Seyyed Hossein Nasr: Menyoal Desakralisasi Epistemologi Sains Modern

Jika perkembangan sains dan teknologi hari ini disebabkan oleh ketiadaaan metafisika, apakah hal itu mampu menjamin terpenuhinya aspek rohani dan spiritualitas?
Seyyed Hossein Nasr
Seyyed Hossein Nasr

Diakui atau tidak, beragam teknologi umat manusia saat ini merupakan hasil dari sains modern. Beragam teknologi seperti motor, mobil, gawai, hingga komputer, dan laptop adalah buah keringat para pemikir yang dengan tekun mengembangkan ilmu sains. Dari sains, lahirlah teknologi—kira-kira demikian. Singkatnya, dunia materi dan teknologi tidak terlepas dari pengaruh sains yang dikembangkan oleh ilmuan terdahulu.

Berbicara mengenai sains, mau tidak mau kita harus menilik Renaisans, yakni zaman ketika sains mengalami perkembangan pesat. Selain itu, zaman itu merupakan titik dimulainya modernitas secara gencar-gencaran. Dalam buku Sejarah Filsafat Yunani (1999), Kees Bertens menyinggung bahwa era modern dipelopori oleh Francis Bacon, Isaac Newton dan Rene Descartes. Periode modern ini mengusung tema scientific method, yakni adagium metode ilmiah, di mana mereka ingin lepas dari cengkerama doktrin-doktrin esoterik (gereja/agama).

Selain itu, kehadiran Bacon-Newton-Descartes ini mengubah haluan cara berpikir lama yang terselubungi paradigma Aristoteles. Mulanya, dalam rangka melihat alam semesta, orang berpikir bahwa alam mempunyai sebab dan tujuan penciptaan. Barulah sejak memasuki modern, tujuan (final cause) dan penyebab “pertama” (formal cause) mulai dikesampingkan sebagai gebrakan anyar (Aan Rukmana, 2013).

Alhasil muncul lah tesmak Newton-Cartesian, bahwa alam semesta cukup dipahami sebagai realitas yang bergerak secara “kebetulan”, tanpa perlu mengait-kaitkannya dengan “penyebab pertama” dan tujuan penciptaannya. Hal ini berarti Newton-Descartes telah meretas paradigma Aristoteles. Paradigma Newton-Cartesian melihat alam semesta berdasarkan objektivitas inderawi, sehingga realitas yang tak tertangkap oleh indera pun dikesampingkan—bahkan dianggap tidak ada.

Kelak cara berpikir demikian melahirkan positivisme, sebuah cara berpikir yang mendesakralisasi metafisika dalam tatanan makrokosmos maupun mikrokosmos. Menurut pandangan ini, segala hal yang punya eksistensi ditempatkan sebagai materi, dan alam kosmik dianggap sebagai “mesin raksasa”. Segala sesuatu yang dianggap ada dalam kehidupan kosmik dipandang sebatas materi/pelikan belaka.

Kritik atas Sains Modern

Apakah Sains Modern yang digaungkan oleh para filosof Barat merupakan kemajuan? Jika harus menjawab, saya justru mengamini konsep absurditas dari Albert Camus, di mana dunia merupakan paralel atas paradoks yang tak berkesudahan. Sebab sebuah kemajuan selalu diiringi oleh kemunduran. Demikian pula kedigdayaan rasionalitas yang tak seiring dengan kelimpahan spiritualitas.

Dan pada titik kehampaan spiritualitas inilah, Seyyed Hossein Nasr menyumbang pemikirannya. Sebagai pemikir Islam profilik, Nasr melancangkan kritik bernas atas sains modern yang berciri positivistik. Baginya, cara pandang (sains) sekulerisme Barat telah menghilangkan satu aspek penting dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, yakni metafisika. Jika metafisika dihilangkan, maka hal itu berarti meniadakan eksistensi yang berada di luar cakupan inderawi.

Akibatnya, manusia modern semakin teralienasi dari Yang Transenden, ia hidup di Luar Lingkaran (fitrah), jauh dari Ilahi. Manusia modern terlempar ke dalam selubung dunia materi, di mana ia mengalami keraguan akan asal-muasal dan terasing dari dirinya sendiri maupun lingkungannya. Pada ujungnya, ia mengalami kehampaan spiritual (aspek batin) akibat ulahnya sendiri.

Dalam Islam dan Nestapa Manusia Modern (1983), Nasr mengibaratkan manusia modern seperti Faust yang menyalakan api, tetapi percikannya menghanguskan dirinya. Manusia modern tak ubahnya seperti menjual jiwanya untuk beroleh kekuasaan atas lingkungannya. Namun, atas kontrol terhadap alam itu, tak dinyana berubah menjadi pencekikan, lalu pada akhirnya berakhir seperti bunuh diri.

Selain itu, karena alam semesta terlanjur dipandang sebagai materi/benda mati, maka manusia seakan-akan punya kuasa atasnya, sebab tak ada eksistensi yang ia lihat selain dirinya sendiri. Menurut Nasr, hal itu memicu terjadinya eksploitasi alam secara habis-habisan. Dalam bahasa Nasr, lantaran alam dipandang sebagai “pelacur”, alhasil manusia “memperkosanya” dengan seenaknya—tanpa bertanggung jawab atas krisis ekologi yang terjadi setelahnya.

Sains Islam

Sebagai tawaran untuk mengatasi krisis akibat modernitas, Nasr mengajukan gagasan Sains Islam. Sains Islam sendiri bukan merupakan wacana baru. Di Indonesia, Sains Islam telah lama digaungkan oleh kalangan intelektual pada sekira 1970-an, sedikitnya oleh Kuntowijoyo dan Jalaluddin Rakhmat maupun Mulyadi Kartanegara. Sementara itu, pemikir Islam seperti Syaikh Naquib al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi juga turut mengulasnya. Pada dasarnya visi Sains Islam merupakan respon atas kondisi ilmu pengetahuan yang kian kemari nian tak jelas arah dan tujuannya (Aan Rukmana, 2013)

Dalam gagasan Seyyed Hossein Nasr, terdapat dua segi argumentatif dalam menanggapi dekadensi ilmu pengetahuan akibat Sains Modern. Pertama, baginya alam semesta ini mengandung “ruh” dari Yang Sakral. Cakupan semesta itu sendiri bersifat holistik, dan karenanya, alam harus dipandang secara hirarkis. Harus dipandang secara bertingkat lantaran alam adalah ‘turunan’ dari Allah yang Absolut. Nasr menganggap alam semesta merupakan satu kesatuan yang saling terikat-kelindan karena bersumber dari Yang Satu, yakni Allah.

Kedua, Nasr mengajak kita agar melihat alam secara menyeluruh. Maksudnya, realitas (alam) harus dilihat bukan sebagai materi belaka yang independen, melainkan lebih dari itu, yakni merupakan manifestasi dari Ada-Nya Allah sebagai Wajib-Al-Wujud. Sebab, bagi Nasr, kalau bukan karena-Nya, realitas (alam) hirarkis ini betapa pun tidak akan hadir.

Dengan paradigma tersebut Nasr berupaya mengembalikan visi “tradisional”. Gagasan Nasr sangat dipengaruhi oleh Ibnu Sina, yang memandang bahwa alam hanyalah aksiden dari Yang Wajibul Wujud. Karena itu, manusia hari ini perlu bercermin dari para filosof Muslim ihwal tujuan mengkaji alam semesta. Kita bisa bercermin umpamanya melalui semangat Ibnu Sina atau Al-Farabi. Para filosof Islam itu, dalam mengkaji kosmologi, mengusung visi ‘Mencari Jejak Ilahi’ yang berceceran pada benda dan bentuk di seluruh jagat semesta.

Dengan landasan epistemologis demikian, manusia modern akan menyadari bahwa alam memiliki ruh Yang Sakral. Dengannya, alam semesta tidak akan lagi dianggap objek/benda yang terpecah-pecah, dan karenanya bukan lagi ibarat mesin raksasa. Melainkan, alam adalah satu-kesatuan yang memiliki Pusat, sedangkan manusia hidup di sekeliling lingkaran itu. Dengan begitu, alam ditempatkan sebagai tatanan holistik, integral, dan humanis. Singkatnya, landasan epistemologis Sains Islam merupakan sebuah siasat agar tidak jatuh ke dalam ateisme.

Sebab sebagai fisikawan, Nasr mengalami kehampaan dan hampir terjatuh ke lubang ateisme saat belajar sains di Massachusetts Institute of Technology. Oleh karena itu, setelahnya ia menekuni bidang filsafat, dan tak seberapa lama mencetuskan paradigma Sains Islam, yang memandang seluruh tatanan alam berdasarkan tradisi metafisika Islam, yang hirarkis, holistis dan esoteris. Di samping itu, ia juga menggaungkan adagium: “Jika manusia ingin terbebas dari pelbagai penyakit krisis modernitas, maka tak ada jalan lain kecuali menghidupkan kembali sufisme.”

Sebagai akhir, sejujurnya sekularisme (sains) Barat di atas tidak sepenuhnya berkesan negatif, manakala mengingat kecenderungan manusia yang ingin berkembang dengan memunculkan ragam perspektif baru. Hanya saja, di saat yang sama, terdapat poin yang perlu digaris-bawahi, yakni manakala paradigma objektif-mekanik itu mengakar di era kiwari, lalu menjadi dogma bagi sebagian atau seluruh otoritas, maka akan memunculkan hegemoni atas pelbagai narasi dan akhirnya dan menghilangkan peran sentral metafisika.

Lebih dari itu, jika perkembangan sains dan teknologi hari ini disebabkan karena ketiadaaan metafisika, dan karenanya merupakan suatu pencapaian umat manusia, apakah seterusnya hal itu mampu menjamin terpenuhinya aspek rohani dan spiritualitas?

Referensi

Bertens, Kees. 2017. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius.

Irawan, Dedy. 2019. Tasawuf Sebagai Solusi Krisis Manusia Moder: Analisis Pemikiran Seyyed Hossein Nasr. Tasfiyah: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 3, No. 1.

Nasr, Seyyed Hossein. 1983. Islam dan Nestapa Manusia Modern, terj. Anas Mahyuddin. Bandung: Pustaka.

Nasr, Seyyed Hossein. 2022. Kebutuhan Akan Sains Sakral, terj. Syihabul Furqon (dkk). Sumedang: Yayasan Al-Ma’arij Darmaraja.

Rukmana, Aan. 2013. Seyyed Hossein Nasr: Penjaga Taman Spiritualitas Islam. Jakarta: Dian Rakyat.

Taufik Ismanto
Taufik Ismanto

Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content