fbpx

Sir Muhammad Iqbal: Kekuasaan Tuhan dan Kebebasan Manusia

Tuhan pertama kali menampakkan keberadaan-Nya bukanlah berasal dari luar diri manusia, melainkan berasal dari dalam diri manusia itu sendiri yang biasa kita sebut ego

Manusia memiliki kebebasan kehendak dalam berbuat, dan Tuhan menciptakan daya pada manusia sebagai karunia untuk berfikir, berbuat, dan bertanggung jawab atas dirinya.

M. Iqbal berpendapat bahwa seluruh realitas ada dalam hakikat terakhir, yakni jiwa. Manusia adalah  suatu realitas jiwa dalam hakikatnya yang paling akhir. Realitas manusia  terletak pada daya atau kemahakuasaan penciptaan Ilahi. Tuhan menciptakan manusia dan bumi serta isinya tanpa mengurangi eksistensi-Nya yang tak terbatas. Tuhan juga menciptakan alam semesta dalam rangka mendukung eksistensi manusia. Makna penciptaan manusia menurut Iqbal, bukan semata – mata rangkaian peristiwa dalam rangka proyek raksasa tuhan. Manusia justru merupakan pemain utama dalam rangkaian penciptaan. Manusia merupakan role model dalam rangkaian penciptaan tuhan, sedangkan alam semesta hanyalah figuran dalam rangkaian penciptaan tuhan.

Menurut Iqbal, Tuhan pertama kali menampakkan keberadaan-Nya bukanlah berasal dari luar diri manusia, melainkan berasal dari dalam diri manusia itu sendiri yang biasa kita sebut ego. Dengan berusaha mengenal diri kita sendiri, manusia mungkin dapat mencapai intuisinya. Hakikat mengenal diri sendiri ialah berusaha membuktikan keberadaan Tuhan.

Dasar pengetahuan mengenai Tuhan ialah pengalaman beragama yang dapat diterima oleh akal. Selanjutnya, Iqbal tidak melihat Tuhan sebagai yang asing maupun terpisah. Ia justru memandang Tuhan sebagai sesuatu yang bisa disentuh, yang dapat tercapai walau tak selalu sampai. Iqbal percaya bahwa manusia dikaruniai oleh Tuhan daya dan kebebasan untuk senantiasa menggapai-Nya.

Argumen Iqbal mengenai Tuhan ini sejalan dengan yang ditulis F. Schuon dalam bukunya Memahami Islam (1994). F. Schuon mengatakan konsep iman terdiri dari dua bagian, penerimaan total dan peniadaan. Penerimaan total ialah penerimaan segala yang diberikan maupun yang diatur oleh Tuhan dengan ketaatan dan keikhlasan, lurus dengan pepatah Jawa dahulu Urip iku mung sak dermo nglakoni atau hidup sejenis sambutan tulus atas panggilan nurani yang menuntut. Sementara peniadaan adalah penolakan terhadap yang selain-Nya. Dengan demikian, manusia yang beriman adalah orang yang menaati ketetapan dan ketentuan Tuhan, serta senantiasa dalam keadaan ikhlas dalam segala hal dan dapat menyerap nilai-nilai ketuhanan. 

Konsep Kebebasan Manusia

Jean-Paul Sartre, Seorang tokoh Filsafat eksistensialisme radikal asal Prancis mengatakan “aku dikutuk bebas, ini berarti tidak ada batasan dalam kebebasanku, kecuali kebebasan itu sendiri, atau jika mau, kita tidak bebas untuk berhenti bebas.” Sartre menyatakan bahwa eksistensi lebih dulu ada dibandingkan dengan esensi. Artinya, manusia akan memiliki esensi apabila ia telah eksis terlebih dahulu dan esensi tersebut akan muncul ketika manusia mati. Dengan kata lain, manusia tidak memiliki apa – apa saat dilahirkan. Satu – satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia itu sendiri. 

Lebih jauh, Sartre merupakan seorang filsuf eksistensialis yang ateis. Filsuf kelahiran Paris pada  tanggal 21 Juni 1905 tersebut, terlahir dari keluarga  yang borjuis kelas menengah. Orang tuanya memiliki keyakinan terhadap agama yang berbeda. Ayahnya merupakan merupakan pengikut Katolik dan ibunya pengikut Protestan. Di umur 11 tahun, Sartre mulai berpikir kritis mengenai agama. Keyakinannya pada tuhan mulai turun setahun kemudian, saat ia berumur 12 tahun. Penyebabnya adalah doa yang dipanjatkannya kepada Tuhan tak kunjung dikabulkan. Keyakinannya benar – benar hilang ketika ia menyatakan bahwa sastra adalah Tuhan baginya.

Sartre juga menolak eksistensi tuhan dengan meniadakan Tuhan itu. Menurutnya, adanya Tuhan yang menyoroti manusia sebagai subjek yang sadar akan diri dan mempunyai kebebasan akan dapat menghilangkan kebebasan itu sendiri. Selain itu, argumentasi penolakan Tuhan dalam pemikiran Sartre adalah filsafat ateistik. Pernyataannya yang mengatakan karena manusia bebas dan harus bertanggung jawab sendiri, maka Tuhan dan segala penentunya tidak boleh ada, jika Tuhan ada maka akan membatasi bahkan menghilangkan kebebasan itu sendiri. Manusia akan taat pada nilai – nilai dari Tuhan dan kebebasan menjadi tak mempunyai makna.

Muhammad Iqbal, seorang sastrawan, filsuf, dan pemikir yang dilahirkan di Sialkot pada 9 November 1877. Ia belajar di Inggris dan Jerman, juga mendirikan praktik hukum. Namun, ia lebih berkonsentrasi pada penulisan karya ilmiah tentang politik, ekonomi, sejarah, filsafat, dan agama. Gagasan Iqbal mengenai kebebasan diawali dengan konsep ego yang berpangkal pada intuisi. Bahwa adanya ego yang terpusat dan bebas dapat diketahui lewat intuisi. 

Berbeda dengan  Sartre, kebebasan manusia menurut Iqbal adalah kebebasan eksistensial, artinya kebebasan menyeluruh yang menyangkut seluruh kepribadian manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek saja. Dalam hal ini Muhammad Iqbal menjelaskan “unsur bimbingan dan pengawasan dalam aktivitas ego telah jelas memperlihatkan bahwa ego itu merupakan suatu kausalitas pribadi bebas. Ia turut mengambil bagian dalam kehidupan dan kebebasan diri mutlak yang dengan membolehkan munculnya diri yang berkesudahan yang sanggup berprakarsa sendiri, telah membatasi kebebasan ini atas kemauan bebas-Nya sendiri.” Dari penjelasan tersebut, tampak bahwa kebebasan manusia menurut Muhammad Iqbal, tidak semata – mata bebas tanpa batas, justru dalam kebebasan manusia tersebut terdapat batasan atau ketidakbebasan.

Dengan begitu, Tuhan dalam pandangan Iqbal adalah Tuhan yang memberikan kebebasan kepada manusia dan daya kreatifnya, serta memberikan tanggung jawab pula terhadap manusia akan apa yang ia lakukan terhadap alam semesta. Sehingga kebebasannya tetaplah memiliki konsekuensi – konsekuensi yang harus diterima.

Dengan kata lain “manusia memiliki kebebasan kehendak dalam berbuat, dan Tuhan menciptakan daya pada manusia sebagai karunia untuk berpikir, berbuat, dan bertanggung jawab atas dirinya”,  juga  Supaya tidak mudah memberikan cap kafir kepada orang lain. Karena, tantangan kepada umat bertuhan sebenarnya adalah pada bagaimana umat bertuhan menjawab masalah – masalah keumatan. Inilah kiranya relevansi pemikiran Iqbal tentang kekuasaan Tuhan dan kebebasan manusia.

Referensi

Dister, N. S. (2000). Filsafat Kebebasan. Yogyakarta: Kanisius.

Adian, Donny Gahral, 2003. Muhammad Iqbal, Bandung: Teraju

Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam

Lavine, T.Z. 2002, Petualangan filsafat dari Socrates ke Sartre. Alih bahasa, 

Andi iswanto dan Deddy Andrian Utama. Yogyakarta: Jendela

Martin, Vincent O.P. 2001, Filsafat Eksistensialisme, Kierkegaard, Sartre, Camus, Penerj, Taufiqurrahman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

F. Schuon, 1994, Memahami Islam, Bandung, Penerbit Pustaka

Berlian Faza Pratama

Peminat filsafat

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content