Immanuel Kant (1724-1804), pemikir abad pencerahan yang berhasil membangun sintesis dalam filsafat antara empirisme dan rasionalisme, mengajarkan suatu etika yang murni apriori, tanpa dasar pengalaman empiris. Basis etika dan moralitas dalam pemikiran Kant ialah akal budi dan karena itu dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Kant mengajarkan etika kewajiban (deontologi) dengan afirmasi imperatif kategoris – perintah mutlak untuk melakukan kewajiban sebab kewajiban merupakan dasar tindakan moral. Menurut Kant, kewajiban adalah keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum – Pflicht ist die Notwendigkeit einer Handlung aus Achung fűürs Gesetz. Perintah kategoris untuk melakukan kewajiban bisa menjadi dasar konseptual bagi pendidikan budi pekerti di Indonesia. Pendidikan budi pekerti membentuk karakter dan moralitas peserta didik dengan penekanan pada afektivitas, tanpa mengabaikan aspek kognitif dan psikomotorik. Etika kewajiban dapat mengaktifkan rasionalitas peserta didik untuk berpegang teguh pada kehendak baik supaya dapat bertindak demi untuk kewajiban sebagai hukum batin yang harus ditaati.
Immanuel Kant dan Etika Kewajiban
Immanuel Kant adalah filsuf penting di abad modern. Disiplin hidupnya sangat teratur. Setiap hari menjalankan rutinitas yang sama dan tidak pernah keluar dari kotanya Kȍnigsberg. Ia lahir di kota itu, ibu kota Prussia Timur, Jerman (sekarang: Kaliningrad, masuk wilayah Rusia), pada 22 April 1724. Ketika mahasiswa ia belajar filsafat Leibniz dan Wolf, yang sangat rasionalistis, dogmatis, dan spekulatif. Kant tentu menolak model pemikiran ini. Kiritisisme David Hume berhasil membangunkan Kant dari tidur dogmatisnya. Kant memulai filsafat kritis dan darinya metafisika menjadi suatu ilmu; ilmu tentang batas-batas pemikiran manusia. Kant membangun sintesis antara rasionalisme dan empirisme yang menjadi titik pangkal periode baru yang disebut idealisme. Kant meninggal pada hari Minggu, 12 Februari 1804 dalam usia 80 tahun. Jenazahnya dikuburkan di serambi samping gereja dan di sebuah tikungan menuju gereja orang memasang sebuah lempeng besi bertuliskan kata-katanya sendiri: “Zwei Dinge erfüllen das Gemüt mit immer neur und zunehmender Bewunderung und Ehrfurcht, je ȍfter und anhaltender sich das Nachdenken damit beschäftig: der bestirnte Himmel über mir und das moralische Gesetz in mir” (Dua hal memenuhi hati sanubari dengan rasa takjub dan takzim yang senatiasa baru dan semakin bertambah, dengan kedua hal inilah pemikiran menyibukkan diri berkali-kali tanpa pernah berhenti: Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam aku). Kant menaruh ketakjuban (thaumasia) yang dalam pada hal inderawi yang tak dapat diraba, juga dimensi moral yang intrinsik di dalam dirinya. Menurut Kant kemulian Allah berbicara terutama melalui dua hal itu: coelom stellatum supra me, lex moralis intra me.
Dalam ajaran tentang etika Kant menyatakan kewajiban sebagai dasar tindakan moral. Baik buruknya suatu tindakan diukur dalam keharusan menjalankan kewajiban. Namun harus didasari dengan kehendak baik. Bertindak menurut kehendak baik berarti bertindak demi untuk kewajiban. Bertindak demi kewajiban sebagai hukum batin, berarti tindakan itu mencapai moralitas. Jika tidak berarti bertindak atas dasar aturan dan bukan demi kewajiban. Kewajiban adalah keharusan tindakan demi hormat terhadap hukum. Hukum (Gesetz) yang dimaksud menunjuk prinsip objektif dan rasional bagi tindakan yang dijalankan begitu saja, tanpa syarat subjektif, perasaan, dan selera pribadi. Hukum di sini sifatnya berlaku umum, bukan lahiriah saja. Hukum yang sifatnya lahiriah tidak membangkitkan hormat (Achtung) dalam batin untuk mentaatinya. Kant juga membedakan antara tindakan yang sesuai dengan kewajiban dan tindakan demi untuk kewajiban. Tindakan berdasrkan kewajiban dibuat tidak berdasarkan kecenderungan langsung, tetapi karena pamrih, dan tindakan demi untuk kewajiban (Handlung aus Pflicht) berpedoman pada kaidah objektif, bukan subjektif. Kant mengatakan bahwa kewajiban memerintahkan kita melakukan tindakan secara hipotesis atau secara kategoris.
Tindakan dengan kategori hipotesis bersyarat karena dilihat sebagai sarana mencapai tujuan dan tindakan secara kategoris bersifat mutlak, berlaku umum. Bentuk perintah kategoris ialah ‘kamu wajib’ (Du sollst) dan tentu ‘kamu bisa’ (Du kannst). Untuk mencapai tindakan kategoris harus memenuhi prinsip hukum umum (allegemeines Gesetz), prinsip hormat terhadap person, dan prinsip otonomi. Prinsip hukum umum menegaskan bahwa kita harus bertindak berdasarkan maksim yang bisa sekaligus dikehendaki sebagai hukum umum. Maksim yang saya pakai dalam bertindak harus bisa diuniversalkan. Prinsip hormat terhadap person menyatakan bahwa pribadi saya dan pribadi orang lain bukanlah sebuah sarana bagi tindakan, tetapi sebagai tujuan di dalam dirinnya sendiri. Di sini martabat pribadi manusia penting untuk dihargai. Dalam membuat maksim kita pertimbangkan tentang pihak lain. Prinsip otonomi mengafirmasi subjektivitas individu yang bertindak. Saya bertindak secara otonom berdasarkan kehendak saya sendiri, otonomi kehendak. Kant menyebut prinsip otonomi sebagai prinsip tertinggi kesusilaan (oberstes Prinzip der Sittlichkeit).
Pendidikan Budi Pekerti
Pendidikan budi pekerti menjadi penting di tengah krisis keteladanan dan problem serius radikalisme dalam dunia pendidikan. Sekolah menciptakan ruang dilematis di mana proses belajar hanya menekankan aspek kognitif, dan lupa pada hal afektif yang membentuk cita rasa kemanusiaan peserta didik. Masalah tawuran di sekolah, korupsi dalam dunia pendidikan, radikalisme kampus, menyontek, ketidakdisiplinan, dan persolan-persoalan pendidikan lain menunjukkan lemahnya pendidikan budi pekerti atau pendidikan karakter.
Pendidikan budi pekerti merupakan program pengajaran di sekolah yang membentuk watak peserta didik dengan menanamkan nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dengan penekanan pada ranah afektif, tanpa meninggalakan aspek kognitif, dan psikomotorik. Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan budi pekerti adalah menyokong perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodratinya menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum.
Belajar dari Immanuel Kant
Immanuel Kant memberikan pelajaran berharga bahwa pendidikan budi pekerti harus membentuk orang untuk melakukan kewajibannya sebagai agen atau subjek pendidikan. Kewajiban dalam pendidikan adalah transfer pengetahuan dan nilai, juga kesedian untuk belajar tidak menurut hukum saja dalam arti memenuhi syarat akademik, melainkan memperoleh tujuan membentuk diri menjadi agen rasioanal. Pendidik dan peserta didik harus melihat diri dalam tujuannya masing-masing dan tidak boleh memandang yang lain sebagai sarana. Peserta didik harus dihargai keberadaannya dan mereka memiliki kewajiban untuk menghormati gurunya. Prinsip hormat kepada person harus diperhatikan secara lebih serius. Memberi dan menerima pengetahuan harus didasarkan pada kehendak baik, pada keyakinan personal dan sikap batin yang otonom. Taat pada aturan sekolah belum cukup untuk menata karakter dan budi pekerti yang baik, tetapi lebih jauh lagi, harus menetapkan hukum umum, melihat secara universal setiap tindakan belajar dan mengajar.
Kant mengajak kita melakukan kehendak baik. Kehendak baik dalam pendidikan budi pekerti ialah membangun sikap batin untuk bertindak demi untuk kewajiban. Pendidikan budi pekerti harus menanamkan nilai-nilai luhur kebangsaan supaya radikalisme dan intolerasi dalam pendidikan dapat diatasi. Pendidikan budi pekerti harus membentuk karakter yang memiliki otonomi diri yang berkehendak baik. Aktivitas pendidikan dengan kehendak baik menghasilkan subjek pendidikan yang sanggup bertindak secara baik dan benar. Tindakan pendidikan dinilai bermoral jika berdasarkan pada suatu hukum universal, sanggup menghargai pribadi manusia, dan memiliki otonomi diri. Pendidikan budi pekerti harus menghasilkan agen rasional yang sanggup bertanggung jawab terhadap tindakannya. Tindakan yang diperoleh atau dibuat dalam internalisasi dan realisasi nilai-nilai harus juga mengarahkan orang pada Allah sebagai instansi moral yang memberi kepada manusia kemutlakan perintah kewajiban suara hatinya.
Daftar Pustaka
Dewantara, KI Hajar. Karya Bagian I Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Perguruan Taman Siswa, 1962.
L. Tjahjadi, Simon Petrus. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan. Yogyakarta: Penerbit Kanisus, 2007.
Hamersma, Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia, 1983.
Zuriah, Nurul. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007.