Kajian Feminisme Eksistensialis Simone De Beauvoir: The Second Sex

Simone de Beauvoir dan Buku The Second Sex
Simone de Beauvoir dan Buku The Second Sex

Kelahiran Seorang Emansipator

Prancis 9 Januari 1908, dari pasangan Georges Bertrand de Beauvoir dan Françoise Beauvoir lahirlah seorang perempuan cerdas dengan pikiran-pikiran pembebas. Simone de Beauvoir adalah anak sulung dari keluarga de Beauvoir, salah satu keluarga borjuis Perancis yang harus kehilangan sebagian besar hartanya sebagai dampak dari Perang Dunia I. Meskipun telah kehilangan banyak aset, keluarga de Beauvoir tetap mengusahakan agar putrinya mendapatkan pendidikan di tempat yang bergengsi. Alhasil, de Beauvoir berhasil menyelesaikan studi dengan memperoleh gelar filsafat dari Universitas Sorbonne – Prancis pada tahun 1929.

Simone de Beauvoir hidup di era kejayaan filsafat eksistensialisme, salah satu aliran yang cukup berpengaruh di Prancis pada saat itu. Ia hidup sezaman dengan beberapa pembesar eksistensialisme lain seperti Jean Paul-Sartre dan Albert Camus. Masa muda de Beauvoir dihabiskan untuk meneliti dan mengkritik konstruksi gender perempuan dalam epistemologi sosial masyarakat Prancis pada saat itu.  Hal ini dapat dilihat dari beberapa buku karyanya seperti She Came to Stay (1943), All Men are Mortal (1946), The Woman Destroyed (1967), dan magnum opus The Second Sex (1949).

Perjuangan Beauvoir menuntut pembebasan perempuan atas konstruksi masyarakat patriarki terus berjalan hingga akhir hayatnya. Ditemani oleh kekasihnya, Sartre, ia terus menyuarakan hak kebebasan bagi perempuan untuk memilih dan menentukan nasibnya sendiri. Beauvoir meninggal pada tahun 1986 kemudian dimakamkan bersisian dengan Sartre. Meski telah meninggal kurang lebih 37 tahun yang lalu, pemikiran dan pekik pembebasannya akan kembali bergema tiap kali ada perempuan yang harus tunduk, patuh, dan terasing dari masyarakat.

Eksistensialisme Sartrean

Hidup yang dihabiskan bersama Sartre membuat pemikiran Beauvoir banyak dipengaruhi oleh Eksistensialisme ala Sartre, atau biasa disebut Sartrean Existentialism. Simone berpendapat bahwa tidak ada hal yang esensial dari keberadaan manusia. Eksistensi manusialah yang pada akhirnya merupakan esensi atau caranya dalam ber-ada. Selain itu, Simone juga berpendapat bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang sadar sepenuhnya akan keberadaannya, oleh karena itu manusia memiliki kehendak bebas untuk menentukan caranya ber-ada. Pandangan ini seturut dengan argumentasi Sartre yang mengklasifikasikan jenis keberadaan menjadi dua yaitu etre en soi (ada pada dirinya) dan etre pour soi (ada untuk dirinya).

Pandangan Beauvoir tentang kebebasan juga memiliki kesamaan dengan pandangan Sartre. Menurut Sartre, karena sadar akan keberadaannya maka manusia bebas untuk memilih caranya ber-ada. Akan tetapi, kebebasan manusia untuk memilih tidak diikuti dengan kebebasan untuk menghindari konsekuensi. Setiap pilihan akan membawa manusia pada konsekuensi. Dan karena ditakdirkan untuk bebas, berarti manusia juga diharuskan untuk menanggung beban dari berbagai konsekuensi. Dari sinilah kemudian timbul ungkapan yang menjadi ciri khas dari kaum eksistensialis bahwa “kebebasan adalah kutukan”. Demikianlah adanya karena manusia ditakdirkan untuk bebas memilih, dan menanggung beban konsekuensi atas pilihannya.

Eksistensialisme Sartre memandang bahwa “aku” bukanlah satu-satunya subjek yang bebas. Seluruh manusia berhak untuk mendaku dan mensubjekkan dirinya masing-masing sebagai “aku yang bebas”. Oleh karena itu kebebasanku bukanlah kebebasan yang benar-benar bebas. Ia harus bertarung dengan kebebasan manusia lain guna memperebutkan tempat untuk eksis. Menurut pandangan Sartre, manusia selalu mensubjekkan dirinya dengan cara mengobjektifikasi manusia lain. Oleh karena itu perjuangan dari seorang eksistensialis adalah perjuangan untuk mengobjektifikasi manusia lain, kemudian berusaha untuk eksis sebagai satu-satunya subjek yang bebas dan berdiri atas kehendak sendiri. Karena kebebasan-ku harus dibatasi oleh kebebasan orang lain, dan orang lain juga sedang berjuang untuk mengobjektifikasi diri-ku maka kemudian lahirlah peribahasa kaum eksistensialis “Hell is Other People”.

Yang terakhir dari Sartre yang mempengaruhi pandangan de Beauvoir dan memantik dimensi emansipatoris dalam dirinya adalah gagasan La mauvaise foi atau biasa disebut bad faith. Menurut Sartre, bad faith adalah keadaan di mana manusia menggantungkan dirinya pada sesuatu yang lebih besar atau dipercayainya lebih kuat. Ketergantungan ini membuat manusia lupa terhadap keberadaannya sendiri. Pada akhirnya ketergantungan manusia terhadap sesuatu yang dianggap jauh lebih besar dari dirinya ini akan menodai eksistensinya karena kemudian akan membuatnya kehilangan jati diri, terasing dari dirinya, dan berakhir sebagai objek.

Beberapa pandangan di atas menjadi fondasi atau pemantik bagi Beauvoir untuk kemudian mengkritik posisi perempuan dalam konstruksi masyarakat, khususnya masyarakat Prancis pada saat itu. 

Akar Penindasan Perempuan

One is not born, but rather becomes, a woman.” Kutipan inilah yang kurang lebih menggambarkan pendapat Simone de Beauvoir terkait akar penindasan terhadap perempuan. Jika dibedah lebih jauh, ia secara implisit menyatakan bahwa perempuan tidak pernah dilahirkan. Perempuan adalah produk dari konstruksi sosial masyarakat yang selalu hidup berdasarkan mitos-mitos dan stereotip yang dilekatkan pada dirinya oleh masyarakat. Dalam masyarakat beragama misalnya, diceritakan bahwa perempuan pertama kali diciptakan hanya untuk mendampingi seorang lelaki yang hidup sendiri dan kesepian. Dalam cerita ini dilekatkan mitos bahwa fungsi perempuan hanya sebatas untuk mendampingi laki-laki.

Kepercayaan-kepercayaan tradisional juga seringkali mereduksi perempuan hingga pada aspek biologisnya saja. Misalnya, perempuan yang ditugaskan menjadi alat untuk meneruskan keturunan semata. Atau sering ditemukan kebudayaan yang menganggap perempuan sebagai objek transaksi, di mana perempuan bisa ditawar dan diniagakan oleh anggota keluarganya atas nama adat. Dalam hal ini perempuan selalu ditempatkan pada posisi yang menyulitkan.

Masyarakat mengonstruksikan perempuan sebagai makhluk yang lemah lembut, patuh, jinak, tunduk, pasrah, anggun, pasif, pengabdi, dan seterusnya. Sebaliknya laki-laki selalu digambarkan sebagai makhluk yang serba bisa, kuat, dominan, memimpin, kasar, rasional, pelindung, dan seterusnya. Pemahaman pada esensi semacam inilah yang kemudian menjadikan perempuan atau laki-laki tidak dilahirkan, melainkan diproduksi oleh masyarakat yang disebut masyarakat patriarkis. Oleh karena itu, yang bertanggung jawab atas inferioritas perempuan adalah konstruksi masyarakat patriarkis, yang dianggap bersifat manipulatif dan tidak berlandaskan realitas. Karena tidak berlandaskan realitas dan tidak esensial, maka menurut Beauvoir konstruksi masyarakat ini dapat diruntuhkan kapan saja.

Konstruksi masyarakat ini telah terbukti menjebak perempuan dalam pola la mauvaise foi atau bad faith. Artinya, perempuan percaya bahwa dirinya terkondisikan dalam esensi yang terproduksi dan kemudian tersosialisasi dalam masyarakat Patriarkis. Hasilnya perempuan tidak bisa menjadi tuan atas diri mereka sendiri dan selalu gagal untuk menjadi subjek yang bebas mengeksiskan dirinya. Pada akhirnya perempuan akan selalu hidup mengikuti tuntutan masyarakat patriarkis dan terasing dari dirinya sendiri. Proses terciptanya perempuan ini yang disebut oleh de Beauvoir sebagai tahap womanization. 

Perempuan sebagai The Second Sex

Karena terkondisikan sebagai “yang tidak berdaya”, maka perempuan akan selalu muncul sebagai atribut pelengkap bagi laki-laki. Perempuan dalam masyarakat patriarkis dikesankan selalu terikat pada keberadaan laki-laki. Perempuan tidak bisa hadir dalam keberadaannya sendiri. Seturut dalam tesis Hegel tentang Others and The Self, perempuan selalu tampil sebagai The Other yang selalu terobjektifikasi oleh subjektivitas The Self.

Apabila tesis tersebut ditarik kembali ke eksistensialisme Sartean, The Other digambarkan sebagai neraka (hell is other people). Mengapa demikian? The Self dan The Other diasumsikan sebagai objek yang sama-sama bebas. Akan tetapi, kebebasan The Self selalu dibatasi oleh kebebasan The Other. Dalam pertarungan kebebasan ini siapapun yang berhasil mendominasi akan mengobjektifikasi yang lain. Dan yang berhasil mengobjektifikasi akan eksis sebagai satu-satunya subjek.

Masyarakat patriarkis menurut Beauvoir akan selalu menempatkan perempuan dan laki-laki dalam keadaan yang saling mendominasi dan bertikai. Perempuan (Other) yang terlanjur terjebak dalam bad faith akan hidup menggantungkan diri pada keberadaan laki-laki (Self) dan berakhir sebagai makhluk kelas dua dalam hirarki masyarakat Patriarkis (The Second Sex). Sedangkan laki-laki akan selalu terancam atas keberadaan Other (perempuan) yang sama-sama bebas. Oleh karena itu laki-laki harus terus menempatkan perempuan sebagai “objek” untuk melanggengkan posisinya sebagai The Self.

Antara Perempuan dan Kebebasan

Sebagai seorang eksistensialis, Beauvoir menentang segala bentuk gagasan tentang esensi yang mendahului eksistensi. Menurutnya, konstruksi tradisional mengenai esensi perempuan sebagai makhluk kelas dua (The Second Sex) hanyalah mitos yang diciptakan oleh masyarakat patriarkis untuk melanggengkan hierarki sosial yang berlaku. Eksistensialisme meniscayakan kebebasan, entah itu laki-laki ataupun perempuan. Kungkungan segala dogma, aturan, dan ikatan yang  bersifat esensial harus didobrak karena tidak berlandaskan realitas.

Di sinilah gagasan feminisme berlaku. Beauvoir, perempuan harus punya kekuatan untuk membebaskan diri dari segala hukum, aturan, norma, dan esensi yang dilekatkan oleh masyarakat patriarkis kepada dirinya. Segala sesuatu yang sifatnya membelenggu hanya akan menghalangi perempuan untuk memperoleh sesuatu yang menjadikannya manusia yang sebenar-benarnya, yaitu kebebasan. Selain itu, perempuan juga harus melepaskan diri dari kungkungan la mauvaise foi. Perempuan harus berhenti bersandar pada mitos-mitos dan kekuatan-kekuatan yang dia anggap lebih besar dari dirinya, kemudian siap hidup dalam jati dirinya sendiri. Lebih lanjut lagi, perempuan harus sadar bahwa satu-satunya yang hakiki bagi manusia yang sadar terhadap keberadaannya sendiri (etre-pour-soi) adalah kebebasan.

Jalan Pembebasan Perempuan

Beauvoir memproyeksikan pembebasan perempuan pada dua level, yaitu level pemikiran dan level praksis. Pembebasan di level pemikiran berarti perempuan harus terbebas dari segala dogma dan aturan yang mempostulatkan esensi dirinya. Perempuan harus sadar bahwa ia adalah manusia bebas yang memiliki potensi untuk eksis dan menentukan esensinya sendiri. Pembebasan di level kedua adalah level praksis, yang berarti perempuan harus memiliki kemandirian terhadap apapun. Penindasan selalu bermula pada kebergantungan, sedangkan kebergantungan selalu berasal dari ketakberdayaan. Oleh sebab itu, untuk menjadi bebas perempuan harus mandiri dan memiliki nilai tawar tersendiri. Dengan itu perempuan tidak akan lagi bergantung pada apapun.

Dalam rangka pembebasan terhadap perempuan, menurut de Beauvoir ada beberapa langkah yang harus dilewati terlebih dahulu. Pertama adalah pengarusutamaan, maksudnya adalah perempuan harus berani menyuarakan kebebasannya. Isu-isu terkait keperempuanan harus lebih dimasifkan guna memantik kesadaran masyarakat sekaligus mencari kawan dalam pergerakan. Yang kedua adalah pemberdayaan, di mana perempuan harus terlatih untuk mandiri. Dan yang terakhir adalah penyetaraan, di mana perempuan sudah bisa mengklaim posisi-posisi strategis dalam masyarakat. Perempuan sudah bisa bekerja dan menjadi anggota intelektual. Dengan menduduki posisi strategis maka perempuan dapat melakukan transformasi sosial dan mendobrak tatanan masyarakat Patriarkis yang selama ini menindasnya. Pada akhirnya, perempuan dituntut untuk dapat memberi kontribusi bagi masyarakat.

Daftar Referensi

https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/manadarin/article/view/45183/38354

http://digilib.uin-suka.ac.id/id/eprint/17096/1/11510033_bab-i_iv-atau-v_daftar-pustaka.pdf The Second Sex – Simone de Beauvoir https://www.goodreads.com/book/show/457264.The_Second_Sex

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.