Kebenaran adalah sebuah topik penting dalam kajian filsafat, terkhusus bagi filsafat kontemporer. Kesulitan yang menyelimuti ide tentang kebenaran begitu banyak dan membingungkan. Paling tidak, sejak permulaan diskusi mengenai kebenaran, para filsuf tidak ada yang setuju mengenai apa saja hal yang menjadi pembawa-kebenaran (truth-bearers). Biasanya, hal yang dikatakan cocok dalam membawa nilai-kebenaran (truth-value) adalah proposisi, yang mana para filsuf membedakannya dengan kalimat dengan cara dan alasan yang berbeda-beda. Namun nyatanya, proposisi merupakan pokok yang kontroversial. Percobaan untuk menemukan teori proposisi — atau bahkan teori yang berusaha menolaknya — terlebih dahulu harus menyelesaikan beberapa masalah metafisika. Pada bagian ini, pertanyaan yang akan kita diskusikan adalah: apa itu proposisi? Perlukah kita untuk menggunakan konsep tentang proposisi dalam filsafat, atau dapatkah kita lepas darinya?
Kalimat dan apa yang dikatakan
Untuk mengetahui secara jernih hakikat dari proposisi, seseorang harus mengetahui tentang kalimat terlebih dahulu. Kalimat adalah satu atau kumpulan kata dalam beberapa bahasa. Bahasa yang dimaksud di sini bisa bahasa seperti Inggris atau Indonesia, atau bahasa artifisial seperti logika. Dalam arti yang intuitif tentang “gramatikal” dan “bermakna” (meaningful), dapat dikatakan bahwa kalimat harus dibentuk dengan baik (well-formed) secara gramatikal, tapi tidak harus bermakna. Seseorang dapat berbicara dengan fasih “kalimat yang tak bermakna” tanpa paradoks. Contohnya seperti yang ada pada tulisan Carrol: “Twas brillig, and the slithy toves/Did gyre and gimble in the wabe.”, atau contoh lain yang disukai oleh para ahli tata bahasa, “Ide hijau tidur dengan cekatan”.
Tak hanya itu, sebuah kalimat bisa memiliki makna yang berbeda: “Seseorang menelan ludahnya sendiri” bisa berarti bahwa ada seseorang mengingkari keputusannya sendiri, atau secara harfiah, seseorang menelan ludah yang ia keluarkan.
Kalimat yang sama bisa digunakan dengan cara yang berbeda: “Ruangannya panas sekali, ya.” bisa menjadi sebuah pernyataan faktual, juga bisa berarti sebagai permintaan untuk membuka pintu/jendela atau menyalakan pendingin udara. Dalam beberapa kasus, berdasarkan pandangan Austin tentang ungkapan performatif (performative utterances), penggunaan kalimat secara khusus dapat memuat suatu tindakan tertentu, contohnya saat seseorang berkata, “Aku janji padamu”. Selain itu, ungkapan kalimat seperti, “Aduh, Sakit!”, memuat suatu tindakan yang canggih, yang mengganti tindakan meringis dan mengerang. Pandangan ini diilhami oleh pemikiran Wittgenstein.
Secara umum, para filsuf telah mengarahkan perhatian mereka pada kalimat deklaratif, suatu kalimat yang digunakan untuk membuat suatu putusan. Kalimat deklaratif merupakan satu dari beberapa jenis kalimat yang mengekspresikan proposisi, yakni ada suatu predikat yang merengkuh subjek. Atau beberapa konsep saling berkaitan satu sama lain dengan cara yang berbeda-beda.
Perbedaan antara proposisi dan kalimat deklaratif digambarkan oleh para filsuf dengan beberapa alasan. Pertama, kalimat dapat tidak memiliki makna atau tidak masuk akal. Oleh sebab itu, ia tidak mengekspresikan apa-apa. Kedua, kalimat yang sama dapat digunakan oleh orang yang berbeda, atau oleh orang yang sama pada kesempatan yang berbeda, bisa benar pada beberapa kesempatan tapi salah pada kesempatan yang lain. “Saya sakit kepala” menjadi benar atau salah tergantung dari siapa yang mengatakannya. Atau misalkan, pernyataan tersebut bisa benar jika anda sedang sakit kepala, tapi salah jika tidak. Ketiga, ada suatu kemiripan yang ditegaskan oleh kalimat, misal “It’s raining”, “Hari ini hujan”, “Dino iki udan”, “Il pleut”. Kalimat tersebut meskipun berasal dari bahasa yang berbeda, namun tampak memiliki isi/maksud yang sama. Isi/maksud yang sama ini disebut sebagai proposisi.
Maka, proposisi bukanlah kalimat, sesuatu yang dapat bernilai benar atau salah. Hanya kalimat yang “signifikan” atau “bermakna” yang dapat mengekspresikan proposisi. Berbicara mengenai proposisi, masalah ambiguitas dan yang-tidak-masuk-akal harus dihindari. Proposisi adalah apa yang ditegaskan saat kalimat diungkapkan. Proposisi-lah yang memasuki relasi logis dengan proposisi yang lain — kalimat tidak membawa atau bertentangan dengan kalimat yang lain. Inilah ciri yang dibawa oleh kalimat deklaratif, di mana ia membawa atau menentangkan diri dengan yang diajukan oleh kalimat deklaratif lain. Selain itu, proposisi, sebagai “apa yang dikatakan” dari apa yang ditegaskan oleh kalimat, dapat dianggap sebagai suatu konten atau objek dari apa yang disebut sebagai “tindak-proposisional” (propositional attitudes), seperti mempercayai, berharap, menilai p — yakni (yang mana p adalah proposisi) sebagai objek dari tindak-proposisional “Saya percaya bahwa p”, “Aku berharap bahwa p”, dan seterusnya.
Banyak sekali alasan umum di luar sana untuk membedakan proposisi dengan kalimat. Saya akan menjelaskan dengan lebih rinci dan mendasar tentang alasan mengapa saya termotivasi untuk membicarakan proposisi. Penting untuk menemui masalah-masalah selanjutnya yang berhubungan dengan status ontologis dari proposisi.
Dari masalah proposisi ini, ada perdebatan metafisika yang tak pernah berakhir. Dari seluruh sejarah filsafat, dan secara khusus di era pertengahan, ada dua aliran pemikiran yang membicarakan tentang entitas abstrak, yakni aliran realis dan aliran nominalis. Umumnya, realisme dalam konteks ini adalah suatu pandangan tentang entitas abstrak, termasuk proposisi, angka dan universal, yang sungguh-sungguh eksis, sebagaimana meja dan pohon. Doktrin Platon tentang Forma membentuk suatu teori realisme awal yang sistematis. Dalam pandangannya, Forma dalam “dunia dari yang-ada” (realm of being) sungguh-sungguh nyata dibandingkan meja dan pohon, yang mana keduanya tidaklah sempurna dan hanya sebagai kopian dari Forma mereka. Nominalis, di sisi lain, mengambil pandangan bahwa entitas abstrak eksis hanya ada pada nama saja, itu sebabnya disebut “nominally”. Jadi, entitas abstrak tidaklah eksis sebagaimana meja dan pohon. Mereka hanya sebuah konsep yang dilekatkan pada sebuah nama. Nominalis cenderung mereduksi entitas abstrak dan menyingkirkan mereka menggunakan analisis. Watak skeptis nominalis atas entitas abstrak menyulut suatu pertanyaan: Apakah proposisi eksis? Jika iya, apakah mereka? Bagaimana seseorang membedakannya? Jika tidak ada jawaban yang memuaskan, apa cara terbaik untuk lepas dari mereka?
Terdengar biasa saat kita berkata bahwa tidak ada entitas semacam itu, baik apapun yang dianggap bersembunyi di balik kalimat, dibandingkan sebaliknya. Namun, sebagaimana yang akan saya tunjukkan dengan usaha keras, motivasi untuk menghibur aliran realisme tentang proposisi, atau lebih lembut, mempertahankan ketertarikan mereka pada cara yang sesuai, menjadi menarik jika bisa diperdebatkan. Sebagai suatu komplikasi lebih lanjut, agak susah melihat bagaimana gagasan ini dapat disingkirkan dalam praktik, jika bukan problematis. Oleh sebab itu, ini adalah pandangan yang berharga untuk digunakan oleh mereka, meski kecemasan para nominalis tentang proposisi yang terpaksa terjadi. Saya kembali pada isu realisme-nominalisme tak lama setelah ini.
Untuk menetapkan alasan yang paling mendasar, kita perlu berkomitmen pada kasus proposisi. Kita perlu mengikuti saran yang berguna dari Ryle, bahwa motif untuk komitmen seperti itu muncul dari dua asumsi yang saling berhubungan dalam pemikiran para filsuf, dengan simpati yang berlebih pada realisme. Yang pertama adalah sebuah pandangan tentang intensionalitas atau keterarahan dari kesadaran. Kedua adalah teori makna denotasi.
Intesionalitas Kesadaran
Ide bahwa kesadaran bersifat intensional adalah suatu ide yang menganggap segala tindak kesadaran mesti tertuju pada suatu objek. Oleh karenanya, kapan pun saya berpikir saya selalu berpikir tentang sesuatu. Saat saya berharap, ingin, percaya, penasaran, takut, saya selalu berharap atas sesuatu, ingin sesuatu, dan seterusnya. Keterarahan dari tindak kesadaran ini adalah “hubungan intensional”, hubungan yang mensyaratkan tindak intensional dan objek yang dirujuk. Objek yang saya intensikan sering disebut sebagai “akusatip” atau “intensi” dari tindak tersebut. Beberapa kata kerja seperti “berpikir” (think), “berharap” (hope), “berharap” (wish), “percaya” (believe), “nilai” (judge), “mengira” (guess), “mempertimbangkan” (consider), disebut sebagai kata-kerja-proposisional (propositional verbs). Dan, aktivitas mental yang mereka tandakan disebut sebagai tindak-proposisional (propositional attitudes atau acts).
Tindak-proposisional terdiri dalam relasi dua-sisi, antara pikiran pada satu sisi, dan suatu entitas kompleks yang dihubungkan oleh klausa “bahwa” (misal dalam kalimat “Saya percaya bahwa dia telah tiba.”, yang mana membentuk suatu intensi dari tindak-proposisional dari pikiran kita) di sisi lain.
Tindak-proposisional (dan intensinya) yang tampak berbeda dari yang lainnya dapat diamati dari fakta bahwa apa yang dapat dikatakan oleh yang satu (tindakannya) tidak selalu dapat dikatakan oleh yang lain (intensi atau objek tindakannya). Contoh, saya percaya bahwa penaklukan orang-orang Norman terjadi pada abad ke-17 M. Apa yang saya percayai mengenai waktu penaklukan orang-orang Norman tidak ada hubungannya dengan tindakan saya dalam mempercayai apa pun tentangnya.
Yang saya percayai atau harapkan ketika saya percaya sesuatu atau berharap sesuatu, adalah sebuah proposisi.1 Ada semacam lingkaran di sini: fakta bahwa proposisi memuat suatu intensi dari tindak-proposisional adalah sesuatu yang sudah termuat di dalam tindak-proposisi itu sendiri. Namun, lingkaran ini bersifat informatif, terkhusus mengenai alasan mengapa proposisi selalu menjadi objek intensional dari tindak-proposisional menjadi termanifestasikan pada penelusuran rincian yang mengarah pada independensi dari tindak intensi mereka.
Anggap kita sama-sama percaya bahwa penaklukan orang-orang Norman terjadi pada 1066 M. Kita mempercayai suatu hal yang sama. Secara logis tindak mungkin kita memiliki suatu tindakan yang terhitung sama, karena tindakan mempercayaimu adalah milikmu, dan begitu pula dengan saya. Apa yang sama adalah apa yang kita percayai, bukan tindak mempercayai kita. Apa yang kita percayai adalah suatu proposisi yang sama, yakni “Penaklukan orang-orang norman terjadi pada 1066 M”. Dengan demikian, proposisi haruslah independen dari setiap tindak kesadaran yang memberi intensi terhadapnya.
Karena saya dapat mempercayai bahwa, “Penaklukan orang-orang Norman terjadi pada 1066 M.” di waktu yang berbeda, proposisi tersebut mesti bersifat netral secara temporal mengikuti tindak-proposisional saya yang temporal pula. Jadi, saya bisa saja membuat suatu kepercayaan yang berbeda-beda selama hidup saya, di satu waktu saya percaya Santa Claus, dan ada kalanya saya tidak mempercayai itu. Di sini saya melakukan tindak-proposisional yang berbeda pada waktu yang berbeda, meski objeknya (proposisi) sama. Hal ini sama ketika Anda membuat suatu tindak-proposisional yang bertentangan dengan yang saya lakukan, misalnya Anda tidak mempercayai Santa Claus. Tindak-proposisional kita berbeda, namun objek tindakan kita tetaplah sama. Dengan demikian, proposisi bersifat independen dari apapun bentuk tindak-proposisional kita.
Ada lagi argumen yang berhubungan dengan objektivitas dan independensi proposisi yang kita coba bahas di atas. Argumen ini diturunkan dari sifat alamiah kebenaran dan kesalahan yang tidak termakan waktu.
Misalnya:
- 5 +7 = 12;
- Peluruhan partikel lamda menghasilkan proton dan pion;
- Perang berakhir pada tahu 1918;
Kebenaran dari pernyataan di atas tidak terjadi ketika saya mulai memikirkan mereka, dan begitu pula sebaliknya. Kebenaran mereka bersifat abadi, jika mereka sungguh-sungguh benar. Saya secara personal tidak hendak membuat suatu tindak-proposisional. Kepercayaan saya bahwa George Eliot menulis Middlemarch adalah sebuah tambahan atas sejarah intelektualitas saya sendiri, dan begitu pula peristiwa-peristiwa sejarah lainnya, di mana peristiwa George Eliot menulis Middlemarch bukanlah bagian dari sejarah intelektual saya atau orang lain (kecuali George Eliot sendiri). Sekali lagi, kesimpulannya adalah bahwa proposisi bersifat independen dari tindak-proposisional apa pun.
Proposisi sebagai intensi dari tindak-proposisional harusnya dibedakan dari “gambar” atau “fakta”. Kepercayaan saya atas, “Penaklukan Norman terjadi pada 1066 M” bukanlah gambar dalam pikiran saya. Bukan juga sebagai “fakta”. Bagi setiap orang yang memahami apa itu “fakta”, pada mulanya mereka mesti menjadi perkara (case), tapi sayangnya seringkali terjadi bahwa intensi dari tindak-proposisional itu, yang digambarkan sebagai “angan-angan”, “harapan yang salah”, dan seterusnya, tidak menjadi perkara apapun di sini. Baik angan-angan dan harapan yang menyakitkan sama-sama mengharapkan p, di mana p adalah proposisi. Oleh karena itu, proposisi tidaklah identik dengan fakta. Fakta, bagaimanapun juga, bisa berarti proposisi yang benar. Atau bisa jadi sebagai perkara (state of affairs) yang mana proposisi mencoba menandakan “nama” atau mendeskripsikannya dengan sedemikian rupa. Ini tak pelak adalah masalah ontologi.
1Proposisi bisa diganti dengan huruf p. Jadi, ketika kita membuat suatu tindak-proposisi bisa dibuat dalam bentuk seperti “Saya percaya bahwa p” di mana p adalah proposisi. (penerjemah)
Artikel ini diambil dari buku karangan A. C. Grayling yang berjudul An Introduction to Philosophical Logic (1990). Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Firmansyah Sundana.
- 11/04/2018
- 16/07/2018
- 17/10/2018