Penalaran dalam Sains

Artikel ini membahas berbagai jenis penalaran – deduktif, induktif, dan inferensi hingga penjelasan terbaik – yang digunakan dalam proses ilmiah dan kehidupan sehari-hari.
Penalaran dalam sains
Penalaran dalam sains

Sains memberitahu kita tentang sesuatu yang sulit dipercaya; bahwa saya dan Anda berkerabat dekat dengan simpanse; bahwa dahulu kala benua Afrika dan Amerika Selatan adalah satu kesatuan; bahwa alam semesta yang begitu luas ini terus mengembang. Simpanse sangat berbeda dengan manusia, mereka berperilaku aneh, berbulu lebat, dan tidak pernah bercukur. Tidak ada dari kita yang pernah menyaksikan benua Afrika dan Amerika Selatan menyatu, apalagi menyaksikan alam semesta ini mengembang. Namun, bagaimana para saintis tahu itu semua? Jika jawabannya adalah penalaran, maka penalaran seperti apa?

Logikawan membagi penalaran ke dalam dua jenis utama: deduktif dan induktif. Penalaran deduktif merupakan penalaran dari premis yang bersifat umum ke kesimpulan yang bersifat khusus. Misalnya:

Premis 1: Semua manusia memiliki paru-paru
Premis 2: Udin adalah manusia
Kesimpulan: Udin memiliki paru-paru

Apabila premis benar, maka kesimpulannya pun harus benar. Skema demikian disebut sebagai validitas atau kesahihan. Kita bernalar menggunakan logika deduktif biasanya dalam kasus mengeliminasi pilihan. Misal kita tahu Udin pamit ke orang tuanya bahwa ia hendak pergi ke perpustakaan atau ke kantor. Tapi kita belum tahu dengan persis si Udin pergi ke mana. Kita mencoba mencari informasi dengan cara pergi mencari Udin ke kantor. Bila Udin ternyata tidak pergi ke kantor, kita dengan percaya diri dapat menyimpulkan bahwa Udin pergi ke perpustakaan. Namun bila pada kenyataan Udin tidak ada di perpustakaan adalah persoalan lain sebab Udin bisa saja berbohong ke Ibunya atau berubah pikiran. Validitas dari penyimpulan kita tetap sahih. Kesahihan dari penalaran tidak bergantung dari fakta yang terjadi, melainkan oleh aturan-aturan penyimpulan deduktif. Aturan logika deduktif terasa intuitif, tapi ada beberapa kasus yang dapat membuat kita berpikir dua kali. Mari perhatikan contoh berikut:

Premis 1: Jika saya lapar maka saya makan.
Premis 2: Saya tidak lapar.
Kesimpulan: Maka saya tidak makan

Jika Anda merasa tidak ada masalah dengan argumen tersebut, maka Anda menyalahi aturan logika deduktif. Tapi jika menurut Anda bermasalah, apa yang membuat argumen tersebut keliru. Ini bisa menjadi bahan perenungan.

Selain logika deduktif, ada logika induktif. Contoh logika induktif:

Premis 1: Tiap kali saya menyalakan komputer, komputer saya tidak meledak.
Premis 2: Saya akan menyalakan komputer.
Kesimpulan: Komputer saya tidak akan meledak.

Tipe logika ini sangat berbeda dengan logika deduktif. Bila premisnya benar, itu tidak menjamin kebenaran dari kesimpulannya. Artinya, kesimpulan tidak ditarik secara pasti dari premis. Namun, bila kita pikirkan dengan seksama, argumen tersebut bukan berarti tidak masuk akal sama sekali. Argumen tersebut masih dapat diterima. Tapi apa yang membuat argumen tersebut diterima? David Hume, seorang filsuf asal Skotlandia, menilai bahwa logika induktif merupakan insting kebinatangan manusia. Artinya, kita sering menggunakan logika induktif dalam kehidupan sehari-hari seperti menyimpulkan arah terbit matahari; menyantap makanan tanpa ada rasa curiga; bepergian menggunakan kendaraan roda dua seakan lebih aman dibandingkan jenis kendaraan lain.

Logika induktif sangat bergantung pada pengalaman kita dalam membuat kesimpulan. Tapi apakah logika ini adalah logika yang menjadi dasar dalam aktivitas ilmiah? Cukup beralasan jika kita menganggap demikian. Sebab kita membuat kesimpulan dari bukti-bukti yang kita temui. Ilmuwan menarik kesimpulan dari bukti-bukti pengalaman dan menarik kesimpulan yang lebih umum. Misalnya dalam kasus down syndrome. Ahli genetika mengatakan bahwa penderita down syndrome memiliki 47 kromosom alih-alih 46 seperti orang normal. Namun, bagaimana mereka tahu? Mereka memeriksa banyak sekali para penderita dan menemukan masing-masing memiliki 47 kromosom. Dari hasil pengamatan tersebut, mereka menyimpulkan bahwa para penderita yang tidak diperiksa pun akan memiliki jumlah kromosom yang sama. Meskipun setiap penderita yang diperiksa memiliki 47 kromosom, namun masih belum dapat membuktikan semua penderita memiliki jumlah kromosom yang sama.

Bagaimana kita mempercayai sains apabila pada dasarnya ia tidak memberikan kepastian? Karl Popper, seorang filsuf asal Austria, memberikan usulan yang menarik. Penalaran sains sebaiknya menggunakan logika deduktif. Bagi Popper, seorang saintis tidak akan dapat membuktikan apakah teorinya benar, tapi mereka dapat membuktikan bahwa teorinya salah. Cara ini dapat diterapkan dengan mencari fakta yang berlawanan dari teori yang diusulkan. Misalnya, teori semua logam dapat menghantarkan listrik. Untuk membuat teori tersebut salah, kita perlu mencari contoh logam di mana ia tidak dapat menghantarkan listrik. Dari cara itu kita dapat secara pasti membuktikan suatu teori salah. Namun proposal ini mendapat ketidaksetujuan dari beberapa filsuf dan ilmuwan.

Dalam sejarah sains, para ilmuwan tidak bertujuan untuk membuktikan suatu teori, melainkan untuk melakukan penemuan baru. Mereka mencoba meyakinkan orang bahwa teori yang diusulkan benar melalui cara-cara pengumpulan data seperti eksperimen.

Meskipun logika induktif memiliki kelemahan dan tidak ketat sebagaimana logika deduktif, cukup beralasan untuk membangun kepercayaan kita pada logika induktif. Orang yang percaya bahwa besok matahari akan terbit dari timur akan lebih rasional dibandingkan orang yang sangat percaya sebaliknya. Tapi apa yang menjustifikasi kepercayaan kita pada logika induktif? Hume memberikan jawaban metafisis terhadap pertanyaan tersebut. Menurutnya alam memiliki sifat yang seragam (uniformity of nature). Keseragaman dari alam ini yang menjamin dari apa yang kita simpulkan melalui logika induktif sehari-hari. Tapi apa yang membuat keseragaman alam benar?

Beberapa filsuf melihat bahwa ada tipe logika lain yang melandasi penelitian ilmiah. Logika ini disebut sebagai “penyimpulan dari penjelasan terbaik”. Mari kita melihat contoh berikut:

Premis 1: Keju di rak makan hilang menyisakan remah-remah di sekitarnya.
Premis 2: Tadi malam terdengar suara garukan dari rak makanan.
Kesimpulan: Keju dimakan oleh tikus.

Tampak berbeda dengan logika deduktif dan induktif. Dari dua premis yang tidak berhubungan secara langsung dapat ditarik kesimpulan bahwa tikus-lah yang memakan keju. Tapi bisa saja bahwa bukan tikus yang memakan keju, melainkan dicuri oleh seseorang. Dalam bentuk penalaran ini, premis yang ada menjadi bukti dari clue bagi penarikan kesimpulan. Mengapa kesimpulan bahwa tikus-lah yang memakan keju, karena ada premis kedua yang mengatakan bahwa terdengar suara garukan.

Ilmuwan menggunakan tipe penalaran ini untuk memberikan penjelasan terbaik bagi suatu fakta berdasarkan clue yang tersedia. Misalkan teori evolusi Darwin. Apabila kita menganggap bahwa spesies saat ini diciptakan secara terpisah dari awal maka kita akan sulit untuk menjelaskan mengapa ada spesies yang memiliki kemiripan. Namun bila kita memikirkan pilihan lain yakni spesies yang ada saat ini berasal dari nenek moyang yang sama, maka kita dapat menjelaskan kemiripan tersebut. Beberapa filsuf mengategorikan logika ini sebagai bagian dari logika induktif, namun ada beberapa yang menganggapnya berbeda. Logika ini masih menjadi topik penelitian yang hangat dalam filsafat ilmu.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content