Pada penghujung 2023 lalu jagad layar lebar tanah air diguncang oleh 13 Bom di Jakarta. Diwarnai oleh sekuen aksi yang tiada henti, karya sinematik garapan sutradara Angga Dwimas Sasongko ini sukses menggaet atensi pecinta film laga dari Sabang hingga Merauke.

Kapabilitas seorang Rio Dewanto dalam melakonkan antagonis pensiunan militer bernama Ismail Gani alias Arok tentu tidak perlu dipertanyakan lagi. Disetir oleh dendam kesumat terhadap sistem yang telah merenggut kebahagiaannya, Arok bersama dengan tangan kanannya yang bernama Waluyo (diperankan oleh Muhammad Khan) melancarkan aksi teror dengan menanam bom di 13 titik vital kota Jakarta.

Konflik memanas ketika sepak terjang Arok, Waluyo, dan para kameradnya dicegat oleh Badan Kontra Teroris Indonesia pimpinan Damaskus (diperankan oleh Rukman Rosadi). Alhasil, pergulatan fisik hingga tembak-menembak ala Hollywood intens menemani sepanjang film. Selain itu, diperkaya dengan efek visual dari tembakan dan ledakan yang begitu mewah, film bergenre aksi-spionase ini tidak membohongi biaya produksinya yang juga mengangkasa.

Namun demikian, tulisan ini bukanlah resensi yang akan membahas deskripsi hingga sinematografi dari film ini. Adapun yang hendak disoroti oleh penulis dalam film berdurasi 143 menit ini adalah kritik sang sutradara terhadap corak perekonomian secara umum, dan sistem finansial secara khusus, yang dinilai mengandung bias epistemologis dan ontologis. Berikut ulasan singkat dari penulis.

Ironi Juru Selamat

Sebagai duduk perkara, mari menempatkan motif utama para antagonis ke atas meja analisis. Adegan dibuka dengan aksi Arok, Waluyo, beserta para kameradnya yang membajak iring-iringan truk pengantar uang. Tidak hanya sampai di situ, kelompok ini pun berjanji bahwa masih ada aksi berikutnya apabila tuntutan mereka tidak ditepati.

Dikisahkan bahwa rentetan teror dari Arok dan kelompoknya ini digerakkan oleh motif pembalasan atas sistem perekonomian yang telah menghisap mereka hingga tersisa tulang-belulang. Sebagai ganti dari sistem perekonomian yang telah mengubur mereka hidup-hidup tersebut, Arok menawarkan cita-cita dunia baru kepada partisannya, yakni dunia tanpa ketimpangan dan kemiskinan, tempat di mana semua orang setara.

Bagaimana caranya? Arok menawarkan “revolusi”, yakni dengan cara mentransformasi sistem keuangan konvensional (baca: Rupiah) menjadi cryptocurrency. Namun sayangnya, hingga Arok meregang nyawa dunia alternatif itu tak kunjung tiba.

Dalam salah satu sesi siniar (podcast) bersama USS Feed, Angga Dwimas Sasongko sebagai dalang di balik pelakonan Arok membeberkan bahwa revolusi yang dikobarkan oleh sang antagonis ini didorong oleh harapan untuk terbebas dari jerat kapitalisme. CEO Visinema Pictures tersebut juga mengungkapkan bahwa, “transformasi finansial” ala Arok, yang menahbiskan kripto sebagai juru selamat, merupakan satu-satunya jalan agar perekonomian terbebas dari cengkeraman para bankir kapitalis yang culas.

Namun demikian, Sasongko menegaskan, segala upaya untuk mencari jalan alternatif dari kapitalisme, termasuk transformasi finansial, akan selalu menemui jalan buntu. Sebagai rasionalisasi atas manifesto tersebut Sasongko menambahkan bahwa pada akhirnya, dengan segala sumber daya yang dimiliki, para kapitalis akan selalu selangkah lebih maju.

Pernyataan wawancara dari penulis naskah sekaligus sutradara tersebut bermuara pada satu kesimpulan, bahwa kapitalisme merupakan lingkaran setan yang niscaya, dan dunia tanpa kapitalisme adalah sebuah utopia. Di titik inilah penulis tidak sependapat.

Kapitalisme dan Hipotesis Puncak Sejarah

Ketika pertama kali menyaksikan film ini, penulis teringat akan sosok Francis Fukuyama. Dalam artikelnya yang berjudul The End of History (1989), Fukuyama mengemukakan hipotesis “kapitalisme sebagai puncak sejarah manusia”. Dalam artikel yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah buku berjudul The End of History and the Last Man (1992) tersebut, seperti halnya Sasongko, Fukuyama juga menisbatkan hukum besi kapitalisme sebagai sistem yang telah final dan absolut sehingga tidak mungkin memiliki alternatif.

Mengaminkan kapitalisme sebagai puncak sejarah berarti menerima secara lapang dada segala bencana berskala global yang diturunkan darinya. Pandangan ini mendorong manusia kepada lembah fatalisme, di mana segala krisis dan konflik yang menyeruak, mulai dari ekonomi, ekologi, sosial-budaya, politik, hingga agama, dipandang sebagai sesuatu yang sudah sebagaimana adanya dan tak terelakkan dari peradaban manusia. Cara berpikir seperti inilah yang diinisiasi oleh Fukuyama, kemudian digemakan kembali oleh Sasongko dalam proyek 13 Bom di Jakarta-nya.

Virus kapitalisme memang telah menjangkiti seluruh lini kehidupan manusia. Amisnya menusuk dari segala penjuru. Namun dengan pisau analisis yang tepat, kita tidak harus menerima kapitalisme sebagai sebuah keniscayaan zaman. Karl Heinrich Marx, yang pertama kali memperkenalkan kapitalisme dalam magnum-opus Das Kapital (1867) miliknya, berhasil mengurai benang kusut sejarah perkembangan kapitalisme hingga titik awal kemunculannya di abad 16.

Dalam hal ini penulis hanya akan menyoroti fakta bahwa, dalam literatur setebal 859 halamantersebut, Marx menampilkan kapitalisme sebagai sebuah epos sejarah yang memiliki titik permulaan. Dan layaknya seluruh hal yang memiliki awal, kapitalisme, setidaknya secara teori, suatu saat akan berakhir.

Salah Kaprah Kapitalisme

Salah kaprah ihwal kapitalisme adalah fenomena filosofis di mana kapitalisme tidak ditempatkan pada kedudukan ontologis dan epistemologis yang seharusnya. Dalam konteks tulisan ini, kerancuan Sasongko dalam mendistingsi antara kapitalisme dan sistem finansial adalah suatu kekeliruan ontologis, sedangkan klaim Fukuyama bahwa kapitalisme merupakan puncak sejarah manusia tak ayalnya merupakan sesat epistemologis.

Mengingat bahwa tulisan ini adalah ulasan film 13 Bom di Jakarta, maka penulis akan meminggirkan klaim Fukuyama dan berfokus pada kekeliruan ontologis dari Sasongko.

Kerancuan Sasongko dalam membedakan antara kapitalisme dan sistem finansial bukanlah kasus pertama dalam sejarah. Dalam salah satu suratnya yang tertuju pada J.B. Schweitzer, Marx pernah melayangkan kritik keras kepada Pierre-Joseph Proudhon, seorang Sosialis asal Prancis. Seperti halnya Sasongko, Proudhon menduga bahwa cara untuk terbebas dari jerat kapitalisme adalah dengan melancarkan “transformasi finansial”.

Agaknya gagasan Sasongko dalam 13 Bom di Jakarta (2023) dan Proudhon dalam A Contribution To The Critique of Political-Economy (1859) dapat dideduksi, mengingat sangat banyak kemiripan di antara keduanya; “bahwa yang jahat dari kapitalisme adalah uang, sehingga penumpasan kejahatan harus dimulai dengan mentransformasi sistem keuangan”. Perbedaannya, Sasongko mengajukan cryptocurrency sebagai penawar dari sistem keuangan kapitalis yang kejam ini, sedangkan Proudhon menyodorkan konsep interest-free credit.

Konsep interest-free credit atau kredit bebas bunga ala Proudhon adalah salah satu tawaran yang ia ajukan untuk membebaskan masyarakat Perancis dari sentralisasi kepemilikan para kapitalis. Sederhananya, Proudhon menuding produk turunan finansial seperti sewa, pajak, dan bunga, sebagai sumber kekuatan bagi kapitalis untuk melakukan akumulasi. Dengan demikian, penghapusan atas ketiga hal tersebut secara tidak langsung akan merenggangkan hubungan antara kapitalis dan objek akumulasinya, yang pada akhirnya akan berimbas pada redistribusi kekayaan. Hal ini sejalan dengan ide yang ditanamkan Sasongko ke dalam kepala Arok. Dengan membayangkan desentralisasi finansial melalui penerapan skema blockchain, Arok menahbiskan kripto sebagai juru selamat manusia dari jerat kapitalisme.

Meskipun demikian, konsekuensi dari salah kaprah Proudhon setidaknya jauh lebih baik ketimbang Sasongko. Ketika revolusi yang dipekikkan oleh Arok (yang hidupnya ditulis oleh Sasongko) berujung pada terorisme dan fatalisme, transformasi keuangan ala Proudhon berlangsung lebih damai dan malah menelurkan gagasan baru bagi tradisi sosialisme, yakni sosialisme libertarian.

Sudah Cukup Kapitalisme Bukan Sistem Keuangan

Rasanya sudah cukup tulisan ini mengulas “gagal paham kapitalisme” yang dipertontonkan dalam film 13 Bom di Jakarta. Dengan demikian,izinkan penulis untuk mengurai secara ringkas inkoherensi antara gagasan “transformasi keuangan” dan “alternatif kapitalisme”, serta mengapa keduanya tidak dapat saling menjawab.

Konsep tentang uang sejatinya hadir jauh sebelum masyarakat kapitalis. Dalam bukunya yang bertajuk Asal Usul Kekayaan (2013), Martin Suryajaya mencoba mengurai kembali persoalan fundamental dari ilmu ekonomi, yang tentu memiliki implikasi logis terhadap konsep uang. Dalam salah satu bab yang memuat tentang Aristoteles dan gagasannya mengenai pertukaran dan keseukuran, Suryajaya dengan tegas mendudukkan uang sebagai sebuah alat untuk mengekspresikan keseukuran, yang pada akhirnya akan memungkinkan pertukaran.

Dijelaskan bahwa sebelum ide tentang uang mengemuka, pada mulanya manusia menerapkan sistem barter dalam pertukaran barang kebutuhan. Sistem ini dilandasi oleh prinsip kesaling kebutuhan yang mengekspresikan kesetaraan dan keseukuran. Sederhananya, sebuah pertukaran menjadi mungkin karena terdapat satu syarat yang melandasi, yakni kebutuhan oleh kedua belah pihak.

Syarat pertukaran ini kemudian terejawantahkan ke dalam bentuk materiil berupa uang. Uang dalam konteks ini hadir dalam beraneka rupa. Masyarakat Sumeria Kuno misalnya, yang diketahui menggunakan jelai (sejenis padi) sebagai uang sejak tahun 3000 SM. Di penjuru dunia lain seperti Afrika, Asia Selatan, hingga Asia Timur, konsep uang termanifestasi ke dalam bentuk cangkang kerang, kulit ternak, hingga garam. Kemudian memasuki milenium ke-3 SM, uang dengan bahan dasar perak dan emas baru mulai diperkenalkan oleh peradaban Mesopotamia.

Berdasarkan pemaparan fakta di atas, pembaca sekalian dapat memahami bahwa peradaban manusia telah mengenal sistem keuangan selama ribuan tahun. Namun demikian, gejala-gejala turunan dari kapitalisme seperti ketimpangan dan kemiskinan yang selama ini kita saksikan justru mulai merebak dalam 5 abad belakangan, dan malah semakin marak hanya dalam beberapa dekade terakhir.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa kapitalisme tidak identik dengan, ataupun terlahir dari, sistem keuangan. Malah sebaliknya, meminjam gagasan Aristoteles dalam Suryajaya (2013), kapitalismelah yang mendisrupsi konsep uang yang sebelumnya merupakan alat pertukaran dengan tujuan untuk pemenuhan kebutuhan, menjadi media untuk menimbun kekayaan.

Dengan demikian, mari kembali pada pernyataan Sasongko dalam wawancaranya bersama USS Feeds. Sampai titik bahwa transformasi finansial tidak akan mengakhiri kapitalisme, saya sepakat. Namun bahwa dunia tanpa kapitalisme adalah sebuah utopia? Yang bener aje! Rugi dong.

Daftar Pustaka

Coen Husain Pontoh. (2008, April 9). Kapitalisme. Indoprogress. https://indoprogress.com/2008/04/kapitalisme/

Dicky Ermandara. (2016, August 3). Konsepsi Metalis atas Uang. Indoprogress. https://indoprogress.com/2016/08/konsepsi-metalis-atas-uang/

Eva Novi Karina. (2019, February 27). Ketika Fukuyama Bertobat Dan Menunda “Akhir Sejarah.” Indoprogress. https://indoprogress.com/2019/02/%EF%BB%BFketika-fukuyama-bertobat-dan-menunda-akhir-sejarah/

Francesco Hugo. (2021, August 23). Marxisme dan Money Heist. Indoprogress. https://indoprogress.com/2021/08/marxisme-dan-money-heist/

Francesco Hugo. (2022, January 20). Marxisme dan Blockchain. Indoprogress. https://indoprogress.com/2022/01/marxisme-dan-blockchain/

Karl Marx. (1865, January 24). About Proudhon. https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1865/tentang-proudhon.htm

Martin Suryajaya. (2013). Asal Usul Kekayaan. Resist Book.

Nadya Karimasari. (2016, February 9). Dalil Pokok Kapitalisme. Indoprogress. https://indoprogress.com/2016/02/dalil-pokok-kapitalisme/

Pierre-Joseph Proudhon (Yab Sarpote, Trans.). (2015, July 30). Kolektif Anarkis. https://anarkis.org/2015/07/30/pierre-joseph-proudhon/

Rafael Lumintang. (2023, June 17). Konsep Sosialis Menurut Pierre-Joseph Proudhon dan Relevansinya Terhadap Kesenjangan Ekonomi di Indonesia. Ranaka News. https://ranakanews.com/konsep-sosialis-menurut-pereirre-joseph-proudhon-dan-relevansinya-terhadap-kesenjangan-ekonomi-di-indonesia/

Reno Wikandaru & Budhi Cahyo. (2016). LANDASAN ONTOLOGIS SOSIALISME. Jurnal Filsafat Universitas Gadjah Mada, 26(1), 113–135.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.