fbpx
Stephen Hawking membaca koran Guardian

Sebagai pembaca semesta, Hawking tidak pernah melewatkan mitologi Skandinavia, Yunani hingga cerita rakya Boshongo-Afrika. Baginya mitos membawa manusia pada imanjinasi tentang semesta sekaligus tapak pertama menuju pertanyaan besar mengenai “ada”. Ontologi Hawking berbeda dengan filsafat pada umumnya di mana ia mengandaikan ada melalui pertanyaan “bagaimana”, alih-alih “mengapa” seperti yang selama ini dipertanyakan oleh Parmenides dan Platon. Bagi Hawking, semesta tidak perlu memiliki alasan ada karena ia sudah ada melalui suatu cara atau “mode” metafisika. Hawking menjelaskan mode mengada semesta yang kemungkinannya tidak terhitung seperti waktu alternatif Feynmann.

Kematian filsafat tidak membuat Hawking meninggalkan filsafat. Dalam menjelaskan perkembangan fisika klasik ke teoretis, ia selalu kembali pada sejarah filsafat seperti Pitagoras, filsuf Ionoa, hingga Descartes. Tahap selanjutnya ia menjelaskan proses lahirnya Lubang Hitam, Teori Dawai, Bing Bang, hingga Teori Segalanya (yang ditinggalkan Hawking sebagai “yang sementara”) melalui hasil penelitian sains modern seperti Einstein dan Conway. Hawking memprediksi sains melalui kaidah antropik lemah di mana manusia menentukan konteks pengamatan, sementara kenyataan baginya adalah realisme bergantung model (MDR) ketika indra membuat model dunia luar. Dengan mengikuti perjalanan ruang-waktu bersama Hawking, akhirnya manusia secara subjektif akan dibawa kembali kepada pertanyaan “mengapa ada sesuatu dan buka ketiadaan”.

Pendiri LSF Discourse dan saat ini menjadi penasihat lembaga. Pimpinan Redaksi lsfdiscourse.org dan penerbit Discourse Book. Mengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content