Tulisan ini barangkali tidak akan menjadi karya yang “berarti” dalam pengertian umum. Di dalamnya, pandangan subjektif penulis akan mendominasi. Namun justru karena penulis secara pribadi menyukai topik ini dan merasa terdorong untuk menuliskannya, saya yakin tulisan ini tetap layak dinikmati, bahkan dirayakan secara reflektif oleh pembaca sekalian.
Dari mana sebaiknya saya memulai? Mungkin dari sebuah pengakuan kecil: pada titik-titik tertentu dalam hidup, kita semua pernah sekelebat dipertemukan dengan keadaan yang terasa kabur dan membingungkan, semua dinamika kehidupan seperti: masalah dengan orang lain, harapan, pencapaian: baik itu harta, tahta, menang lomba dan sebagainya pada akhirnya terasa begitu-begitu saja, sia-sia bahkan biasa saja, semacam pengulangan-pengulangan yang memuakkan. Hidup tampak keras, penuh kebuntuan, hingga pada akhirnya terasa begitu absurd.
Namun tenang, penyakit krisis eksistensial serupa diatas mungkin dapat kita lalui dengan mempertimbangkan obat mujarab dari Albert Camus melalui refleksi nya akan hidup; orang banyak menyebut ini filsafat absurdisme. Menyebutnya “obat mujarab” terdengar agak klise, bahkan seperti motivator yang menjual paket “hidup bahagia 30 hari”, kita pun bisa tergoda untuk mengangkat Camus sebagai semacam “dokter jiwa” yang menyuntikkan semangat melawan absurditas. Padahal, Camus sendiri bukanlah figur utopis yang hidupnya penuh ketenangan dan kepastian. Ia pernah bergulat dengan penderitaan yang dalam, dan kematiannya yang tragis, ialah sebuah kecelakaan mobil yang oleh sebagian orang dibaca sebagai “kecelakaan yang tampak seperti bunuh diri” yang membuat kita justru bertanya-tanya: apakah “vaksin” yang ia tawarkan benar-benar manjur, atau hanya placebo yang ia racik untuk dirinya sendiri?
Camus, seorang pemikir yang kerap dikaitkan dengan eksistensialisme, sebenarnya tidak pernah dengan mantap menyebut dirinya seorang filsuf. Dalam berbagai karyanya, ia justru lebih nyaman dianggap sebagai seorang sastrawan. Mungkin karena baginya, sastra lebih jujur dalam menggambarkan absurditas kehidupan daripada filsafat yang sering berusaha menatanya.
Singkatnya, Camus ini sejak kecil hidupnya tidak beruntung-beruntung amat, bahkan mungkin sangat boleh dikatakan “mengenaskan”, boleh jadi, absurditas yang dibicarakan bukan semata konsep rasional, melainkan juga teriakan batin dari “inner child”-nya yang sejak awal sudah akrab dengan penderitaan.
Singkatnya, secara implisit penulis hendak menggambarkan bahwa menurut Albert Camus, hidup ini memang absurd. Hidup tidak berjalan dalam pola yang rapi, tidak tunduk pada logika manusia, dan sering kali terasa (maaf) seperti “kotoran”. Dunia ini, dalam pandangan Camus, lebih sering menampilkan sisi “sampah”-nya ketimbang “keindahannya”. Ia mengajak kita untuk melihat realitas sebagaimana adanya: hidup ini penuh hal yang “nggak enak”, jauh lebih sering menyakitkan daripada menyenangkan.
Namun justru di situlah menariknya Camus. Dari pengakuan getir bahwa hidup ini absurd dan berantakan, ia tidak menyuruh kita menyerah, melainkan mungkin menyederhanakan harap. Ia mengajak kita untuk melepaskan diri dari standar-standar dunia yang memuakkan; standar sukses, bahagia, dan bermakna yang sering kali malah memperbudak kita. Dalam absurditas, kata Camus, ada ruang untuk bebas dari ilusi makna palsu yang diciptakan manusia sendiri.
Sisyphus, Meursault, dan Keberanian untuk Menerima
Pemikiran Camus tentang absurditas kehidupan diejawantahkan secara paling kuat dalam esainya yang berjudul The Myth of Sisyphus. Dalam esai tersebut, Sisyphus digambarkan sebagai seorang raja yang dikutuk oleh Dewa Zeus untuk menjalani hukuman abadi: terus mendaki, namun ketika ia hendak sampai ke puncak, ia terguling lagi, begitu seterusnya.
Dari sini, Camus menafsirkan kehidupan manusia. Hidup, katanya, tak ubahnya seperti kerja Sisyphus: penuh pengulangan, melelahkan, dan tampak sia-sia. Dunia berjalan tanpa tujuan pasti, sementara manusia terus berusaha mencari makna yang tak pernah benar-benar ada. Dari situlah lahir kesadaran tentang absurditas, bahwa antara keinginan manusia untuk menemukan makna dan kebisuan dunia yang tak memberikannya, selalu ada jarak yang tak terjembatani.
Pandangan semacam itu, pada permukaannya, memang tampak pesimistis. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, justru dapat menghantarkan kita pada pemaknaan hidup yang lebih jujur dan secara paradoksal lebih bermakna. Dalam tulisan ini, penulis bermaksud untuk menelanjangi pemikiran Albert Camus tentang absurditas, setidaknya melalui dua karyanya yang cukup berpengaruh: novel The Stranger (L’Étranger) dan esai The Myth of Sisyphus. Keduanya menjadi semacam cermin yang memperlihatkan bagaimana manusia modern berhadapan dengan kekosongan makna, sekaligus bagaimana ia mencoba tetap hidup di tengah kehampaan itu.
Dalam novel The Stranger, tokoh utamanya, Meursault, digambarkan sebagai sosok yang secara psikologis telah terlepas dari dunia di sekitarnya. Peristiwa-peristiwa yang dianggap sakral dan penuh makna oleh kebanyakan orang, seperti lamaran pernikahan atau kematian orang tua yang bagi Meursault tidak memiliki bobot emosional apa pun. Ia tidak merasa terganggu, tidak gusar, bahkan nyaris tanpa reaksi sentimental.
Bagi Meursault, kematian ibunya hanyalah sebuah peristiwa; begitu pula dengan cinta Marie, yang baginya tidak lebih dari kenyataan yang sekadar “ada”. Ia tidak berpura-pura sedih, tidak pula berusaha menjadi “manusia normal” seperti yang diharapkan masyarakat. Dunia baginya berjalan apa adanya, tanpa alasan untuk terlalu dirayakan atau disesali.
Terdapat satu kisah dalam The Stranger yang menjadi titik paling mengguncang bagi pembaca: kematian ibu Meursault. Sejak kedatangannya di panti jompo hingga detik-detik pemakaman, Meursault memperlihatkan air muka yang biasa saja, tanpa kesedihan, tanpa air mata. Orang-orang di sekitarnya menganggapnya “aneh”, bahkan “tidak waras”, karena ia tampak begitu tenang. Di tengah prosesi pemakaman, ia justru berdiri di pojokan sambil mengisap rokok, membumbungkan asapnya menguap ke langit.
Ketika seseorang bertanya, “Mengapa kamu tampak biasa saja saat ibumu meninggal?”, Meursault hanya menjawab singkat: “Itu takdir. Ibuku meninggal, dan aku harus terus hidup.” Jawaban ini menyingkap pandangan Meursault yang skeptis sekaligus kritis: bahwa kematian adalah fakta yang pasti, sebuah keniscayaan yang berada di luar kendali manusia. Daripada menumpahkan energi untuk bersedih, ia justru melakukan pemaknaan dalam rangka melakukan penerimaan, bahwa perkara kematian bukan berada pada keleluasaan dan kehendaknya.
Meursault juga jujur; jujur dalam arti yang paling mentah dan tidak menyenangkan. Ia tidak merasa perlu meneteskan air mata palsu atas kematian ibunya, sebab baginya kepura-puraan justru lebih tragis daripada kehilangan itu sendiri. Dalam ketidakpeduliannya, Meursault secara implisit menantang standar moral yang mapan, sebuah otoritarianisme sosial yang mendikte bagaimana seharusnya seseorang berduka. Ia menolak tunduk pada narasi sentimental yang menilai kesedihan sebagai bukti cinta.
Sosok Meursault mengajarkan bahwa kita, betapapun sulitnya, memiliki pilihan untuk tidak menghabiskan energi pada hal-hal yang memang berada di luar jangkauan kendali kita. Ia bukan sedang menolak rasa sedih, melainkan menolak keharusan untuk merasakannya. Sebab, pada akhirnya, tidak ada tangisan sekeras apa pun yang dapat membangkitkan yang telah mati.
Konsisten dengan kecenderungan berpikirnya, gagasan tentang absurdisme kehidupan dalam diri Albert Camus mencapai bentuk paling matang dalam The Myth of Sisyphus, sebuah karya yang boleh jadi merupakan magnum opus-nya dalam memotret absurditas eksistensi manusia. Dalam esai tersebut, terdapat satu kutipan yang menyingkap inti dari seluruh pandangannya:
“There is but one truly serious philosophical problem, and that is suicide. Judging whether life is or is not worth living amounts to answering the fundamental question of philosophy. All the rest — whether or not the world has three dimensions, whether the mind has nine or twelve categories — comes afterwards.”
Bagi Camus, persoalan paling serius dalam filsafat bukanlah soal Tuhan, moralitas, atau hakikat pengetahuan melainkan keputusan untuk terus hidup atau mengakhiri hidup. Ia menegaskan bahwa setiap individu yang sungguh-sungguh bergulat dengan pertanyaan filosofis akan, cepat atau lambat, berhadapan dengan jurang eksistensial: apakah hidup ini masih layak dijalani? Dalam titik genting itu, filsafat tidak lagi menjadi latihan rasional semata, tetapi pergulatan paling intim antara kesadaran dan absurditas.
Kutipan di atas adalah pijakan awal sekaligus standing position fundamental Albert Camus. Ia memandang dunia sebagai ruang yang penuh kesedihan, hukuman, ketidakjelasan, dan kesengsaraan, hingga wajar jika seseorang sampai mempertanyakan: “Apakah hidup ini memang layak dijalani?” Pertanyaan ini bukan sekadar retorika, melainkan titik kritis yang lahir dari kesadaran akan absurditas.
Dunia yang dipenuhi kesengsaraan dan kesialan itu ia simbolisasikan melalui sosok Sisyphus, raja yang dikutuk para dewa untuk mendaki gunung sambil menggelindingkan batu besar di punggungnya. Begitu hampir mencapai puncak, batu itu terlepas dan menggelinding kembali ke bawah. Lalu ia mendaki lagi. Begitu seterusnya, tanpa akhir. Secara lahiriah, adegan ini tampak seperti potret paling telanjang dari kesia-siaan: kesedihan, ketidakbergunaan, ketidakbermaknaan. Kita pun mungkin tergoda untuk berpikir: “Kalau begitu, bukankah lebih baik mati saja?”
Membayangkan Sisyphus Bahagia: Batu Besar dan Pemberontakan Diri
Camus justru menolak “pelarian” melalui bunuh diri baik secara fisik maupun filosofis, dan ia menawarkan pemaknaan yang jauh lebih radikal. Bagi Camus, absurditas bukanlah alasan untuk menyerah, melainkan ruang untuk menciptakan kebebasan batin. Karena itu ia menutup The Myth of Sisyphus dengan pernyataan yang terkenal: “We must imagine Sisyphus happy.” Kita diajak membayangkan Sisyphus bahagia di tengah penderitaannya—bukan karena penderitaan itu hilang, melainkan karena ia telah menerimanya, dan dengan penerimaan itu ia menjadi bebas.
“Sisyphus teaches the higher fidelity that negates the gods and raises rocks. He too concludes that all is well. This universe henceforth without a master seems to him neither sterile nor futile. Each atom of that stone, each mineral flake of that night-filled mountain, in itself, forms a world. The struggle itself toward the heights is enough to fill a man’s heart. One must imagine Sisyphus happy.”
Dalam hal ini memang, membayangkan Sisyphus bahagia di tengah kesia-siaan hukuman tersebut seperti tidak masuk akal. Namun ada baiknya kita melihat sisi lain, bahwa Sisyphus mengajarkan hal yang lebih tinggi dengan memberikan ketidakpeduliannya kepada dewa yang telah menghukumnya, dan kepada batu besar yang didorongnya. Secara implisit, menurutnya ini merupakan hukum alam yang telah terjadi. Ia tidak melawan, tapi juga tidak tunduk. Ia hanya menjalani, menerima, dan dalam penerimaan itu ia menemukan ketenangan. Camus seolah ingin mengatakan bahwa di balik absurditas hidup yang tidak masuk akal ini, kita tetap bisa memilih untuk “berdamai”, bahkan mungkin bahagia meskipun hidup, pada dasarnya, tetap terasa seperti hukuman yang tidak selesai-selesai.
Menurut Camus, hidup menuntut semacam pengorbanan berupa pemberontakan dalam diri untuk menghadapi keabsurdan dunia. Batu besar yang digambarkan Camus dalam ungkapannya bahwa “Sisyphus memiliki dua komponen relasional untuk kehidupan” mengandung dua makna: (1) lubang tak berdasar dari tugas-tugas sia-sia yang membingungkan kehidupan sehari-hari kita, dan (2) kehidupan itu sendiri.
Secara esensial, dari analogi Sisyphus yang mendorong batu, kita dapat memaknai bahwa setiap saat dalam hidup secara metaforis terdiri dari batu-batu besar yang terus kita dorong. Berhenti mendorongnya berarti berhenti hidup sama sekali. Maka, pemberontakan yang dimaksud Camus bukanlah perlawanan yang destruktif, melainkan keberanian untuk berdamai dengan absurditas itu sendiri; untuk menciptakan kebahagiaan berdasarkan standar diri sendiri, bukan ukuran dunia yang sering kali tidak masuk akal.
Albert Camus hendak menjelaskan bahwa seseorang tidak harus selalu didorong oleh makna hidup yang besar dan menyeluruh untuk bisa menjalani kehidupan yang bahagia. Sebaliknya, kebahagiaan justru muncul ketika kita fokus pada apa yang benar-benar kita miliki, pada apa yang masih bisa kita kendalikan ialah kemampuan untuk berpikir, dan yang lebih penting, melakukan pemberontakan dalam diri sendiri.
Apa yang spesial dari karakter Meursault dan Sisyphus? Absurdisme membantu kita untuk memberi makna pada keberadaan dirimu dengan mengakui hak istimewa yang kamu punya dan kamu pertahankan untuk hidup, merasakan, dan berpikir. Sifat heroik dari karakter Sisyphus spesial karena adanya pemberontakan. Menemukan kegembiraan dalam apa yang seharusnya menjadi hukuman. Kamu harus menolak untuk tunduk pada kesengsaraan yang dilemparkan hidup buatmu dan sebaliknya memilih untuk menemukan kedamaian di dalam keputusasaan itu sendiri. Albert Camus ingin melihat semua orang mampu melakukan pemberontakan dalam dirinya sendiri dalam menjalankan kehidupan dan memaknai kebahagiaan dengan versinya sendiri tanpa harus di hantu-hantui oleh standar kehidupan orang banyak.
Dari penerimaan atas hidup yang keras, Albert Camus seolah menjembatani kita untuk menyederhanakan harapan. Baik Sisyphus maupun Meursault punya kekuatan untuk fokus pada apa yang ada di depan mata, pada apa yang sungguh bisa dialami, alih-alih terus khawatir tentang keraguan dan hukuman yang tak jelas ujungnya.
“In a hopeless world that’s void of meaning, we alone have the power to give it meaning. Accept reality as it is and make the intentional choice to make the most of it.”
Menurut Camus, bunuh diri adalah masalah filosofis yang serius. Namun tentu tidak! Bunuh diri bukanlah pilihan yang “asik” menurut Camus. Alih-alih bunuh diri, katanya, kita masih bisa minum kopi besok pagi: “should I kill myself, or have a cup of coffee?” Esensinya sederhana: daripada bunuh diri, kita bisa memilih untuk menerima kerasnya dunia. Have a cup of coffee adalah metafora penerimaan sekaligus ajakan berdamai; bahwa bahkan di tengah absurditas, kita tetap bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan menurut standar pribadi kita.
Albert Camus meninggal dunia tak lama setelah menerima Nobel Sastra, tepat ketika ia berada di puncak kariernya. Kematian itu tragis, sebuah kecelakaan mobil yang tiba-tiba, nyaris seperti kutipan dari absurditas yang selama ini ia tulis. Barangkali Camus bahagia. Barangkali puncak pemikirannya ditandai justru oleh cara ia pergi: sebuah peristiwa yang tak bisa direncanakan, keras, dan tak masuk akal, seperti dunia yang ia terima dengan tenang. Atau mungkin, siapa tahu, ia sendiri yang lelah terhadap absurditas itu. Mungkin ia sengaja menyerahkan diri pada takdirnya. Entahlah.
Namun, dari segala kemungkinan itu, kita tetap bisa belajar sesuatu. Hidup memang keras, sidang pembaca sekalian. Jika kuat, jalani; jika tidak, duduklah sebentar dan nikmati secangkir kopi. Jangan buru-buru menyerah. Camus sendiri, seheroik apa pun ia tampak dalam pemberontakannya, juga tidak luput dari klise. Ia manusia yang masih mungkin ditentang. Sebab absurdisme bukan ajaran mutlak, melainkan sebuah ajakan untuk berpikir ulang: bagaimana kita memberi makna pada hidup tanpa harus terikat pada makna yang dipaksakan.
Pada akhirnya, mungkin bukan soal memilih antara menyerah atau bertahan, melainkan soal bagaimana kita menerima keterbatasan dengan kepala tegak. Kita boleh tidak sependapat dengan Camus, tapi mungkin kita bisa sepakat dalam satu hal: bahwa di antara segala ketidakpastian, kita masih bisa menemukan ruang kecil untuk bernapas, berpikir, dan barangkali; menikmati kopi dengan tenang.









Berikan komentar