Perselingkuhan Nalar dan Iman dalam Negara (Bag. 1)

Di Eropa abad pertengahan—yang lazim disebut Dark Age (Zaman Kegelapan)—teologi selalu tampil sebagai “sang dominan”, pengangkang filsafat sekaligus pendera sains. Praktis, para filsuf dianggap anti agama, anti doa, musuh agama dan memang filsafat itu bukan mantra sekaligus doa.

Sebagaimana tidak semua orang butuh filsafat, tidak setiap orang pula butuh agama. Mengapa? Hidup tak selalu berkorelasi dengan keduanya. Apa sebab? Tiap manusia tidak sama, tiap tempurung pasti berbeda. Sains tidak butuh agama, dan agama tidak memerlukan sains untuk diimani serta dijalani pemeluknya. Namun demikian, manusia membutuhkan keduanya. Fritjof Capra menambahkan dalam magnum opusnya The Tao of Physic, bahkan manusia membutuhkan mistik untuk menjalani hidupnya.

Benarkah filsafat musuh agama? Bukankah telah banyak tuduhan murahan dan sinisme kampungan bahwa filsafat merusak agama, salah satunya yang digaungkan oleh kiblat kaum puritan, Ibnu Taymiyah? Bagaimana meluruskan pandangan ini? 

Telah sejak lama Immanuel Kant, dengan agnotismenya, menjaga batas-batas nalar dan agama justru secara rasional dan dari perspektif nalar. G. W. F Hegel malah menghancurkan dan menghapus demarkasi itu, dan tak lama kemudian, Soren Kierkegaard tetap mempertahankan batas-batas iman dan rasio itu justru dari sisi iman. Ada apa gerangan atau gerangan yang mengada-ada?

Memang, hubungan filsafat dengan teologi, atau setidaknya rasio dengan wahyu, tak lain adalah topik klasik tentang kawin-cerai di satu sisi dan perselingkuhan di sisi lain. Peran filsafat sebagai ancilla theologiae bagi gereja abad pertengahan adalah catatan hitam sejarah bagi filsafat, jika bukan lubang hitam bagi agama.

Acapkali, filsafat dituduh sebagai sumber ketidakpercayaan terhadap apapun selain dirinya, biang keladi relativisme nilai-nilai dan bahkan nihilisme akut terhadap segala sesuatu di luar dirinya. Relatif karena kebenaran memiliki lanskapnya sendiri dalam filsafat, nihil karena agama tak cukup menjadi solusi dalam hidup yang kompleks. 

Sementara gereja terus mewaspadai krisis iman akibat filsafat, mazhab-mazhab utama dalam filsafat Barat malah mencurigai penyusupan teologi ke dalam argumen-argumennya. 

Meski terlalu lantang, aliran-aliran filsafat itu ingin meninggalkan metafisika dan pada gilirannya teologi juga. Ini semacam dendam sejarah dari rasio selama kekang abad pertengahan membelenggu di bawah kendali gereja.

Di sisi lain, karena oknum pemangku-pemangku agama semakin antipati filsafat, agama kian mengalami radikalisasi, kian luntur keluas-muliaannya. Walhasil, krisis rasionalitas kaum beragama di abad pertengahan itu menyebabkan puritanisasi dan kekerasan atas nama agama hingga era Revolusi Industri 4.0 ini. 

Ini pula yang menjadi salah satu penyebab utama yang membumihanguskan sebagian negara Timur Tengah dan belakangan menyeruak mengemuka di Indonesia. Semua berasal dari krisis akal sehat. Dampaknya, beragama tanpa akal! 

Bahkan, kaum cuti nalar permanen yang istiqamah dengan kebebalan dan bangga dengan defisit otaknya serta-merta secara serampangan menawarkan konsep negara khilafah sebagai solusi bagi segala persoalan hidup. Bukankah sebaiknya cacat logika dan krisis akal sehat stadium 5 itu diobati terlebih dahulu sebelum berbicara tentang negara? Miskin solusinya kerja, dungu solusinya belajar, jomblo solusinya menikah, bukan khilafah!

Tak bisa dibantah bahwa agama dan rasio, wahyu dan filsafat, kini sama-sama berada dan bernaung dalam negara, berlindung di bawah konstitusi dan undang-undang negara. Kita tahu, negara dan konsitusi lahir dari filsafat. Hubungan filsafat dan wahyu bisa saling membantu negara, boleh jadi saling mencabik dan menikam demi menguasai negara, bisa pula mendominasi ala Antonio Gramsci atau setidaknya mereifikasi ala Gyorgy Lukacs berdasarkan maunya negara dan demi kepentingan negara.

Jangan lupa, manusia berada dalam ketiganya, bermain-main di dalamnya, atau malah memasang sebelah kaki di agama dan sebelah kaki di negara, lantas bisa kapanpun berselingkuh ria dengan negara, demi kelamin dan syahwat berkuasa.

Salah satu ciri sosiologis untuk mengukur apakah sebuah hegemoni sedang berlangsung adalah sebilah tanya: sedang tidur kah kesadaran kritis masyarakat (dalam segala aspek) oleh proses penyeragaman berpikir dan penyatuan opini?  

Kritik, Anda tahu, hanya mungkin terjadi dalam iklim masyarakat terbuka dan demokratis agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang, baik wewenang negara, agama, serta wewenang pengetahuan. Sehingga, ungkapan: “mari kita samakan persepsi!” adalah hegemoni yang diperhalus, reifikasi yang dipercantik. 

Dengan kata lain, hegemoni adalah pemenangan pemikiran yang didapatkan oleh kelas yang berkuasa dengan penguasaan basis-basis kognitif, konsensus penggiringan opini, penyebaran opium-opium faktual dan krusial agar masyarakat mabuk agama, puber simbol-simbol keagamaan dan kehilangan sikap kritis, bahkan konstelasi budaya dan kesenian dicemari sedemikian gila oleh pandangan-pandangan represif dan destruktif berbasis agama. Yang menggerakkan media, yang membiayai para pemodal dan proksi-proksi penguasa, yang diserang ego kaum otak cingkrang, pirantinya teknologi informasi, pemanisnya ayat-ayat suci. Kalau kita menolak mereka, segara kita dituduh anti agama! 

Pertanyaan lugu yang bisa kita sodorkan adalah: setelah agama manjadi pendera yang menghapus kesenian dan kebudayaan, setelah agama mencambuk sains dan teknologi dan memaksa keduanya menjadi budak agama, bahkan setelah (ideologi dan sistem) negara dicabik-cabik oleh agama, setelah tak ada yang tersisa selain agama, masih adakah akal sehat? Kini, agama berhadap-hadapan dengan ego yang tadinya mengendalikan agama demi kepuasan tak berujung, syahwat berkuasa semata-mata. Setelah tak ada lagi pintu-pintu konspirasi, bersiap-siaplah agama untuk meledakkan dirinya sendiri di dalam ego: kalah jadi abu, menang jadi arang, ditelan menjadi racun, dimuntahkan menjadi api!

Belakangan, Carl Schmitt, dalam Politische Theologie menyatakan bahwa semua konsep padat dalam teori negara modern adalah konsep-konsep teologis yang dusekularkan. Mengapa? 

Mari kita ingat kembali teori negara-negara modern, misalnya teori kontrak dari Thomas Hobbes, John Locke dan J. J. Rousseau, juga konsep-konsep politik modern yang tumbuh dalam filsafat Jerman, bahkan konsep negara hukum (rechtsstaat) Belanda, serta trias politika (eksekutif, legislatif, yudikatif) ala de Montesquieu, semua pandangan itu terasa betul masih mengandung asumsi-asumsi teologis dan memang berhamburan ayat dan hadits yang melegitimasi itu semua. Ini membuktikan bahwa filsafat Barat yang sekular sekalipun tidak pernah menggeliat di ruang hampa, bernalar di atas altarnya sendiri, ia tetap merupakan warisan tradisi iman tertentu.

Teori-teori politk modern, dengan pendekatan rasionalnya, memurnikan diri mereka dari language games agama dan pendekatan teologis, hasilnya, ia bisa diterima semua kalangan, tanpa merusak tatanan nilai dan kemapanan norma.

Tidak demikian, dalam pandangan Carl Schmitt, konseptualisasi negara dan tentu saja teori politik se-liberal-radikal apapun, tetap merupakan sekularisasi teologi agar diterima oleh masyarakat. Agak bingung, kan?

Lebih jauh, Schmitt berpendapat bahwa teori-teori negara hukum modern tak lain dari deisme, yakni sebuah pandangan teologis bahwa setelah Tuhan mencipta dunia, praktis Dia tidak melibatkan diri dalam urusan-urusan dunia, termasuk juga politik, negara, serta kawin-cerai iman dan akal pun juga beragam perselingkuhan di dalamnya. Dunia bergerak secara otonom dari Tuhan, termasuk juga politik dan pemilu.

Sementara itu, sekularisasi tak lain dari proses-proses terlepasnya berbagai aspek kehidupan dari determinasi agama. Tak heran jika kemudian terjadi ketegangan antara gereja dengan negara, dunia dan akhirat, politik dan paham keagamaan tertentu. 

Pada gilirannya, sekularisasi menghasilkan apa yang disebut oleh Max Weber sebagai “Entzauberung der Welt” (hilangnya sihir dunia). Hal-hal yang tadinya dianggap gaib, misterius, sakral dan supranatural, dianggap biasa-biasa saja setelah datangnya rasionalisme yang merupakan anak kandung filsafat yang paling berani berhadapan dengan apapun dan siapapun, termasuk juga Tuhan dan agama. Nah, ini menarik, sebab dalam kacamata Al-Farabi, Tuhan adalah Al-‘Aql (Intelek), Al-‘Aqil (Subyek yang Berpikir) dan Al-Ma’qul (Obyek yang terus kita pikirkan). 

Namun demikian, manusia itu homo religiosus, sehingga seluruh sisi kehidupan (termasuk politik) juga dilegitimasi oleh agama. Negara memang produk akal, tapi cara menjalani hidup bermasyarakat, dan otomatis bernegara, terdapat inspirasinya dalam Kitab Suci. Sehingga, politik dan agama adalah dua sisi uang logam. Bukankah dahulu raja-raja Eropa baru sah berkuasa setelah direstui gereja? Jika demikan, apa gunanya sekularisasi?

Sekularisasi adalah penumpang gelap dan rombongan liar yang oleh teologi dianggap sebagai “titipan” filsafat agar agama mengalami domestifikasi.

Meski banyak pemikir Barat yang memprediksi dan bahkan meyakini bahwa (pengaruh) agama secara bertahap akan pudar dari muka bumi seiring menggeliatnya modernisasi masyarakat, rasionalisasi agama serta demitologisasi mistik dan mitos-mitos. Alih-alih memudar, agama justru semakin bangkit, tapi kebangkitan agama ternyata kebangkitan yang puritan, yang fundamental, yang radikal, yang intoleran, yang tidak manusiawi, yang mempersetankan perbedaan, yang bengis dan kejam, yang…yang…yang sebenarnya kebangkitan kelamin-kelamin kekuasaan mengatasnamakan agama. Benarkah? Terlalu banyak wallahu a’lam di dunia ini. 

Jangan lupa ngopi, agar tidak terlalu serius membaca tulisan ini! (bersambung)

Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan menjabat sebagai Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Al-Farabi Malang. Penulis buku Peradaban Sarung (2018) dan Kondom Gergaji (2018).

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.