Manusia berusaha berbuat baik karena berbagai alasan misalnya karena pemahaman atas nilai dan prinsip etika kebudayaan atau kepercayaan tertentu. Pemahaman etis atau penerimaan atas hukum-hukum kepercayaan menjadi sebagian dari latar belakang manusia untuk berbuat baik. Serangkaian refleksi di bawah ini menjadi salah satu jalan bagi kita untuk memahami darimana keyakinan atas kebaikan berasal? Bagaimana sebaiknya kebaikan dilandaskan? Apakah benar kebaikan kita merupakan sebuah tindakan yang otentik atau merupakan gerak keputusan yang diarahkan oleh konsep-konsep dari luar diri kita?
Mari kita coba untuk berbicara mengenai kebaikan:
Jika aku mengatakan pada diriku sendiri, ‘’Aku setuju bahwa Kebaikan yang telah kita lakukan tidak perlu disesali oleh diri sendiri’’.
Maka yang menjadi bahan refleksiku ialah bahwa ‘Aku. sering menyaksikan bahwa banyak orang yang kecewa karena merasa kebaikannya tak terbalaskan. Lalu mengapa hal itu dapat terjadi?
Sebutlah seseorang (A) selalu berbuat baik, salah satunya dengan selalu membantu temannya (B) jika (B) dalam kesulitan. Namun di suatu waktu, hal sebaliknya terjadi jika (A) berada dalam kesulitan, (B) tidak membantu (A). Karena hal tersebut (A) kesal dan kecewa karena selama ini (A) selalu sebisa mungkin membantu (B), dan (B) tidak melakukannya.
Asumsi dalam kondisi ini adalah bahwa bagi beberapa orang, melakukan suatu kebaikan perlu berpegang pada “tambahan predikat”. Poin inilah yang dapat mendorong mereka untuk melakukan apa saja, bahkan Kebaikan. Mereka yang merasakan kekecewaan percaya akan hasil yang didapat dari suatu kebaikan yang telah dilakukannya terhadap orang lain. Sederhananya, fenomena ini berpegang pada ekspektasi. Kebaikan yang dikecewakan menunjukkan suatu sikap empati, di mana bentuk kebaikan ini diistilahkan sebagai empati yang ber-rasio.
Rasio yang dimaksud di sini ialah perhitungan atau perbandingan guna mendapatkan timbal balik atau hasil dari effort – yang mana effortnya merupakan perilaku Kebaikan. Lalu dari mana munculnya rasa berpegang pada sesuatu yang dalam hal ini merupakan Empati yang ber-Rasio? Dapat dikatakan bahwa ajaran -nilai-nilai kehidupan- yang ditanamkan pada masa kecil ialah awal mula munculnya pegangan ini. Masa kecil didominasi oleh nilai-nilai yang diajarkan oleh orang tua -bisa pula pada tatanan keluarga (ayah, ibu, kakak, tante, om, kakek dan nenek). Sederhananya kebaikan dikenal sebagai dogma. Di saat kecil, bunyi dogma ini terdengar seperti, ‘’Nak, berbuatlah baik kepada orang lain agar orang lain juga berbuat hal yang sama kepada kita (nantinya)’’. Mengenai bagaimana hal tersebut bisa menjadi bagian dari kepercayaan kita adalah karena keluarga merupakan orang yang paling intim dengan kita (anak), dan hal tersebut menjadikan narasi dogma Kebaikan dapat teraktualisasikan ke dalam kehidupan kita sehari-hari.
Selain dari orang tua dan keluarga, kita mendapatkan dogma tersebut dari tempat yang kita percaya sebagai gudang ilmu, yaitu guru dan sekolah. Dari tempat itu pula bunyi dogma yang khas tentang Kebaikan dan harapan dari perilaku Kebaikan kita dapati kembali, sekaligus melakukan pembenaran dari bunyi dogma Kebaikan yang telah kita dapat dari orang tua dan keluarga.
Hasil dari pembenaran tersebut ialah kita percaya bahwa hal tersebut adalah kebenaran -bahwa jika kita melakukan Kebaikan pada orang lain, maka orang lain akan melakukan hal yang sama terhadap kita. Namun, apakah letak nilai Kebaikan hanya ada dengan jaminan Kebaikan yang sama bagi para pelaku Kebaikan? Bukankah hal tersebut malah menyiksa bagi para pelaku Kebaikan, apabila tidak mendapatkan sebaliknya -ekspektasi Kebaikan bagi para pelaku Kebaikan. Seharusnya tidak, jika suatu hal itu adalah Kebaikan, maka hal tersebut tidak menyiksa para pelakunya. Karena Kebaikan adalah suatu nilai yang datang dari benar, bukan dari perhitungan untuk mendapatkan sesuatu.
Sederhananya, Kebaikan murni hanya ada dengan empati yang Intuitif -intuisi ini membawa diriku pada perasaan benar. Dan bagaimana suatu perasaan benar itu dapat terbentuk, ialah karena aktualisasi nilai-nilai pada kehidupan kita sehari-hari yang akan kita dapati sebagai kata hati, dan dari intuisi yang terbentuk menjadi kata hati ini akan membawa kita pada perasaan lega tanpa kecewa, yang akan menjadi nilai benar dalam hidup suatu individu. Selama suatu hal itu benar dan tidak menimbulkan perasaan yang menjatuhkan kita kepada sifat negatif maka itu adalah benar yang sebenar-benarnya.
Jika aku mengatakan pada diriku sendiri, “Aku mau menolong Dia, karena menurutku menolong itu adalah hal yang benar. Bukan karena akan mendapatkan hadiah jika menolong Dia.” Setidaknya dari penjelasanku ini aku dapat menyadari, bahwa ada orang ‘’pengguna Kebaikan’’ dan ada orang ‘’baik’’. Jadi, kebaikan yang sebenarnya (murni) ada hanya dengan empati yang terbentuk dari Intuitisi bukan terbentuk dari Rasio. Apakah aku akan tetap terus melanjutkan kehidupan sebagai orang pengguna kebaikan atau sebagai orang baik ? Apapun putusannya, itu adalah milikku -kuasa atas segala keputusanku.
Gagasan dalam pernyataan tersebut adalah bahwa kebaikan harus dilandasi oleh rasa tulus, sebab kekecewaan hanya datang bagi mereka yang menginginkan balasan.
Anggota Lingkar Studi Filsafat Discourse
- 01/05/2022
- 18/08/2024