Ada sebuah pertanyaan yang diajukan oleh filsafat modern, yaitu: apakah masih memungkinkan kebebasan manusiawi bila menerima adanya Allah yang transenden dan kreatif? (Dister, 2000). Di sisi lain, perdebatan para filsuf-eksistensialis tentang Tuhan, bukanlah perdebatan yang bersifat spekulatif atau metafisik, melainkan lebih bersifat practical. Perdebatannya membincangkan bagaimana relasi antara kebebasan manusia dengan Tuhan, pertanyaan-pertanyaan seperti apakah kebebasan manusia kompatibel dan relevan bila adanya Tuhan, atau apakah ia hanyalah sebuah anakronisme yang tidak lagi dibutuhkan oleh manusia abad dua puluh yang reflektif, sadar diri, dan bertanggungjawab? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dalam pusaran perdebatan para filsuf-eksistensialis, bukan perdebatan tentang apakah eksistensi Tuhan dapat dijelaskan secara rasional atau tidak. (Marsh, 1975)
Murtadha Muthahhari adalah salah seorang filsuf sekaligus ulama kelahiran Iran. Ia tidak asing dengan aliran eksistensialisme. Menurut Jalaluddin Rahmat dalam pengantarnya dalam Perspektif Al-Quran tentang Manusia dan Agama, dikatakan bahwa Muthahhari akrab dengan aliran ini, namun ia bukanlah seorang eksistensialis seperti Jaspers atau pun Sartre. Bahkan, ia mengkritik eksistensialisme. (Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an tentang Manusia dan Agama , 1986)
Akan tetapi, Muthahhari tetap dapat dikatakan sebagai seorang eksistensialis, apabila kita merujuk pada pengertian yang dikemukakan oleh Walter Kaufmann dalam bukunya Existentialism: From Dostoevsky to Sartre bahwa eksistensialisme adalah pemikiran yang menolak mazhab filsafat mana pun, yang menganggap pemikiran filsafat tradisional sebagai sesuatu yang superfisial, akademis, dan jauh dari kehidupan. Muthahhari memang menolak filsafat Barat dan mempertahankan dirinya sebagai pengikut “madrasah qur’aniyah,” dengan perspektif Qurani, ia menyorot dengan tajam aliran-aliran filsafat Barat dan menjelaskan dengan fasih kebenaran Islam sebagai suatu “mazhab pemikiran.” (Muthahhari, Perspektif Al-Qur’an tentang Manusia dan Agama , 1986)
Lantas, kiranya bagaimana perspektif Murtadha Muthahhari mengenai relasi antara Tuhan dengan kehendak bebas manusia? Dalam tulisan ini kita akan membincangkannya dengan merujuk pada buku Muthahhari yang berjudul: Manusia Seutuhnya: Studi Kritis Berbagai Pandangan Filosofis.
Menyoal Relasi Tuhan dengan Kehendak Bebas Manusia
Secara umum terdapat dua doktrin yang menjadi acuan dalam topik kehendak bebas manusia, yaitu Determinisme dan Indeterminisme. Dalam Islam dua hal tersebut dihubungkan pada Jabariyah dan Qadariyah. Bagi pemahaman golongan Determinisme—yang dihubungkan dengan paham Jabariyah dalam Islam—mengatakan bahwa segala perbuatan manusia di muka bumi telah ditentukan oleh Tuhan dalam lauḥul maḥfūẓ sejak sebelum ia terlahir ke dunia. Artinya, sejak dari awal mula kehidupannya hingga akhir dari kehidupannya, kesemuanya itu telah ditentunkan oleh Tuhan sejak azali, yang pada akhirnya berimplikasi pada ketidakberdayaan manusia untuk memilih dan berkehendak di dalam dunia pengalamannya sama sekali. (Nasution, 1987)
Sedangkan golongan indeterminisme—yang dihubungkan dengan qadariyah—menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk melakukan dan menentukan sesuatu dengan batasan-batasan yang ia miliki sebagai manusia. (Nasution, 1987) Di lain referensi bahkan, para penganut doktrin ini memiliki pandangan yang menganggap bahwa tindakan manusia itu di luar dari jangkauan tindakan Allah. Sehingga berimplikasi pada kehendak bebas mutlak manusia, tanpa adanya intervensi dari Tuhan. (Yazdi, 2005).
Relasi Tuhan dengan Kehendak Bebas Manusia: Perspektif Muthahhari
Menurut Muthahhari, perdebatan mengenai relasi Tuhan dengan kehendak bebas manusia kerap berkutat pada asumsi Tuhan yang transenden; yang berada pada suatu tempat yang jauh sekali hingga di luar dari jangkauan dunia manusia. Menurutnya, asumsi mengenai Tuhan yang transenden inilah salah satu penyebab yang menjadikan perdebatan mengenai relasi Tuhan dengan kehendak bebas manusia menjadi seolah tak berkesudahan.
Tuhan mesti di-imanen-kan ke dalam diri manusia. Menurut Muthahhari, illah fa’illi (sebab yang menciptakan) itu lebih dekat dengan ciptaannya, ketimbang si ciptaan dengan dirinya sendiri. Muthahhari mengatakan:
“Keterikatan manusia pada Tuhan bukanlah keterikatan pada sesuatu yang lain dan asing, sehingga dengannya manusia bisa melupakan dirinya. Karena efficient cause (illah fa’illi) atau sebab yang menciptakan dan mengadakan suatu maujud itu lebih dekat pada maujud tersebut ketimbang dekatnya maujud itu pada dirinya sendiri.” (Muthahhari, Manusia Seutuhnya: Studi Kritis Berbagai Pandangan Filosofis, 2012)
Tuhan sebagai illah fa’illi sejatinya sangat lebih dekat dengan manusia (sebagai ciptaan-Nya), ketimbang manusia dengan dirinya sendiri. Mengikatkan diri pada Tuhan—sebagai zat yang tak terbatas dan puncak dari kesempurnaan—tidak akan membuat manusia menjadi terbelenggu oleh keterasingan, malahan dengan mengikatkan diri padanya, di situlah manusia akan menemukan kebebasan yang hakiki.
Tuhan bukanlah entitas yang asing bagi manusia. Keterikatan pada-Nya tidak akan menyebabkan manusia terasing dan melupakan dirinya (manusia). Sebaliknya, keterikatan pada Tuhan adalah sebuah gerak manusia dari dirinya yang serba kurang (lack) menuju “Diri” yang kamil lagi lengkap.
Tuhan tidak akan tidak pernah relevan dengan manusia dan kehendak bebasnya (manusia). Bila kita melihat salah satu mode ada yang identik dengan manusia, yang dirumuskan oleh salah satu filsuf-eksistensialis lain, Sartre: being for-itself. Salah satu karakteristik dari being for-itself adalah lack (serba kurang), karena karakteristiknya yang serba kurang itu manusia, menurut Sartre memiliki hasrat untuk menuju atau menjadi Tuhan atau dalam struktur ontologis Sartre disebut Being in-itself-for-itself (Sartre, 1956)
Pada akhirnya, kebebasan manusia hanyalah sebuah perantara, ia hanyalah atribut yang dimiliki oleh manusia yang serba kurang. Tuhan adalah zat yang sempurna dan tak terbatas, mengikatkan diri padanya adalah gerak terus-menerus menuju kesempurnaan. Bergerak menuju Tuhan sejatinya akan membawa manusia menjadi versi yang lebih baik lagi.
Referensi
Dister, N. S. (2000). Filsafat Kebebasan. Yogyakarta: Kanisius.
Marsh, J. L. (1975). Freedom, Receptivity, and God. International Journal for Philosophy of Religion, 219-233.
Muthahhari, M. (1986). Perspektif Al-Qur’an tentang Manusia dan Agama . Bandung: Mizan.
Muthahhari, M. (2012). Manusia Seutuhnya: Studi Kritis Berbagai Pandangan Filosofis. Jakarta: Sadra Press.
Nasution, H. (1987). Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI Press.
Sartre, J.-P. (1956). Being and Nothingness. New York: Philosophical Library.Yazdi, M. T. (2005). Iman Semesta: Merancang Piramida Keyakinan. Jakarta: Al-Huda.