Mahatma Gandhi

Serangkaian gerakan perjuangan turut menghiasi peradaban akhir-akhir ini, terutama di Indonesia. Gerakan mahasiswa marak menuntut keadilan yang menyertakan rakyat di dalamnya. Namun tak jarang juga ada masyarakat yang sangat benci dengan gerakan-gerakan perjuangan karena berujung pada kontak fisik, pertumpahan darah, konflik antara pemerintah yang dimanifestasikan lewat aparat dengan sekelompok mahasiswa, pelajar dan masyarakat. Pertikaian dan pertumpahan darah inilah yang menjadi keresahan dalam memandang sebuah pergerakan. Jadi seperti apa gerakan perjuangan yang diinginkan?

Ia adalah Mahatma Gandhi sosok yang sangat mengagumkan dalam sejarah peradaban dunia, seorang pejuang aktivis-anti kekerasan yang tak lain dikenal dengan ‘jiwa agung’, Gandhi adalah seorang pejuang yang berdiri di barisan paling depan, menjadi tombak perjuangan melawan koloni Barat. Hanya satu prinsip yang dipegang teguh oleh sosok yang agung tersebut, ialah bertindak sesuai dengan kebenaran.

Mahatma Gandhi lahir di Porbandar, Gujarat, tepat di India Britania pada tanggal 02 Oktober 1869, nafasnya berhenti dan fisiknya wafat pada 30 Januari 1948 di New Delhi. Namun ia tak pernah hilang dari sejarah, dan tetap hidup dalam sejarah. Dikenal dengan perjuangan tanpa kekerasan, ia sangat mencintai manusia dan tak ingin ada luka dalam sejarah lahirnya gerakan yang dimotori oleh Gandhi itu sendiri.

Gandhi adalah sosok penyabar, konsisten dengan apa yang diperbuatnya, dan siap menerima resiko apapun untuk memperjuangkan kebenaran menurutnya, berulang kali dimasukkan dalam tirani namun semangatnya tak pupus dan tetap berani memperjuangkan apa yang dikenal sebagai kebenaran.

Bagi Gandhi, manusia tidak bisa lepas dari dari dua hal yang ada dalam dirinya. Pertama, mengikuti ‘suara ilahi’ sebagai prasyarat bahwa dirinya menolak segala bentuk kejahatan. Kedua, mengikuti hasrat negatif yang ada dalam dirinya yang akan membawanya pada dosa.[1]

Satyagraha Sebagai Jalan Agung

“Cinta tidak pernah meminta, ia senantiasa memberi, cinta membawa pada penderitaan tetapi tidak pernah medendam, tidak pernah berbalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan, dan kemanusiaan, manakala kebencian itu membawa pada permusuhan.”

Mahatma Gandhi

Jika ada yang bertanya tentang bagaimana perjuangan yang konsisten itu bisa tercapai dan terealisasi tanpa adanya kekerasan kontak fisik, maka bagi penulis, jawabannya terletak pada  nilai agung yang dipegang teguh olehnya, ialah satyagraha. Tepat pada tahun 1930, tersebut kebijakan kontroversial yang ditetapkan oleh pemerintahan Inggris yang berdampak sangat merugikan bagi India perihal produksi garam di tanahnya. Gandhi hadir memimpin aksi longmarch, pawai yang dikenal dengan gerakan Salt March menuju Pantai Dandi untuk mengambil garam sebagai bentuk perlawanan pada hukum garam yang telah ditetapkan waktu itu.

Gandhi datang dan melaksanakan satyagraha, yang menurutnya merupakan proses untuk menuju pencarian (satya) terhadap kebenaran. Konsep ini sebenarnya ditujukan sebagai fondasi perjuangan yang selalu mewarnai perjuangan seorang lelaki kurus dan perkasa ini. Dalam konsep satyagraha, Gandhi mengatakan bahwa setiap perjuangan itu harus tetap berpegang teguh pada kebenaran. Pencarian kebenaran inilah yang tidak akan teraktualisasikan tanpa adanya ahimsa, yang baginya adalah proses pencarian kebenaran yang di setiap gerakannya tidak ada satupun kejahatan atau kekerasan yang diperbuat.

Dalam konteks pergerakan politik dan gerakan mahasiswa di Indonesia, yang diketahui masif dalam bentuk aksi demonstrasi, terdapat banyak kejadian yang tidak diinginkan misalnya, pertumpahan darah, tindakan represif, penculikan, dan masih banyak lagi. Bagi Gandhi, kekuatan rakyat (yang dalam hal ini diwakilkan oleh mahasiswa) tidak akan pernah mampu melawan superioritas dari aparat bersenjata. Pun jika gerakan itu tetap ada, atau walau mereka melawan dengan emosi membara. Bagi Gandhi, aksi macaam ini hanya proses lain untuk menumpahkan darah dan perlahan memakan banyak korban jiwa, sementara kebijakan yang meresahkan tidak sekejap saja dapat dirubah. Kondisi itu tidak sebanding dengan pemaksaan kehendak, yang pada dasarnya tak efisien dilakukan dengan gerakan perlawanan walau didasari atas dendam atas kejahatan. Bagi Gandhi menderita lebih baik daripada harus hidup dengan dendam, dan lalu menggunakannya sebagai alasan melakukan kekerasan sebagai counter dalam perjuangan.

Melihat perjuangan Gandhi lebih dalam lagi, kita akan menemukan banyak pelajaran, baik tentang pentingnya satyagraha dalam perjuangan – yang tak lain dari proses perjuangan kebenaran berdasar cinta – serta moralitas yang harus selalu menemani dalam proses manusia dalam perjuanganannya. Hal ini tergambar dalam perjuangan Gandhi dengan sikap ‘ketidakpatuhan’ terhadap kolonial Inggris demi kemerdekaan India. Satu satu cara yang efektif ditandai dengan pembangunan gerakan yang konsisten, yang berdasar pada perjuangan kebenaran baik dengan cinta dan kasih sayang. Pun, ketidaksejahteraan dalam arti yang lain menuntut pejuang satyagraha untuk rela menderita, dipenjara, tewas, namun ‘ketidakpatuhan’ pada pemerintah yang tidak adil tetap dipropagandakan terus menerus oleh Gandhi. Hal ini menandakan pemboikotan dalam bentuk pembangkangan sipil untuk tidak berpartisipasi atau bekerjasama dengan pemerintah.

Jiwa perjuangan Gandhi yang agung ini baik untuk dipahami, terutama dalam konsistensi mengejar kebenaran dan melaksanakan perjuangan, yang pada waktu tertentu akan meluluhkan hati apa yang dilawan dan secara terbuka kelak akan menerima kebenaran itu. Gandhi pula tidak terburu-buru dalam membangun revolusi, serta memikirkan gerakan jangka panjang pasca revolusi. Penekanan nilai Gandhi mengedepankan manusia, atau nilai kemanusiaan, maka segala bentuk ketidakmanusiawian merupakan musuh besar dari pergerakan. Usaha memperjuangkan kemanusiaan tanpa kekerasan merupakan ujian bagi pergerakan itu sendiri. Bagi Gandhi, muncul pertanyaan besar yang perlu kita renungkan bersama, ialah bagaimana mungkin kebenaran yang diinginkan itu diraih dengan cara yang jahat? Pertanyaan ini akan membantu merenungkan penentuan sikap kita dalam mencetak sejarah, sebagaimana Gandhi berusaha mencetak sejarah.


[1] Lihat. Emin Salla, Michael. Satyagraha In Mahatma Gandhi’s Political Philosophy. Peace Research, Vol. 25, No. 1 (February 1993). Halaman 39-40.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.