fbpx

Adanya diri dan peradaban

Siapa Dia? Siapa yang demikian hebat sehingga tidak dapat kita sangsikan eksistensinya? Dimanakah Dia selama ini?
La Toilette karya Antonio Fabres,

Apa yang dimaksud dengan “Ada”? Pertanyaan ini selintas pendek. Namun, jawaban yang muncul dapat begitu panjang dan beragam dari berbagai mereka yang pernah menawarkan jawaban, dengan satu sama lain bisa saling berbeda tajam, berlawanan. 

Sebagian tidak memulai dengan mendefinisikan, dan langsung saja mempertanyakan apa yang benar-benar Ada. Mereka ini menyatakan bahwa segala hal apapun dapat diragukan adanya. Baik hal paling rumit soal teori-teori fisika termutakhir, hingga hala-hal yang seolah remeh seperti matahari yang terbit dan terbenam setiap hari, semua bisa kita ragukan dalam hal eksistensi. 

Bisa saja mata, indra yang pikiran kita keliru menyerap apa yang kita anggap Ada itu. Apa yang kita anggap diam ternyata bergerak dan apa yang kita kira bergerak ternyata diam. Bahwa kita diam tidak benar-benar diam. Tubuh kita turut bergerak bersamaan dengan berputarnya bumi. 

Pun matahari tidak benar-benar “bergerak”. Ia tidak terbenam atau terbit. Darimana kita mengatakan ia terbit, muncul, menyeruak dari suatu sudut langit. Lantas darimana kita mengatakan ia terbenam, jatuh tenggelam di sudut yang berlawanan di penghujung hari. Akal kita kini mengoreksi dengan mengatakan bahwa matahari tidak timbul tenggelam begitu. 

Yang benar bahwa bumi yang ini yang sedang mengitari matahari sembari bumi sendiri berputar pada porosnya. Pergantian pagi ke malam, penampakan matahari yang seolah timbul dan tenggelam, hanya yang terlihat saja namun kenyataannya kitalah manusia yang sedang mengamati yang sejatinya bergerak bersama bumi.

Tapi menyatakan bahwa eksistensi semua hal sebagai mungkin ketimbang pasti adalah mustahil. Sebabnya, pada sebagian ada yang kemudian menyimpulkan: ada satu yang tidak bisa kita tolak bahwa ia Ada tanpa keraguan. 

Diri yang mustahil diragukan

Siapa Dia? Siapa yang demikian hebat sehingga tidak dapat kita sangsikan eksistensinya? Dimanakah Dia selama ini? Apa yang dilakukannya selama ini; bersembunyi di tempat paling rahasia atau dimana-mana Ada dan bersama kita sejak lama? Apakah dia nun jauh dan harus kita cari-cari dengan berpeluh-peluh? Atau, ternyata selama ini ia begitu dekat dan bahkan yang paling rapat dari apapun yang berhubungan dengan kita.

Dia—demikian kata mereka ini–adalah “diri” yang sejak awal mempersoalkan segalanya itu. Diri yang penasaran pada soalan “sepele” dan tanpa dapat ditahan mengacungkan telunjuk tinggi-tinggi meminta jawaban. Padahal sebenarnya Dia, si Diri itulah satu-satunya “Ada” yang bisa kita verifikasi langsung tanpa perantaraan.

Bahwa semakin kita meragukan “diri” ini maka semakin jelas bahwa ia nyata. Semakin kita berteriak “Apakah kamu sungguh-sungguh nyata, ada?” maka suara itu segera saja memantul, dengan suara yang sama nyaringnya. Namun kali ini bukan pertanyaan yang terdengar, tapi afirmasi eksistensinya, “iya, aku Ada dan akulah pula yang sedang bertanya!”

Demikian! Ia (manusia) adalah objek penelitian sekaligus subjek yang meneliti. Semuanya dalam satu waktu. Tidak terdapat jarak seperdetikpun di antara keraguan dan adanya “diri” ini. Sebab, seperti yang telah kita jelaskan: mereka bersama-sama hadir baik sang “diri” itu pula sang keraguan miliki kita. Malah mungkin kita tidak memiliki keraguan, melainkan “diri” itulah yang sejatinya memilikinya.

Maka barangkali ada kesimpulan yang bisa kita sepakati pada bagian ini: betapapun kita mencoba meragukan sang “Diri”, tindakan meragukan ini hanya akan berujung sia-sia. Sebabnya sederhana saja: bahwa kita membutuhkan “diri” itu sebelum mula-mula bisa meragu. Maka menyangkal “diri” itu adalah hal yang absurd. Siapa yang sedang meragu jika bukan si “diri” ini?

Descartes dalam persoalan

Proses penalaran ini saya pahami pernah dilakukan oleh Descartes. Awalnya, ia tidak beranjak dari masalah-masalah ontologis seperti; apa itu Ada, apa yang Ada, apakah kita Ada.

Namun, Descartes memulai dengan mempertanyakan kemampuan diri dan sekaligus kenyatan bahwa segala sesuatu untuk dapat diragukan dalam eksistensi. Pengamatan indrawi, dan pengolahan kognitif sayangnya memutuskan bahwa selain kita tidak berdaya mencapai kebenaran yang absolut, segala sesuatu juga bisa saja tidak memiliki Ada yang objektif, yang benar-benar ada dalam realitas.

Seperti analogi yang sering disematkan pada Descartes itu. Untuk mendapatkan sekeranjang apel yang segar kita harus mengambil satu-persatu apel dari sekeranjang apel penuh. Memeriksa tiap-tiap apel itu. Memastikan tidak ada satupun yang telah mengandung ulat. Sebabnya ulat itu tidak akan menyebabkan kebusukan pada satu apel, melainkan seluruhnya!

Tapi apakah jangan-jangan tidak ada satupun apel yang belum terkontaminasi ulat? Atau ternyata dalam keranjang itu tidak terdapat satupun apel yang sejati! Bahwa yang selama ini kita kira apel hanya tiruan saja, dan bukan benar-benar apel yang ingin kita makan untuk melepas rasa lapar.

Untung saja tidak semua dalam keranjang itu adalah apel palsu atau mengandung ulat. Ada satu yang bersih, murni, belum terjamah dan memang betul-betul apel. Apel itu adalah “Diri”. Diri yang memang ada, yang sedang meragukan namun gagal menyangkal eksistensi dirinya itu. Bukankah yang sedang membaca tulisan ini adalah suatu “diri” juga? Tidak kelewatan, penulisnya adalah suatu “diri” pula.

Diri dan Manusia sebagai Tuhan

Mereka para pengikuti Descartes itu tidak menyerap ajaran gurunya hanya sebagai ajaran. Namun juga sebagai dasar-dasar paling utama untuk membangun peradaban.

Hingga kini pun, peradaban itu melanjutkan pemahaman “Diri” sebagai dasar ontologis hidupnya. Bahkan tidak berhenti sampai disitu, mereka lantas mengembangkan pemahaman baru. Bahwa “Diri” adalah satu-satunya yang memiliki kepastian dalam eksistensi dan peradaban musti mengkonstruksi suatu paradigma yang berpusat pada “diri”.

Dalam paradigma itulah diyakini bahwa realitas hanya memiliki dua dimensi. Dimensi pertama adalah “Diri” itu, yang tidak dapat disangsikan, tapi mampu menyangsikan. Serta dimensi kedua sebagai diluar diri, yaitu alam semesta, yang dapat disangsikan, yang diam membisu dalam penyangsian.

Wajarlah bila segala agama hari ini akhirnya mereka sangsikan juga. Bahwa agama itu dalam sejarahnya ada, berkembang, dan membentuk peradaban. Tapi agama tidak pernah berbicara untuk dirinya sendiri. Selalu ada manusia, para profet, kata mereka, yang menjadi juru selamat dan menjelaskan agama-agama itu. 

Apa jadinya jika agama tidak memiliki profet? Agama itu tidak akan pernah memiliki eksistensi. Maka turut pula segala apa yang diliputi dalam risalah agama. Surga, neraka, malaikat adalah tidak memiliki eksistensi mandiri. Bahkan Tuhan sekalipun dituduhnya tidak akan memiliki eksistensi tanpa manusia.

Lantas apa yang tersisa bila segalanya sudah kehilangan kuasa dan keyakinan dari manusia? Hanya satu yaitu “Diri”! Manusia itu sendiri menjelma menjadi tuhan bagi dirinya. Manusia yang meyakini bahwa mereka bisa melakukan apa saja melalui imajinasi dan usaha konkrit mereka. 

Peradaban Tuhan-Tuhan Manusia

Ratusan tahun berlalu peradaban bertuhankan manusia itu menjadi peradaban paling maju. Peradaban yang mengontrol masyarakat lain—yang ironisnya—berkeyakinan teramat dalam untuk hidup dengan iman pada Tuhan-Tuhannya. 

Tentu meyakini bahwa peradaban tidak bertuhan itu akan terus mendominasi hingga ujung waktu adalah konyol. Sejarah telah menyadarkan kita bahwa tidak ada satupun peradaban yang dapat mengalahkan waktu. Peradaban mengalami silih-pergantian, yang kuat yang tangguh akan menggantikan yang lemah meski lebih tua.

Namun bukan soalan itu yang paling penting. Bagaimana mendamaikan kenyataan bahwa peradaban tanpa Tuhan itu bisa diberi kesempatan untuk maju melesat pada beberapa kurun sejarah. Sementara terdapat peradaban yang teguh ngibadati Tuhan tapi kondisinya kian terperosok, terancam krisis yang memungkinkan kebangkrutan tanpa kebangkitan.

Ahmad Amin Sulaiman

Menulis buku-buku filsafat Pedagogi Kritis. Pernah mendapatkan beasiswa untuk Master Psikologi Kognitif di Flinders University, serta Magister Filsafat Islam di Sadra. Sehari-hari, mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content