosial-politik, Islam dan Ahlu al-Kitāb mengusung prinsip simbiosis mutualisme. Bangunan keumatan dan kebangsaan mereka berpijak pada satu fondasi utama yang disebut Piagam Madinah (Constitution of Medina).
Piagam Madinah menampilkan argumen persuasi dengan cara menempatkan setiap individu setara di hadapan hukum, bebas memeluk keyakinan dan menjalankan agama masing-masing, dan memiliki kewajiban yang sama, yaitu bela negara. Piagam Madinah mendorong koeksistensi antara Muslim, Yahudi dan Nasrani sebagai satu bangsa (Emon, 2001).
Konsep kebangsaan tersebut tidak pernah terbentuk, dan tidak hendak dibentuk, selama umat Muslim berada di Makkah. Jaringan sosial argumen Islam dan Kafir Quraisy Makkah bersifat dialektis. Sementara jaringan sosial argumen Muslim dan Ahlu al-Kitāb selama di Madinah bersifat pasca dialektis.
Negara, Persuasi cum Rasionalitas
Pasca dialektika menampilkan bagaimana persuasi menggantikan rasionalitas. Namun, dalam konteks sejarah Islam, teks Piagam Madinah yang lahir dari relasi pasca dialektis membentuk Negara Madinah yang merupakan lembaga rasionalitas itu sendiri.
Edward Rubin mengutip pertanyaan menjebak Profesor Gillette, “apakah sekelompok entitas politik yang independen—ketika membentuk rezim yang tersentralisasi untuk mencapai tujuan bersama mereka—akan mempertahankan kekuasaan mereka untuk mengalahkan tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan rezim tersebut?
Pertanyaan di atas menjebak. Jika jawabannya iya, mempertahankan kekuasaan berarti tidak menciptakan negara atau rezim tersentralisasi untuk mencapai tujuan bersama. Jika jawabannya tidak, maka rezim kekuasaan melawan pemberi mandat kekuasaan. Profesor Gillette memberikan analisanya dengan mengatakan, “aktor-aktor politik adalah orang-orang yang paling rasional dalam mengejar kepentingan mereka” (rational self-interest maximizers) (Rubin, 1997).
Artinya, politik dan negara adalah institusi rasionalitas. Dalam jawaban Gillette, teori aktor rasional digunakan menganalisa entitas politik kolektif dan menjelaskan karakter identitas politik. Ketika Muslim, Yahudi dan Nasrani menciptakan rezim yang tersentralisasi, maka mereka adalah aktor-aktor politik yang sangat rasional, terutama dalam mewujudkan kepentingan mereka masing-masing, seperti kebebasan, kedamaian, dan kesetaraan.
Tiga umat pengikut agama Abrahamik ini rela membentuk rezim bersama, yang kelak dikepalai oleh Nabi Muhammad saw., sebagaimana tertera dalam Piagam Madinah. Untuk mencapai satu tujuan bersama, masyarakat Yatsrib bersepakat mereka membutuhkan organisasi yang lebih besar, yang mengatur kepentingan bersama, dengan peraturan yang disepakati.
Piagam Madinah bisa disebut sebagai argumen persuasi cum rasionalitas. Di satu sisi, Negara Madinah, yang menjadi wadah bagi keragaman warga negaranya, merupakan tawaran yang cukup menggiurkan. Sebelum kedatangan Islam, Yatsrib diwarnai konflik suku. Suku Khazraj dan Suku Khuza’ah terus bertikai tanpa henti. Negara Madinah adalah jaminan perlindungan bagi seluruh warga negaranya, dan hal ini merupakan kebutuhan dasar manusia.
Di sisi lain, kehidupan berbangsa dan bernegara adalah pilihan rasional. Memiliki Negara adalah pilihan terbaik, untuk melindungi segenap warga negara tanpa pandang bulu, dan tanpa diskriminasi agama dan rasial. Memiliki sebuah negara berarti mendudukkan masyarakat Arab setara dengan dua peradaban besar di zaman itu, Kekaisaran Persia dan Kekaisaran Romawi.
Negara Madinah, dengan demikian, dilahirkan melalui proses dan dinamika pasca dialektika profetik, yaitu proses persuasi cum rasionalisasi. Pasca Dialektika Profetik tidak menyoal kekuatan persuasi yang menggantikan kekuatan rasionalitas, melainkan mengubah persuasi sebagai rasionalitas itu sendiri.
Piagam Madinah adalah produk konkret dari nalar pasca dialektika profetik, yang mempertemukan kepentingan dasar Muslim dan Ahlu al-Kitāb dalam satu payung hukum yang sama, serta memberikan mereka satu wilayah teritorial negara yang sama. Inilah metode dan nalar yang sama sekali tidak dapat diwujudkan bersama orang-orang pagan Makkah.
Imam Nawawi
Alumnus Magister Sejarah Peradaban Islam di Universitas. Penerjemah buku-buku Jalaluddin Rumi dan Ibnu Arabi.
- Imam Nawawi#molongui-disabled-link