Media Massa belakangan ini menjadi arus dominasi yang kuat dalam proses mendampingi manusia menjalani hidupnya, dari hidup biasa saja, hingga yang luar biasa. Terutama pada penggunaan media sosial dan konsumsi media massa hingga pertemuan media dengan ragam tendensi politis. Kalimat ini mungkin terlihat abstrak, namun, beberapa hal perlu diberikan ruang kepastian sebagai bentuk implikasi dari perkembangan teknologi dalam tubuh kekuasaan dan kapitalisme.
Pada kenyataannya, media massa tidak hanya berhenti pada proses transfer informasi, terlepas informasi itu faktual maupun hoaks. Kerap kali, media massa mampu menjadi instrumen paling mutakhir dari proses massifikasi konsumsi, dominasi dan konon juga katanya mampu menjadi obat pemberi jeda dari keletihan manusia melaksanakan pekerjaan, ataupun kesibukannya masing-masing, dengan suguhan hiburan hingga komersialisasi seksualitas.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), mengungkapkan tentang masyarakat Indonesia paling banyak menggunakan internet untuk kebutuhan sosial media, ada sekitar 98,02 persen masyarakat Indonesia menggunakan Internet untuk membuka sosial media.
Dalam tulisan ini, media massa layak untuk dikatakan sebagai panggung yang dibuka secara luas untuk diberdayakan oleh siapapun, yang dibangun melalui interaksi berbagai struktur dan agen, yang di dalamnya menggaet pola-pola kekuasaaan. Hal ini berpengaruh pada terbentuknya pandangan publik atau opini publik hingga budaya tertentu pada praktik sosial masyarakat. Tentu, menaruh curiga pada pola kekuasaan di balik media sangat diperlukan, untuk membaca dimensi lain yang hadir di balik jalannya media massa.
Mengenal Peter L. Berger dan Thomas Luckmann
Peter L. Berger adalah seorang sosiolog yang aktif serta produktif, lahir pada tahun 1929. Seorang profesor sosiologi dan teologi di Boston University. Sedangkan Thomas Luckmann ialah seorang Professor sosiolog dari Universitas Constance Jerman, lahir pada tahun 1927 sebagai pendamping dan menulis bersama Peter L. Berger. Karya “The Social Construction of Reality” menjadi karya yang ditulis bersama (Berger & Luckmann, 1966).
Keduanya adalah sosok pemikir yang memiliki concern pada bidang sosiologi pengetahuan dan sosiologi agama, serta kajian tentang modernisasi dan perubahan sosial dalam pertautan antara aspek teologis dan politik praktis Peter L. Berger pernah disandang ialah presidency of Society for The Scientific Study of Religion. Sedangkan Thomas Luckmann, selain menulis bersama Berger, ia juga pernah menulis “Structures of The Life World” bersama Alfred Schutz pada tahun 1982. Persinggungan antara kedua pemikir tersebut yang akhirnya melahirkan konsepsi sosiologi pengetahuan.
Secara genealogi pemikiran, dilatarbelakangi pemahaman Berger berbahasa Eropa, terutama Jerman. Peter L. Berger banyak mengakses karya sumber-sumber awal sosiologi Eropa, karya Max Weber, Emile Durkheim, dan Max Scheler. Selain itu Peter L. Berger banyak belajar sosiologi kepada Alfred Schutz sebagai gurunya, serta didorong akan kesepakatannya pada aliran fenomenologi yang kemudian secara mendasar menolak paradigma atau gagasan positivisme. Baginya, gagasan positivisme adalah gagasan yang tidak mempertimbangkan aspek keberadaan manusia di dalamnya.
Sementara itu, hadirnya karya monumental berjudul “The Social Construction of Reality” dari kedua pemikir tersebut, mereka hadir ditengah-tengah dominasi dua paradigma, ialah empirisme dan rasionalisme. Dominasi kedua paradigma tersebut, membawa Berger pada satu rumusan tentang kenyataan objektif dan kenyataan subjektif, yang keduanya saling bahu-membahu. Karya ini yang akan jauh lebih banyak dibahas dengan pertautannya dengan perkembangan media massa dan hegemoni budaya.
Konstruksi Sosial Media Massa
Konstruksi sosial itu sendiri diasumsikan tentang tatanan sosial atau ruang societas hadir sebagai produk dari manusia, atau lebih tepatnya kondisi sosial adalah hasil daripada produksi manusia yang diselenggarakan secara berkelanjutan. Teori konstruksi sosial semula dikenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (Berger & Luckmann, 1966), mereka memandang bahwa kenyataan realitas sosial hadir dengan dimensi yang bercabang, ialah kenyataan objektif dan kenyataan subjektif. Kenyataan Objektif itu dimaknai secara struktural manusia dipengaruhi oleh lingkungan dimana manusia tinggal, sedangkan kenyataan subjektif, manusia dipandang sebagai organisme yang memiliki kekhasan dalam satu lingkungan, keduanya membentuk pola dalam interaksi.
Sejalan dengan pandangan Berger, teori berger perlu mengalami mutasi dan diserap dalam arus perkembangan media membentuk tatanan masyarakat yang bukan lagi berangkat dari struktur alamiah manusia. Dengan melihat bentuk fenomena dari pengaruh media, misalnya, ada beberapa anak berkumpul dan berlari seperti Naruto, seakan-akan mereka ada di Konoha, hingga bagaimana media membentuk budaya atau gaya hidup konsumtif, standar demi standar terbentuk di tengah-tengah masyarakat. Gambaran ini jika mengacu pada Berger berarti media mengalami proses yang dinamakan tahapan eksternalisasi.
Tahapan eksternalisasi media, dimana interaksi dimulai dari pesan iklan ataupun konten media dengan individu atau pemirsa melalui media massa terjadi secara kontingen, berlanjut hingga diafirmasi secara fisik dan mental, ini menjadi keharusan secara antropologis, terutama sosial media dengan individu pemirsa televisi dan sebagainya. Dalam artian, pencurahan kedirian manusia dimanifestasikan melalui media dengan ragam pola kekuasaan (hegemoni) dan kenikmatan semu (jouissance) melalui simbol-simbol yang disalurkan dalam aktivitas fisik maupun mentalnya. Hal ini terjadi secara berulang-ulang, sehingga membentuk pola habitualisasi, pengendapan dan tradisi.
Dalam kaitannya dengan media, pemaknaan tentang interaksi sosial perlu diperluas, dan dimaknai tidak melulu harus terjalin secara tatap muka, sehingga keberadaan media di masa modern, memenuhi kategori tertentu untuk dipandang sebagai subjek dalam tatanan masyarakat, sebab ia memiliki berpengaruh signifikan pada kehidupan masyarakat. istilah ini disebut oleh Berger tentang interaksi sosial sebagai subject matter, ialahhubungan individu dengan masyarakat, serta hubungan media dengan masyarakat.
Subject matter dalam pandangan Hanneman Samuel (Samuel, 2004), melihat bahwa tiap individu dilandaskan pada makna-makna subjektif, yang dimiliki aktor tentang tujuan yang hendak dicapai. Begitupun dengan media yang dilandaskan pada makna-makna subjektif, interaksi sosial kemudian menjadi center dari dua entitas antara manusia dan artificial intelligent (media), yang paling menyeramkan dari perkembangan teknologi terutama pada media, ialah media sudah memahami secara detail dan mendasar dari setiap penggunanya untuk kapitalisasi dengan kepentingan tertentu; konglomerasi media, kampanye politik, masyarakat konsumtif, hingga lalu lintas westernisasi melalui budaya.
Media dan Hegemoni Budaya Masyarakat
Konsep hegemoni dalam pemikiran Antonio Gramsci terkait dengan tiga bidang sekaligus, yaitu ekonomi, negara, dan rakyat (Gramsci, 2013). Berangkat dari pengaruh media dalam membentuk praktik sosial di masyarakat, media di masa kini memiliki power tersendiri dalam mengkonstruksi realitas sosial sedemikian rupa. Menurut penulis, anggapan ini akan kurang jika pandangan Gramsci tidak dipadukan dalam membaca pengaruh media dalam mengolah pengetahuan menjadi kenyataan buatan.
Hegemoni media sosial bisa dipahami sebagai pengaruh, dominasi dan kekuasaan berbasis digital, sebagai alat alternatif dalam upaya mencapai tujuan tertentu. Pemaknaan pada hegemoni tidak melulu negatif atau positif, ia memiliki makna yang netral, semua tergantung pada tahap internalisasi dan orientasi keberlangsungan hegemoni.
Sejalan dengan Gramsci yang memandang bahwa pengaruh dalam media perlu dibaca untuk melihat pengaruh di balik dari media. Persoalan hegemoni media di Indonesia bisa terekam jelas dalam maraknya konglomerasi media dari segi politik, hiperrealitas media hasil dari mutasi kapitalisme, dan masuknya westernisasi ragam nilai budaya melalui media.
Dalam konteks ini, tiga hal menjadi catatan dalam hegemoni media, yaitu pertama, media merupakan satu langkah alternatif bagi sistem kapitalisme untuk mengarahkan masyarakat sampai pada tahapan dimana masyarakat masuk dalam tahapan hegemoni total tentang masyarakat kapitalisme, melalui cekokan iklan secara bertubi-tubi. Kedua, kesadaran masyarakat ditumpulkan dengan digantikannya kesadaran alamiah melalui transfer knowledge dan kekerasan budaya melalui media. Ketiga, adanya teknologi visualisasi yang mampu mendorong daya imajinasi untuk (becoming) pada media itu sendiri.
Pengaruh media dalam membangun realitas sosial masyarakat tidak menutup kemungkinan untuk adanya kemungkinan counter narasi yang jauh dari mainstream media saat ini, sebab kehadiran media memang pada mulanya hadir dalam posisi netral. Namun, netralitas itulah yang kemudian mendorong secara serampangan media dikembangkan dengan ragam model sesuai orientasi masing-masing.
Referensi
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality. England: Penguin Group.
Gramsci, A. (2013). Prison Notebooks, Catatan-catatan dari Penjara. terj. Teguh Wahyu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, G. (2002). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali.
Samuel, H. (2004). Rethinking ‘CiviL Society’, ‘Region’, and ‘Crisis’. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.