Krisna dan Arjuna sedang meniup sangkakala

Di padang Kuruksetra ribuan tahun lalu, dalam naungan pohon banyan, terjadi percakapan antara Krisna dan Arjuna. Percakapan yang terrekam dalam kitab vedanta Bhagawad Gita ini terjadi saat para ksatria (dari serapan kata ksetra yang berarti padang) wangsa Kuru sedang melaksanakan Bharata Yudha. Bahwasanya Bhagawad Gita disabdakan oleh Krisna ratusan juta tahun sebelumnya kepada Vivaswan Sang Dewa Matahari, Arjuna mengajukan pertanyaan tentang bagaimana mungkin Vivaswan yang terlahir jauh sebelum Krisna, dapat menjadi pengikut Krisna. Arjuna adalah seorang penyembah dan sahabat Krisna, karena itu sebenarnya ia tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri. Menurut A.C Bhaktivedanta Swami Prabhupada, pertanyaan itu dihaturkan Arjuna bukan bagi dirinya melainkan demi menunjukkan kepada manusia akan kebesaran Kresna sebagai Tuhan. Dalam menjawab Arjuna, Krisna menjelaskan bahwa manusia kerap gagal membedakan antara keterkaitan tubuh-jiwa manusia yang fana dengan tubuh-jiwa Tuhan yang transenden. Seperti Arjuna, manusia hanya memiliki kesatuan tubuh-jiwa selama raganya bertahan di dunia. Jiwa manusia tidak dapat bertahan dalam kondisi yang sama persis dalam berbagai tubuh karena keterikatan terhadap dunia justru menyusun jaringan ke-aku-an yang menjalin perangkap jiwanya dalam satu tubuh saja. Sementara sebagai Tuhan, Kresna telah menciptakan berbagai subinkarnasi diri-Nya, seperti Rama dan Nrsimha. Dalam tiap perwujudan, roh Kresna selalu utuh bersamaan dengan beraneka tubuh karena Ia merupakan Srjami (yang ada tanpa kausa) yang akan hadir menyelamatkan orang saleh dan meluruskan bhakti-agama.

Bagi masyarakat beriman, kesatuan jiwa-badan sama pentingnya dengan kesatuan ruang-waktu bagi fisikawan kuantum. Kesatuan tubuh-jiwa mengambil posisi sakral dalam merekatkan pengertian manusia atas eksistensi diri serta relasinya dengan Tuhan. Manusia yang tidak mempercayai keberadaan jiwa dalam dirinya tidak akan mencari asal-muasal jiwanya, apalagi mempertanyakan adakah jiwa yang lebih agung daripada miliknya. Kesatuan tubuh-jiwa ini selalu hadir dalam perdebatan teologi, filsafat, dan psikologi yang selanjutnya mengikutsertakan pandangan Sigmund Freud, bapak psikoanalisis dunia. Freud yang sangat terpengaruh oleh atheisme Feuerbach, memiliki pola pikir radikal dalam memandang perilaku beragama. Baginya perilaku religius merupakan bagian dari kecenderungan libidinal manusia atas pemuasan suatu kehendak. Namun analisa Freud selalu berusaha untuk berada di garis tengah demi objektivitasnya sebagai psikoanalis. Freud menyatakan pula bahwa kesatuan tubuh-jiwa merupakan konjungsi yang dipilih manusia untuk menjelaskan dua forma dalam diri manusia yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Agama pada titik ini merupakan bangunan yang didirikan manusia sebagai usaha pemenuhan kebutuhan untuk menjelaskan dan menguasai alam. Pernyataan ini selanjutnya membawa konsekuensi logis terkait peran dan eksistensi Tuhan. Freud tidak menolak secara langsung eksistensi Tuhan, justru ia memaparkan bahwa pada umumnya dewa-dewa (Gods) setidaknya memiliki tiga peran umum, ialah, pertama, untuk membebaskan manusia dari teror alam. Kedua, untuk menyelamatkan manusia dari kejamnya takdir. Dan ketiga, untuk memberi alih-alih atas penderitaan. Ketiganya merupakan peran Tuhan yang muncul dari sifat manusia yang narsis dan serakah; sebuah bentuk ketuhanan antroposentris yang diinstitusikan oleh agama demi pemenuhan kebutuhan manusia atas rasa aman. Kesimpulan deduktif ini menyebabkan Freud yakin bahwa tuhan para manusia merupakan tuhan yang diciptakan berdasarkan kepentingan manusia sendiri.

Sebagaimana umat beriman lain, Arjuna terus menekuni ajaran sahabatnya mengenai kesadaran Krisna agar dapat menjadi menjadi seorang sadhu (orang suci). Dalam percakapan rohani mereka, Kresna menggambarkan pengetahuan-Nya atas segala sesuatu termasuk keinginan dan hasrat manusia. Kresna menyebut diri-Nya sebagai Kepribadian Yang Maha Esa dimana Arjuna beserta seluruh umat percaya bahwa Ialah penyelamat manusia dari sangkala. Sepotong kepribadian Tuhan penyelamatan seperti Kresna merupakan kepribadian yang ideal bagi manusia narsis. Pada penjelasan ini, Kresna menjadi tuhan yang dikenal dan bersahabat, tuhan para manusia yang mengeluh seperti yang digambarkan dalam tesis Freud. Namun terdapat sepotong peran lain dalam sifat ketuhanan Kresna yang melampaui idealitas tuhan para manusia. Dalam Bhagavad Gita, Kresna hadir sebagai Tuhan pencipta segala jaman dimana keberadaan manusia bukan menjadi pembahasan utama. Tuhan demikian ialah Tuhan yang Harmonia Praestabiliata (pencipta segala sistem hukum alam) sebagaimana dijelaskan Gottfired Leibniz sebagai penghimpun  jaringan kehidupan yang telah terprogram hingga kemungkinan terkecil. Sistem dan hukum yang diciptakan bergerak sedemikian rupa sehingga setiap fenomena terjadi berdasarkan putusan bebas atas aksi-reaksi ciptaanNya yang berjiwa. Sosok Tuhan ini ialah sosok yang motor immobilis, pencipta tanpa pencipta, penggerak tanpa penggerak, yang berperan dalam penciptaan grand-design seluruh tatanan semata. Ialah Tuhan yang maha kuasa yang mengatur segala kehidupan dan menciptakan hukum, alih-alih hukuman bagi makhluk yang bertanggung jawab atas rasa syukur dan konsekuensi pilihan bebasnya.

Pendiri LSF Discourse dan saat ini menjadi penasihat lembaga. Pimpinan Redaksi lsfdiscourse.org dan penerbit Discourse Book. Mengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.