Dunia yang lengkap
Plato adalah sosok penting di dalam filsafat barat. Ada dua pemikir pra-sokratik yang mempengaruhi Plato yaitu Parmenides dan Democritus. Parmenides seorang pemikir eleatik yang memegang argumen bahwa tidak ada bentuk penyimpangan dari prinsip utama Being. Parmenides adalah seorang monis yang memiliki gagasan bahwa Being merupakan suatu keutuhan atau yang esa, dan ideal. Suatu ke-esa-an yang primordial, sekalipun itu kekosongan, maka ada suatu kekosongan yang primordial yang mana kemudian perlahan-lahan diisi dengan sesuatu yang lain. Sedangkan Democritus adalah seorang yang –bisa dikatakan– materialis yang mempercayai sebuah kemenjadian (Becoming) di atas Being di mana ada proses konstan dari sebuah kemenjadian, dan kemenjadian itu sendiri membentuk Being. Democritus memiliki gagasan bahwa tidak ada yang Esa, melainkan Being itu sendiri mengandung suatu negatifitas yang disebut kemenjadian.
Heraclitus menyatakan panta rhei ouden menei, semuanya bergerak tidak ada yang tetap. Gambaran terkenal, ketika menjejakkan kaki ke dalam sungai, aliran airnya tidak pernah air yang sama. Heraclitus pula secara spesifik meyakini bahwa kita menjejakkan kaki di dalam sungai sekaligus tidak di dalam sungai, seperti di dalam video game jadul – seperti GTA San Andreas misalnya – ketika sedang menyusuri kota ada kondisi di mana objek dalam game tiba-tiba muncul perlahan seiring player berjalan. Dunia di dalam game tersebut yang awalnya diluar pandangan kemudian muncul/meng-ada dalam pandangan player, sudah ada di sana sekaligus tidak ada di sana, yang harus diaktualisasikan lewat proses kemenjadian.
Di dalam video game juga, ketika ada bangunan yang tidak terlalu penting di dalam alur ceritanya, maka game hanya menampilkan muka bangunan tersebut, namun player tidak dapat memasukinya.
Hal ini sangat berkorelasi dengan jawaban katolikisme atas evolusionisme; bagaimana jika Tuhan menginginkan manusia benar-benar menyatu dan tenggelam di dalam dunia. Dan untuk memperkaya detailnya, Tuhan menciptakan fosil yang membuat manusia beranggapan ada asal usul di balik eksistensinya di dunia. Seperti Lord of the Rings, yang membuat film tersebut nampak begitu realistik dan hidup adalah set film yang detail mulai dari kostum, properti, hingga latar tempat. Seolah olah ada sejarah yang mendalam di dalam tayangan layar kaca tersebut.
Kembali ke video game, ketika ada rumah yang sebenarnya hanya tampak luar saja tanpa bisa dimasuki, di mana player tanpa harus memasuki rumahnya, atau disuguhkan dengan ilusi bentuk rumah, sudah cukup membuatnya menerima bahwa dunia yang terbatas tersebut memiliki esensi kelengkapan.
Pertanyaan yang berkembang dari sini adalah apa tujuan dari objek yang ada di dunia ini? Dan apa relasinya dengan kebenaran dan ilusi?
Plato Saat Ini
Penulis akan coba awali dengan pembahasan tentang filsafat Plato di zaman modern sekarang. Tidak dapat dipungkiri bahwa abad 20, menurut Alain Badiou seorang filsuf marxis dan kontinental, merupakan abad anti-Platonis.
Filsafat abad ke-20 dalam berbagai bentuk, apakah itu eksistensialisme, filsafat Heideggerian, Marxisme, vitalisme, filsafat analitis, semua bentuk ini menggunakan Plato sebagai jenis titik referensi negatif, sebagai cara untuk mengatakan bahwa filsafat kita harus dibedakan dari Plato.
Salah satu alasan mengapa berbagai bentuk filsafat ingin membedakan dari Plato adalah bahwa ada pengetahuan umum bahwa Plato merupakan dasar filsafat (yaitu “filsafat Barat hanyalah catatan kaki di Plato” (setidaknya demikian yang dinyatakan oleh Whitehead). Tidak ada cara untuk melarikan diri dari “pegangan Platonis” pada disiplin filsafat. Dengan demikian, Plato menjadi titik negasi untuk membedakan, untuk memperkenalkan sesuatu yang baru.
Penulis menganggap ini sebagai reboot filsafat. Dengan me-reboot filsafat, manusia memikirkan filsafat dari pra-anggapan mendasar yang berbeda, dari asumsi dan aksioma yang berbeda. Tentu saja, ketika kita berbicara tentang Plato, kita berbicara tentang bentuk geometris, kesatuan, keutamaan, keabadian, dan sebagainya.
Dengan Plato mendasarkan gagasan kita tentang kebenaran dalam hal-hal seperti bentuk geometris, kesatuan, keabadian; filsuf seperti filsuf eksistensial, analitik atau vitalis ingin memikirkan dimensi kebenaran yang berbeda. Para filosof vitalis ingin memikirkan kebenaran hidup itu sendiri, yang harus dipikirkan dalam waktu, lebih mengalir, tidak seperti konsepsi kebenaran yang statis. Para filsuf eksistensial ingin mendasarkan kebenaran dalam pengalaman kita sehari-hari, kematian kita, pada kenyataan bahwa kita mati, dan keberadaan itu sulit.
Berpikir kebenaran dengan cara yang berbeda adalah salah satu cara para filsuf abad ke-20 untuk untuk mengatakan, “Oke, filsafat Barat telah berada di bawah pandangan Platonis selama berabad-abad, dan inilah saatnya untuk berpikir dengan cara baru”.
Namun, menurut Zižek, sering kali, para filsuf anti-Platonis menciptakan absurditas fiksi Plato, untuk menyampaikan maksud mereka dan mengomunikasikan kebenaran tentang keberadaan, kehidupan, politik, atau apa pun. Salah satu aspek terpenting dari filsafat dialektika dan dialektika itu sendiri adalah; bahwa ketika kita mendekati semacam penentuan oposisi, ketika kita mendekati seseorang yang kita tolak, yang ingin kita bedakan; maka cara terbaik untuk melakukannya adalah tidak menciptakan absurditas fiksi (atau “Straw-Man“) dari pihak lain, melainkan menciptakan argumen terbaik untuk pihak lain. Dengan cara ini kita dapat mengartikulasikan posisi orang lain dari sikap yang dapat dipercaya dan rasional, untuk memastikan bahwa diferensiasi kita adalah diferensiasi sejati, dan kita (bila benar iya) benar-benar memperkenalkan sesuatu yang baru.
Salah satu aspek dari absurditas fiktif yang Zižek coba soroti adalah gagasan bahwa Plato percaya, bahwa dia mungkin secara unik memiliki akses langsung ke Benda-dalam-dirinya sendiri. Bahwa kita manusia fana-terbatas tidak dapat melihat realitas supra sensible sejati, tetapi Plato memiliki akses ke Hal Nyata, ke bentuk aslinya. Plato memiliki akses ke makhluk abadi yang asli, dan bahwa dia, melalui metode dialektisnya, dan menghadiahkannya untuk sejarah. Kebenaran yang dibangkitkan Plato adalah sesuatu yang tidak melibatkan partisipasi sejarah, tidak melibatkan waktu atau perubahan atau dinamika.
Menurut Zižek, akses langsung ke Hal abadi sebagai absurditas fiksi mencegah kita memahami kedalaman dialog Platonis, dan mencegah kita untuk benar-benar memahami apa yang coba dikomunikasikan Platon dengan gagasannya tentang kebenaran.
Salah satu aspek yang dapat ditarik dari kesalahan penyajian Plato ini adalah bahwa filsafat Plato benar-benar merupakan fondasi dan batu penjuru, secara metafisik dan ontologis, bagi agama-agama Barat, khususnya tradisi-tradisi Abrahamik. Tentu saja, agama-agama Barat sebagai fenomena sosial historis, dengan sendirinya memiliki kekuatan dinamis, berubah, terus bergerak, yang melibatkan pengamat sejarah. Namun, Itu adalah contoh dan bukti bahwa filsafat Plato bukanlah sesuatu yang terputus dari kehidupan, terputus dari wacana nyata, pengalaman sehari-hari, atau politik dan ekonomi; tetapi sesuatu yang sangat tertanam dalam hal-hal itu, sebagai bukti fakta bahwa itu adalah filsafat yang kuat yang cukup untuk membangun pondasi agama-agama Barat.
Alegori Gua
Satu hal yang ingin penulis fokuskan di sini adalah alegori Gua miliki Plato yang mana alegori gua ini sering disalah artikan, namun itu tidak masalah, saya tidak berniat untuk menghakimi orang dengan mengatakan mereka keliru dalam cara mengartikannya. Saya hanya mencoba untuk memberikan interpretasi berbeda tentang alegori gua ini.
Alegori gua ini bisa ditemukan dalam buku VII Plato Republik. Singkatnya ini adalah analogi mengenai tahanan yang sejak lahir berada di dalam gua dalam keadaan dirantai menghadap dinding gua. Lalu ada sebuah cahaya api di belakang mereka dan ada orang-orang (entah siapa) yang memainkan bayangan antara cahaya api dengan dinding gua. Mereka sangat terpikat kepada tembok tersebut, yang artinya tidak hanya mereka terbelenggu secara fisik namun secara ideologis dan spiritual kepada gambar-gambar yang terproyeksi ke tembok tersebut. Hampir mirip seperti dunia di dalam film The Matrix, dimana orang-orang di dalamnya tidak mempertanyakan bangunan sistem dunia mereka karena keutuhan/kesempurnaan dunia tersebut.
Yang dimaksud Plato dalam alegori gua ini adalah gagasan bahwa filsuf dapat bergerak keluar dari gua dan melihat kebenaran, yang mana menjadi sebuah pengalaman yang membutakan karena cahaya kebenaran. Kemudian masuk kembali kedalam gua dan mencoba untuk membebaskan kaumnya dengan mengatakan bahwa yang mereka lihat hanyalah bayangan.
Dari alegori gua ini akan memunculkan pertanyaan, siapa orang pertama yang keluar dari gua? Kenapa orang tersebut dan bukan orang lain? Siapakah figur Neo dalam The Matrix yang tersadar ini? Dan apa yang menyebabkan dia pada saat itu tergerak hatinya untuk keluar dari gua tersebut? Jika seorang filsuf yang melakukan itu lalu siapa filsuf yang mula-mula melakukan itu?
Kemudian pertanyaan postmo yang juga penting adalah, bagaimana jika bayangan atau ilusi yang sebenarnya, bukanlah ketika kita tersadarkan kembali pada dirimu yang sebenarnya, namun bayangan yang diproyeksikan ke dinding itulah gagasan tentang menjadi diri yang tersadar? Bagaimana jika bayangan yang diproyeksikan ke dinding gua itu adalah adalah sebuah fantasi tentang keluar dari gua dan membebaskan orang orang di gua tersebut? Bagaimana jika orang-orang yang berada di gua tersebut percaya bahwa ada seseorang yang akan keluar dari gua tersebut lalu kembali dan mencoba meyakinkan orang-orang untuk sadar namun mereka tidak bisa? pertanyaan yang cukup menggambarkan sebuah kengerian.
Di dalam era modern ada dua cara menyusun ide tentang diri, yang pertama ada dari Kafka seorang novelis, dan yang kedua dari Jean-Paul Sartre, seorang eksistensialis. Jika menggunakan cara Kafka, maka keseluruhan gagasan gua itu secara khusus dibuat hanya untuk menghukum dirimu. Sedangkan untuk sartre, gagasan mengenai neraka adalah orang lain, dengan kata lain gua tidaklah penting, tetapi orang-orang yang ada di gua tersebut lah neraka bagi dirimu sendiri. Sartre tidak mengatakan bahwa kamu akan terikat pada orang lain, namun, yang membuat gua terasa seperti neraka adalah karena kamu bisa memahami dirimu sendiri melalui mereka. Gagasan mengenai kebenaran dari keluar dari gua tersebut menjadi tanggung jawab moral untuk nantinya menyelamatkan orang lain.
Film seri Dr. Who dalam episode Heaven Sent sangat menggambarkan realitas menurut kafka, di mana seorang dengan julukan dokter keduabelas (Twelfth Doctor diperankan oleh Peter Capaldi) yang terpenjara dalam sebuah kastil yang dibuat khusus untuk dirinya dan ada monster berjubah yang mengejarnya kemanapun dia pergi di dalam kastil tersebut. Monster yang mengejar berjalan sangat lambat dan sang dokter dapat dengan mudah kabur darinya. namun monster ini tetap terus mengejar tanpa henti. Monster itu tidak akan bisa menangkapnya kecuali sang dokter lengah. Kamu selalu berpikir kamu telah menghindari monster ini namun monster itu tidak akan pernah berhenti mengejarmu. Sebuah pengejaran tanpa akhir sampai monster itu menangkapmu. Sang dokter pertama kali bertemu dengan monster ketika mereka saling bertatapan dari jendela tower yang berbeda. Monster ini bisa menjadi metafora dari kematian, keterbatasan eksistensi. Bahkan sekarang, ketika kita berada di dalam kelas ini, ada monster berjalan menyeret lambat dan menyeramkan mengintai di belakang menyerap waktu yang melintasi tubuh kita yang mengada di dunia, dan monster yang mengejar kita adalah kematian yang suatu saat bisa menangkap kita.
Lalu bagaimana relasi metafora ini dengan alegori gua Plato? Kembali pada pertanyaan sebelumnya, bagaimana jika, fantasi fundamental di dalam gua tersebut adalah gagasan tentang keluar dari gua tersebut? Gagasan mengenai bangkitnya kesadaran diri untuk menembus keluar dari gua, menuju realitas yang lebih baik akan kebenaran makna dll. Hal ini berhubungan dengan waktu, gagasan mengenai kekekalan dan keterbatasan. Di dalam pemisahan antara parmenidian dan demokritian, kita melihat ada perbedaan dalam konsepsi waktu, Ke-esa-an yang kekal dari Parmenides, sedangkan dalam democritus ada progresi terbatas yang kronologis, karena kemenjadian adalah subjek bagi kematian/akhir. Sedangkan di tengah perbedaan tersebut terdapat celah yang di isi oleh heraclitus tentang proses aktualisasi Yang Ada melalui kemenjadian.
Yang Terbatas dan Tak Terbatas
Dari sini pertanyaan beranjak pada apa relasi antara yang terbatas dengan yang tak terbatas dan menghadirkannya dalam gua? Kita melihat gagasan di dalam gua mengenai adanya substansi kekal, tak terbatas dan murni di luar gua. Sedangkan, di dalam gua pula terdapat eksistensi terbatas yaitu manusia yang anehnya menjadi agen yang menjembatani melalui rasionalitas untuk menemukan hal tersebut. Yang terpenting di sini adalah kita harus beranjak dari realisme naif yang mengatakan, “Lihat lah yang ada di dunia ini telah mengandung kebenaran”. Pertanyaannya, kenapa sesuatu yang ada di dunia mengandung kebenaran? Bukankah sesuatu yang ada di dunia ini merupakan subjek dari keterbatasan? Ketika kamu berusaha mengejar kebenaran dari objek yang terbatas pada akhirnya akan berakhir pada keganjilan yang tak berujung.
Kembali pada series Dr. Who yang terjebak dalam kastil yang sirkular di mana dia terus berusa menghindar dari kejaran monster. Dan dia terus mencari petunjuk entah itu tengkorak, surat, susunan angka. Pada akhirnya dia menyadari bahwa dia bisa mati di dalam kastil tersebut dan ketika dia mati, dia mampu hidup kembali dan mengulangi dari awal pencarian petunjuk yang dibuatnya sendiri sebelum mati. Sampai kemudian dia menemukan ruangan yang terhalang sebuah tembok tebal terbuat dari unsur yang 400 kali lebih keras dari berlian.
Yang menarik dari tembok berlian ini adalah, Steven Moffat, Penulis Dr. Who, mengambil referensinya dari Dongeng Grimm Bersaudara tentang seorang kaisar yang bertanya pada anak penggembala, berapa jumlah detik yang terkandung dalam keabadian? Lalu anak itu meminta kaisar untuk membayangkan gunung yang sangat tinggi dan besar yang puncaknya terbuat dari berlian murni. Butuh seratus tahun untuk seekor burung bisa mencapai puncaknya. Setiap seratus tahun seekor burung akan terbang ke puncak berlian di atas gunung dan mengasah paruhnya di sana. Hal tersebut terus dilakukan sekali setiap seratus tahun di tempat yang sama, hingga puncak berlian tersebut tergores kecil. dan goresan kecil itu masih belum melampaui satu detik dari keabadian. Dari sini anak penggembala tidak sekedar mengatakan bahwa keabadian itu abadi dan tidak dapat diukur. Tetapi detik sebagai unit pengukur waktu tidak eksis di dalam logika keabadian. Dengan kata lain kamu tidak dapat mengukur keabadian karena keabadian adalah ukuran pada dirinya sendiri.
Kembali ke Dr. Who, dia menyadari bahwa ada waktu pada tembok berlian tersebut, dan dia mulai menonjok tembok tersebut sampai dia mati tertangkap oleh monster yang mengejarnya. Dan selama miliaran tahun dia mati dan hidup kembali hanya untuk memukul tembok tersebut dan terbunuh oleh monster tersebut. Dr. Who telah menjadi raja waktu yang menghabiskan waktu itu sendiri. Pengulangan yang dilakukan Dr. Who membuat waktu tidak lagi eksis. Yang menjadi hal penting di dalam semesta Dr. Who ini adalah dia memiliki teman-teman. Namun karena dokter eksis di luar waktu, karakter teman-temannya ini tidak hanya hidup tetapi juga mati.
Ketika berduka, bukan hanya pada momen ketika seseorang meninggal, tetapi juga momen setelah meninggal, yang artinya dia sudah tidak lagi eksis. Kematian hanyalah sebuah momen patahan dari ada menjadi tidak ada. Yang menyakitkan adalah ketika seseorang masih hidup, sedangkan seseorang yang lain telah meninggal.
Karena Dr. Who sadar dia berada di luar waktu, karena dia bukan subjek dari waktu yang hilang/berlalu . di mata Dr. Who semua karakter yang hidup telah mati. neraka diri yang dimasuki Dr. Who, adalah neraka yang tidak biasa eksis bagi Dr. Who. Yaitu neraka konsekuensi semesta keterbatasan di mana dia bisa mati namun tidak bisa. Terus menerus memukul batas dari keabadian. keabadian menjadi pengukur bagi keabadian itu sendiri.
Lalu apa arti dari keluar dari gua? Menurut Plato, ketika kamu keluar dari gua, kamu akan menemukan dunia esensi kebenaran. Tapi itu tidak masuk akal, bagaimana bisa ada dunia esensi primordial yang seolah olah telah direnggut darimu lalu dibawa kembali ke dalam gua. Bukankah menurut Plato dunia luar juga merupakan kopian dari dunia esensi? Tidak jelas apa yang terjadi ketika berada di dunia luar.
Bagaimana jika bayangan yang diproyeksikan ke dinding gua adalah fantasi akan kedirian, makna, kemenjadian dll? Bagaimana jika itu adalah sebuah Ada yang membuat kita memiliki makna dalam bereksistensi yang jika kita keluar dari gua tersebut kita menolak bentuk kedirian tersebut dan masuk dalam sebuah madness?
Kemunculan Logos bukan sekedar kemunculan logika dan akal, melainkan juga kemunculan bahasa, lafal, subjektivitas, mengada di dunia, kemenjadian. Sebuah usaha konstan untuk mengatakan hal yang sudah di salah artikan. Ketika Lacan mengatakan bahasa adalah penjara, penjara itu adalah kastil Dr. Who, atau alegori Gua Plato. Semacam sebuah penciptaan Logos, penciptaan makna, logika, bahasa/tanda, akal sekaligus kegilaan dari akal itu sendiri juga ada di dalam gua tersebut. \
Inovasi Plato di sini adalah, katakan di satu sisi kita memiliki substansi ideal di sisi lain kita memiliki gagasan tentang gua, tentang eksistensi terbatas dan bentuk kemenjadian kebenaran dan subjektifitas. Hal yang menggabungkan kedua sisi ini, keniscayaan yang menjembatani pengukuran keabadian sebagai eksistensi immaterial, dan dunia materi yang terbatas yang didasari kepada Ada yang abadi, adalah subjektifitas.
Kembali kita berada dalam semesta democritus sebuah celah asal, sebuah limit internal. Bagaimana sebuah keabadian hanya dapat diukur melalui yang terbatas. Dan bagaimana yang terbatas hanya dapat diukur dengan eksistensi dan bagaimana eksistensi diukur adalah dengan subjektivitas.
Dan yang terpenting disini adalah bukan ketika kamu berada di luar gua sebagai substansi asal/murni sebagai realitas virtual, atau kebenaran hanya ada di dalam gua. bukanlah kebenaran di luar gua adalah ilusi dan kebenarannya adalah melihat melalui ilusi tersebut. Itu seperti teori teknologi Heideggerian dimana kebenaran tidak ada di luar gua melainkan melalui kesadaran akan subjektifitas pengalaman. Namun keduanya hanya dapat diaktualisasi lewat relasi eventual. Sesuatu yang muncul dari ketiadaan. Kemunculan gagasan bukan dari pengurangan dari suatu esensi asal. jika gagasan akan gua adalah bentuk dari hal yang belum terdeterminasi, yang muncul dari sana adalah subjektifitas.
Disini manusia mencapai suatu hal yang terlihat mustahil, yaitu membentuk suatu penanda atas yang abadi dan yang terbatas kedalam semesta simbolik atau semesta makna. Antara semesta yang abadi dengan semesta terbatas masih belum ada makna. Kemunculan logos/interpretasi/logika bukanlah sebuah bentuk keteraturan melainkan sebuah bentuk kekacauan, tatanan dari yang abadi dan yang terbatas terlihat dengan jelas dalam kekacauan kebebasan subjektifitas personal. Inilah inovasi penting Plato, yaitu subjek atau individu bukanlah sekedar sebuah kertas kosong, atau orang yang terasing dan harus disadarkan namun proses pembelengguan di dalam gua itulah yang menyatukan semesta esensi forma ideal dan abadi, dengan keterbagian yang niscaya dalam dunia ide melalui mengada di dalam gua.
Seperti dalam paradoks zeno yang ingin menolak pergerakan melalui pembagian pergerakan secara tak terbatas. Zeno ingin menggambarkan kekekalan yang tetap namun satu satunya cara hanyalah melalui urutan kronologis kemenjadian. Sama seperti Plato, bagaimana jika yang Ada tidak eksis kecuali melalui bentuk kemenjadian. Dan bagaimana jika kemenjadian tidak akan ada jika tidak ada bentuk penolakan atas kemenjadian dan bentuk negasi murni ini hanya mungkin melalui subjektifitas. Jika kita mencoba membaca alegori gua seperti yang ditawarkan tadi, maka kamu akan mendapatkan alegori gua sebagai pemecahan perseteruan antara negasi dari ada yang kekal dan statis parmenides dengan kemenjadian dari democritus. Dan usaha penggabungan dari keduanya bukanlah berupa subjektifitas sampah, namun sebagai subjek yang telah menggabungkan yang sebenarnya dari yang kekal dan kemenjadian.
Novan Gebbyano
Anggota Departemen Penelitian dan Pengembangan Lingkar Studi Filsafat Discourse.
- 04/05/2022
- 15/10/2023
- 05/10/2024
satu Respon