fbpx

Revolusi Industri 4.0 dalam Bingkai Pemikiran Friedrich Nietzsche

Teknologi yang memudahkan seseorang untuk mengakses apapun, tidak serta membentuk mental praktis individu dan akhirnya berhenti menjadi manusia yang selalu melampaui dan mengatasi karena telah dibuai oleh bujuk rayu teknologi.
Friedrich Nietzsche 3D Model created by Hadi Karimi

Dunia yang telah beribu-ribu tahun ditinggali manusia tidak pernah statis. Ia selalu bergerak dinamis, entah dikendalikan oleh suatu entitas abstrak di baliknya, hukum gerak alam semesta yang tercerap oleh indera, atau kondisi suatu komunitas manusia yang mengehendaki demikian, baik dalam bentuk proses kerja sama, konflik, dan lain sebagainya. Dalam gerak yang tak pernah terumuskan dengan tepat ini, tempelan atau identifikasi makna terhadapnya muncul beragam.

Identifikasi pada realitas ini tidak lepas dari sebab manusia yang menghendaki adanya perjalanan panjang menemukan hal bernama kebenaran. Kebenaran yang berbanding lurus dengan kepastian menjadi semacam pegangan dalam memahami, mengelelola, dan menghadapi realitas. Kebenaran ini membantu manusia dalam proses menuju suatu momen melampaui dan mengentas kelemahannya. Sains sebagai salah satu kebenaran, telah melahirkan seperangkat alat yang melampaui dan mengatasi kelemahan manusia, yang kita sebut teknologi.

Adanya handphone mengatasi kesulitan manusia dalam hal berkomunikasi. Komunikasi melalui handphone telah melampaui jarak seperti bisa dilakukan lintas negara hingga lintas benua. Ilmu pengetahuan yang biasa bertumpuk dalam puluhan buku tebal yang berjejer di perpustakaan, kini begitu mudahnya diakses dalam beberapa detik saja. Contoh yang dihasilkan teknologi telah menunjukan betapa kebenaran yang dalam konteks ini adalah teknologi (yang dihasilkan sains) telah menguntungkan hidup manusia.

Pada tahap yang lebih ekstrem, kebenaran kerap kali jatuh dalam lubang “monopoli kebenaran” dalam arti, realitas ditempeli hanya satu pandangan saja, diidentifikasi dalam sebuah ide yang fiksisasikan dalam rupa ideologi, pandangan metafisis, pandangan agama, dan pandangan lain yang isinya mengandung gagasan tetap yang sistematis, berhenti pada satu pandangan dan haram digugat.

Teknologi yang semula disemai untuk memberi kemudahan bagi manusia, tidak jarang berbalik arah mengancam manusia. Apalagi di era dewasa ini, yang disebut Revolusi Industri 4.0, relasi teknologi dominan dalam wajah kehidupan manusia. Perlu adanya kehati-hatian antara memandang realitas yang implikasi lebih jauhnya adalah menempatkan momen Revolusi Industri 4.0 ini sesuai dengan apa yang diharapkan, tidak jatuh pada posisi ekstrem tertentu.

Sekilas Tentang Riwayat Hidup Nietzsche

Friedrich Nietzsche lahir pada tanggal 15 Oktober 1844 di Jerman dan meninggal tanggal 25 Agustus 1900. Kehidupannya sederhana, ayahnya seorang pastor dan didikannya sangat saleh. Di awal kehidupan, sekitar umur empat atau lima tahun ayahnya meninggal dunia, kemudian setahun berikutnya adik Nietzsche juga meninggal dunia. Pada 1869 Nietzsche mendapat panggilan dari Universitas Basel – Swiss untuk menjadi dosen di sana[1]. Kemudian di masa akhir hidupnya di tahun 1879, Nietzsche mewarnai hidupnya penuh dengan pengembaraan dan kesendirian.Di kesempatan ini akan diangkat sedikit pemikiran Nietzsche. Pengambilan sebagian kecil pemikiran ini didasarkan pada adanya kerelevansiannya dengan situasi Revolusi Industri 4.0.

Pertama akan diawali dengan pandangan Nietzsche tentang filsafat. Nietzsche mendefinisikan filsafat sebagai seni transfigurasi, Kunst der Transfiguration, seni mengubah bentuk[2]. Ketika berbicara seni, khususnya seni yang mengubah bentuk, maka tidak lepas dari bahan yang akan dibentuk. Lantas muncul pertanyaan, apa bahan yang digunakan untuk membentuk? Jawabannya ialah segala sesuatu yang menimpa hidup pribadinya. Transfigurasi kiranya harus dipahami sebagai upaya pemberian bentuk yang lebih luhur, lebih indah, lebih bercahaya, “Ke dalam horizon yang lebih spiritual” dan bukan proses sebaliknya yang justru akan menyebabkan de-figurasi[3].

Rasa ketakjuban awal pada realitas kerap kali menjadi titik pijak perenungan filosofis, ternyata dalam pandangan Nietzsche tidak cukup sebatas demikian. Faktor yang menghendaki untuk berfilsafat harusnya tidak berjarak, harus memengaruhi, menjungkirbalikannya, hingga tiba pada kondisi kerasukan. Melanjutkan pandangan Nietzsche tentang filsafat yang dianggap sebagai seni, yang dimaksud seni di sini tentu tidak sebatas asal nyeni. Seniman yang baik dalam konteks ini adalah, orang-orang yang mampu memberikan kosmos (keteraturan), cita rasa, memberi bentuk pada realitas yang chaos.

Dalam pandangan Nietzsche inti realitas tidak mampat kaku dalam satu bentuk. Realitas yang campur aduk, kacau, diolah sedemikian rupa dalam satu pandangan filosofis yang khas, yang diinternalisasi sang seniman handal atau dalam bahasa Niezsche disebut seniman ascenden. Sang seniman tidak dendam di hadapan realitas yang kacau ini, ia menunjukan rasa hormatnya dengan bersikap hati-hati dalam memandang realitas.

Realitas yang kacau, plural, tidak dalam bentuk yang mampat kaku, berpengaruh untuk melihat pandangan Nietzsche tentang kebenaran. Baginya kebenaran yang selalu termanifestasi dalam bentuk ide-ide tunggal. Paham metafisis yang tersusun rapi hanyalah metafor rekaan manusia. Itu hanyalah ilusi ciptaan manusia yang ditinggikan. Kebenaran ini selalu digunakan sebagai kacamata dalam memandang realitas hingga akhirnya realitas diidentifikasi dalam satu sudut pandang kebenaran.

Nietzsche sangat menolak ide tunggal semacam itu, baik berupa sains, agama, isme tertentu, atau suatu bingkai apapun yang mengidentifikasi realitas ini dengan sewenang-wenang, dalam arti mengidentifikasi secara tunggal. Memegang kebenaran semacam ini tidak keliru di mata Nietzsche, ia tetap berguna berhadapan dengan realitas yang kacau, acak, dan plural. Analisisnya tentang genealogi kehendak-kebutuhan untuk percaya. Ide yang pasti dibutuhkan seseorang untuk mengatur dirinya dan mengutuhkan dirinya di hadapan realitas yang terserak-serak.

Fiksasi ide atau sebuah proses menempatkan ide dalam struktur yang padat yang kerap dipandang kebenaran merupakan proses membunuh kehidupan. Dikatakan demikian karena hal ini bertolak belakang dengan pandangan Nietzsche tadi mengenai realitas yang plural, acak, kacau. Ketika kebenaran dipegang teguh, maka yang apa saja yang tidak sesuai dengan kebenarannya akan dibawa menuju altar pembunuhan sehingga membuat realitas tidak utuh lagi. Di titik inilah kehati-hatian Nietzsche menghadapi realitas, ia berpendapat bahwa realitas harus diterima secara utuh, baik sekaligus buruk. Ia gemar mengungkapkan dirinya sendiri secara paradoksis dan dengan suatu pandangan yang mengejutkan pembaca konvensional[4].

Bentuk penolakan seperti atheism dan pesimisme tidak luput dari kritikan Nietzsche. Karena penolakan semacam ini masih berkutat pada satu ide tunggal yang menganggap bahwa dirinya dapat menyentuh seluruh kedalaman realitas. Segala sesuatu yang diterima secara naif dalam realitas atau menolak realitas secara keseluruhan secara naif merupakan bentuk moralitas budak dalam pandangan Nietzsche. Berbeda halnya dengan moralitas tuan yang selalu waspada di hadapan realitas. Kekacauan di dalamnya diwaspadai dalam bentuk ya sekaligus tidak.

Tidak heran bahwa sebagai wujud kehati-hatian dan kewaspadaanya, Nietzsche menjadi kaum perspektivis. Tidak mungkin ada perspektif tunggal tentang realitas objektif dan universal. Manusia mustahil punya akses menuju dunia sebagaimana nyatanya, dan keinginan untuk mendapatkan akses itu sesat dan berbahaya[5].

Tentang Revolusi Industri 4.0

Istilah revolusi industri bukanlah hal baru, karena dunia telah mengalaminya beberapa kali. Revolusi industri pertama atau Revolusi Industri 1.0 dimulai pada awal tahun 1800-an. Pada tahap awal revolusi industri, fokus utama terletak pada fase penemuan mesin dan mekanisasi produksi. Revolusi Industri 2.0 terjadi pada abad ke-19 hingga 20 melalui penggunaan listrik yang membuat biaya produksi menjadi murah[6].

Dunia menitikberatkan pada produksi terintegrasi dan standarisasi. Pada fase ketiga atau Revolusi Industri 3.0 terjadi sekitar tahun 1950, suatu era yang mulai meletakan fondasi internet, teknologi dan komunikasi. Akhirnya tiba pada fase keempat atau yang lebih dikenal dengan Revolusi Industri 4.0 (RI 4.0). Ini adalah era revolusi digital yang ditandai dari masifnya cara-cara baru masyarakat dalam memanfaatkan teknologi[7]. Di titik ini penemuan tidak memberi suatu keadaan berwarna dibanding dengan revolusi sebelumnya. Yang terjadi pada fase ini adalah perubahan dalam cara berinteraksi dan keterhubungan manusia. Secara fundamental, Revolusi Industri 4.0 telah menggeser pola-pola relasi antar manusia. Bagaimana cara manusia berpikir, hidup, dan berhubungan satu sama lain juga ikut berubah. Perubahan yang terjadi lantaran imbas Revolusi Industri 4.0 tidak hanya menyentuh bidang teknologi saja, melainkan juga bidang lainnya seperti politik, ekonomi hingga sosial[8].

Bisa diperhatikan dengan seksama bahwasannya keadaan saat ini memaksa manusia untuk berjejaring. Kehidupan manusia tidak lepas dari relasinya dengan teknologi, khususnya relasi dengan smartphone. Dengan teknologi yang kini mudah didapatkan dan terintegrasi dengan berbagai aspek kehidupan manusia, maka psikologi manusia kekinian pun tidak luput dari imbas Revolusi Industri 4.0.Contoh Kondisi psikologi manusia kekinian di antaranya adalah masyarakat yang konsumtif karena mudahnya pasar untuk diakses melalui smartphone, masyarakat berorientasi instan, dimanjakan dan tergantung pada teknologi.

Pandangan sesaat memang terlihat meyakinkan pada pengaruh yang dibawa Revolusi Industri 4.0 ini, namun dalam sudut pandang yang holistik, pengaruh baiknya juga akan beriringan dengan buruknya. Ketika manusia telah terbuai dengan teknologi yang kini dalam genggamannya, mental praktis dan minim pemaknaan cenderung muncul. Apalagi dengan keadaan pasar yang semakin mudah diakses melalui teknologi, secara tidak sadar merangsang sifat konsumtif. Maka diperlukan pandangan dan pemahaman filosofis berkaitan dengan menyikapi hidup di era Revolusi Industri 4.0.

Nietzsche dan Kaitannya dengan Revolusi Industri 4.0

Secara garis besar bisa dinyatakan bahwa kondisi Revolusi Industri 4.0 mensyaratkan adanya integrasi kehidupan manusia dengan teknologi. Sebagai konsekuensi dari integrasi tadi, maka tidak heran bila manusia dewasa ini umumnya tidak bisa lepas dari relasinya dengan teknologi. Dalam pembahasan sebelumnya Nietzsche mengajarkan untuk tidak menerima sesuatu secara naif ataupun menolak secara naif. Dengan tafsiran, kemudahan yang hadir akibat Revolusi Industri 4.0 ini tidak asal dinikmati saja. Ketika pasar yang semakin mudah diakses dengan adanya online shop misalnya, tidak menjadikan itu sebagai sarana pelampiasan hasrat konsumsi yang tinggi. Teknologi yang memudahkan seseorang untuk mengakses apapun, tidak serta membentuk mental praktis individu dan akhirnya berhenti menjadi manusia yang selalu melampaui dan mengatasi karena telah dibuai oleh bujuk rayu teknologi.

Tidak menolak secara naif dapat diartikan, menolak segala kemajuan ini. Menolak secara keseluruhan adalah tindakan yang tidak logis dan memiliki tensi menentang zaman. Memang tidak bisa disangkal dengan smartphone yang kini hampir dimiliki setiap orang, informasi ujaran kebencian, informasi bohong atau hoax mudah sekali untuk dijumpai. Atau mudahnya video-video yang dianggap kurang mendidik, mendapatkan panggung di ruang publik, dan berbagai kasus lainnya. Contoh kasus yang telah disebutkan bukan berarti mendorong pada sikap pesimsime dihadapan kemajuan teknologi ini bukan? Itulah sebentuk kewaspadaan di depan realitas.

Selain menunjukan kehati-hatian dan kewaspadaan di depan realitas, kaitan berikutnya adalah mengenai filsafat sebagai seni transfigurasi dalam pandangan Nietzsche. Ketika pemahaman sudah sampai pada realitas yang paradoks, pada kondisi ya sekaligus tidak, maka filsafat sebagai seni transfigurasi kembali menemukan tempat bermainnya. Seni yang baik dalam pandangan Niezsche adalah seni yang membentuk, memberikan kosmos pada realitas yang acak dan kacau. Dengan demikian, sisi baik dan buruk Revolusi Industri 4.0 harus diterima dengan utuh tanpa mengamputasi sisi lainnya. Sikap seperti ini dalam ungkapan Nietzsche dinyatakan “roh bebas yang menari di seutas tali tambang di atas jurang”. Implikasinya adalah bisa berupa kesadaran untuk mencari kesempatan di Revolusi Industri 4.0 sebagai upaya melampaui diri atau sekedar praksis keseharian menempatkan kemudahan teknologi sesuai porsinya.

Revolusi Industri 4.0 yang menghadirkan teknologi di berbagai sektor kehidupan manusia mau tidak mau memaksa manusia untuk menyesuaikan cara kerjanya. Karena Revolusi Industri 4.0 merupakan bagian dari peradaban manusia itu sendiri yang tidak dapat dienyahkan begitu saja kehadirannya. Bahkan memang sejatinya teknologi dibuat untuk melayani dan mempermudah aktivitas manusia. Namun, apa yang dihasilkan manusia tidaklah pernah mencapai titik kesempurnaan, yang merengkuh semua dimensi kebaikan dan membuang hal-hal yang dianggap merugikan.

Sama halnya dengan Revolusi Industri 4.0, meskipun dampak baiknya telah dirasakan banyak manusia hari ini, tidak bisa lepas begitu saja dari dampak buruk yang selalu mengikutinya. Hasrat konsumsi melesat pesat berbanding lurus dengan melesatnya jumlah produk yang ditawarkan, mental manusia perlahan berubah sebatas spontanitas tanpa tingkat pemikiran yang menyentuh reflektif, informasi tidak bermutu mengutamakan bungkus berkeliaran di ruang publik, dan berbagai hal buruk lainnya.

Paparan yang mengaitkan Revolusi Industri 4.0 dengan sebagian pemikiran Niezsche bisa dikatakan secara sederhana sebagai “etika” dalam menyikapi teknologi. Berangkat dari pemahaman filsafat dan inti realitas, sikap menghadapi realitas teknologi ini mendorong pada sikap kehati-hatian dan kewaspadaan. Menerima baik sekaligus buruknya, seolah berjalan di seutas tali tipis di atas jurang. Pada akhirnya, gagasan yang diajukan ingin mencoba menempatkan momen pergerakan peradaban ini sesuai porsinya, sesuai apa yang ditanam pada awalnya.


[1] Sunardi, S. (2011). Nietzsche. Yogyakarta: LKis.

[2] Wibowo, A. S. (2017). Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta: Kanisius.

[3] Ibid., hlm.115-116

[4] Russell, B. (2016). Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[5] Munir. (2008). Kritik Nietzsche Terhadap Manusia Modern. 41.

[6] Prasetyo, U. T. (2018). Revolusi Industri 4.0 dan Tantangan Perubahan Sosial. IPTEK Journal Of Proceedings S Banu eries, 22.

[7] Halifa Haqqi, H. W. (2019). Revolusi Industri 4.0 di tengah Society 5.0. Yogyakarta: QUADRAN

[8] Ibid., hlm.15

Albi Abdullah
Albi Abdullah

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content