Dalam beberapa bulan ini, istilah skena menyeruak ke publik. Hal ini karena banyaknya band-band indie yang muncul di Indonesia bersamaan dengan banyaknya peminat dari kalangan anak-anak muda. Apa yang dimaksud skena? Dan apa yang dimaksud indie? Kata skena sebenarnya tidak ada dalam KBBI, namun menurut beberapa sumber, kata skena merupakan padanan kata bahasa inggris yang tidak resmi yang berasal dari kata “scene”. Istilah scene sendiri merujuk pada suatu komunitas musik yang terdiri dari musisi maupun penikmat musik underground di pertengahan tahun 2000an. Sumber lain menyebutkan bahwa kata skena yang sering digaungkan oleh anak muda di Indonesia merupakan singkatan dari Sua, cengKErama, kelaNA. Istilah tersebut merujuk pada suatu perkumpulan kolektif yang sering mengadakan pertemuan untuk bercengkrama mengenai hal-hal yang menyatukan mereka atau pertemuan untuk berkelana bersama.
Di sisi lain, istilah indie yang lekat dengan istilah skena di Indonesia merujuk pada suatu subkultur dalam dunia musik yang memiliki ciri khas genre bebas dan independen. Istilah tersebut juga merujuk pada suatu komunitas musik yang memproduksi musik secara mandiri terlepas dari standarisasi pasar dan tuntutan industri musik. Biasanya music indie merupakan music yang kurang dikenal oleh masyarakat luas karena strategi pemasarannya yang memiliki ruang lingkup kecil. Selain itu band-band indie biasanya memasarkan produk mereka melalui media-media sosial, majalah, dan melalui mulut ke mulut para penikmat music mereka. Dengan demikian yang dimaksud skena indie adalah suatu perkumpulan kolektif yang biasanya terdiri dari musisi dan penikmat music independen yang tidak banyak peminatnya.
Music pop sendiri di Indonesia terbagi menjadi dua bagian, yaitu major label dan indie label. Major label atau yang bisasanya dikenal dengan music mainstream cenderung berorientasi pada keuntungan. Maka dari itu band music ini biasanya mengikuti perkembangan strategi pasar yang berjalan melalui standarisasi, homogenitas, dan komodifikasi sehingga dapat menciptakan kebutuhan semu terhadap masyarakat luas. Jika kita melihat sekilas fenomena music di Indonesia, band music yang tergolong major label lebih banyak dinikmati masyarakat. Karena biasanya band musik dari golongan major label memiliki ciri lirik yang cenderung teduh yang dapat mewakili ekspresi pribadi para penikmatnya. Band ini biasanya juga didukung oleh produser musik yang sudah terkenal dan juga didukung dengan sponsor perusahan-perusahan besar di Indonesia. Tak heran jika band-band major label sukses menjarah ke ranah publik karena berhasil menciptakan pasar musik melalui media-media besar seperti tv nasional.
Sebaliknya, jalan musik indie label mungkin tidak semulus jalan major label. Jika major label berorientasi pada keuntungan, indie label cenderung berorientasi pada kreatifitas dan kebebasan. Produksi musik indie label tidak terlalu memperhatikan standarisasi pasar dan homogenitas. Musik yang diproduksi didasari oleh keinginan para musisinya dan terkadang memproduksi musik dengan genre yang asing di telinga masyarakat, lirik-liriknya diciptakan bukan hanya untuk mewakilkan ekspresi pribadi para penikmat musik namun terkadang juga menggambarkan keadaan sosial masyarakat dan kritik pemerintah. Dengan demikian musik indie label terkadang menabrak norma-norma musik yang diciptakan oleh musik major label.
Banyaknya peminat musik major label tidak terlepas dari peranan industri kapitalis yang berhasil menciptakan kebutuhan semu di sektor musik Indonesia. Di sisi lain para komunitas skena musik di Indonesia berusaha melepaskan diri dari kungkungan industri musik mainstream sebagai upaya perlawanan mereka terhadap kapitalisasi musik. Istilah skena telah muncul di sekitar tahun 90an di Indonesia, gerakan skena muncul di beberapa daerah seperti di Pasuruan, Malang, Bandung, dan Jakarta. Mereka muncul dengan sebuah ideologi yang dianut baik oleh musisi band atau para penikmatnya. Gerakan skena sangat di Indonesia mengusung tema hak asasi manusia, politik demokratis, isu lingkungan, serta feminisme.
Di dunia barat skena juga muncul dengan tema gerakan yang positif. Ambil contoh skena punk, gerakan mereka pada awalnya dilatar-belakangi oleh isu isu kemanusia dan politik sehingga tak heran jika banyak musik underground yang membawakan lirik tentang kritik pemerintah dan kebebasan manusia. Meskipun pada akhirnya di beberapa Negara muncul gerakan punk yang memiliki konotasi negatif seperti anarko punk atau beberapa kelompok punk yang berafiliasi dengan sayap kanan. Namun, gerakan ini banyak menuai kritik tajam dari kalangan punk karena dianggap melenceng dari prinsip dan sejarah punk. Meski begitu istilah skena tetap memiliki makna positif karena terkait dengan kemandirian, kebebasan individu, dan anti dominasi. Namun apa yang membuat sebagian masyarakat meminati budaya skena?
Pierre Bourdieu memiliki gagasan yang bisa digunakan untuk menganalisis fenomena ini. Ia menawarkan gagasan champ untuk menganalisa kerangka lingkup sosial dan arena perjuangan. Champ dipahami sebagai mikrokosmos yang mandiri dalam makrokosmos sosial. Champ semacam arena permainan dimana para pemain diharuskan untuk memahami aturan dan kode tertentu dalam permainan. Kelas yang mendominasi biasanya cenderung mempertahankan capital mereka dengan usaha pembedaan diri melalui budaya, makanan, dan pakaian. Sedangkan kelas yang didominasi biasanya cenderung mengikuti capital kelas atas sebagai upaya untuk keluar dari kelas sosial yang didominasi.
Menurutnya masyarakat yang berusaha untuk mendominasi menggunakan instrument distinction sebagai upaya membedakan diri mereka dari status sosial tertentu. Jalan yang ditempuh untuk menjalankan instrument distinction melalui tiga struktur konsumsi yaitu: makanan, makanan, dan pakaian. Ketika masyarakat kelas atas membedakan konsumsi mereka dari konsumsi kelas bawah, maka seketika itu habitus tercipta. Habitus kelas atas menimbulkan capital untuk kelas bawah. Namun sayangnya, habitus kelas atas merupakan konsumsi yang sulit diraih atau dikonsumsi kelas bawah. Hal ini sebagai strategi pertahanan kelas atas dalam melanggengkan dominasi mereka.
Sayangnya, strategi yang digunakan kelas atas untuk mendominasi bisa digunakan juga oleh kelas bawah sebagai strategi untuk meruntuhkan dominasi kelas atas. Ambil contoh skena musik, subkultur skena pada awalnya muncul sebagai budaya pinggiran, selain karena jarang diminati oleh kalangan masyarakat, budaya ini juga merupakan konsumsi kelas menengah ke bawah yang biasanya merupakan kelas yang didominasi. Para anak skena berusaha melepaskan dominasi budaya musik major label dengan mendiskreditkan capital kelas atas sehingga muncul konotasi negatif agar masyarakat tidak meminati lagi capital kelas atas. Budaya skena yang berkembang di Indonesia berusaha menciptakan gambaran buruk industri musik major label sebagai industri yang terlalu mengekang kebebasan dan kreativitas para musisi dan penikmat musik. Budaya skena mendukung dan mendorong kreativitas para musisi untuk menciptakan karya-karya musik yang bebas dari standarisasi industri musik mainstream.
Tak hanya itu, anak-anak skena melanjutkan strategi mereka dengan instrument distintion melalui selera musik dan pakaian. Pada dasarnya band dan pakaian yang diminati mereka tidak spesifik pada band atau pakaian tertentu, yang menjadi minat mereka adalah band dan model pakaian yang anti mainstream, dan umumnya band yang diminati mereka adalah band yang dikelola secara mandiri. Model pakaian elite yang tak ramah dikantong masyarakat kelas menengah ke bawah, mendorong mereka untuk menciptakan model pakaian sederhana namun mengandung nilai estetika yang unik. Ditambah dengan capital baru yang timbul dari usaha revolusi budaya nilai budaya skena meroket di kalangan publik. Perlahan kita dapat melihat turunnya konsumerisme kalangan bawah terhadap capital kelas atas dan beralih pada konsumerisme terhadap produk budaya skena. Dalam konteks musik, hal ini dapat kita lihat dengan merambahnya musik indie mulai tahun 2018. Jika semula band-band ini melalang buana di sekitar café saja, saat ini mulai banyak band-band indie yang muncul di beranda media sosial dan televisi, meskipun di sisi lain cukup sulit untuk mengatakan bahwa budaya skena telah mendominasi selera public, karena skena tidak hanya terkait dengan dunia musik saja.
Sekilas kita bisa melihat nilai positif dari munculnya budaya skena di ranah public. Budaya skena mendorong kebebasan dan kreativitas baik dalam ranah musik dan pakaian. Para anak skena sering menggaungkan kalimat “do it your self ” dalam mempertegas eksistensi mereka bahwa mereka hadir untuk mendorong kebebasan dan kreativitas manusia. Namun akhir-akhir ini juga muncul fenomena baru dalam budaya skena, beberapa anak skena berperilaku menyimpang dari prinsip awal budaya skena. “ polisi skena” istilah tersebut muncul sebagai sindiran kepada anak skena yang telah menyimpang dari prinsip skena dengan melakukan diskriminasi terhadap beberapa orang yang sering menggunakan kaos berlogo suatu band. Para polisi skena ini seolah mengharuskan kepada setiap orang yang menggunakan kaos band untuk mengetahui sejarah bandnya. Ketika seseorang tidak mengetahui sejarah band yang mereka minati, maka para polisi skena akan mengejek mereka. Perilaku para polisi skena tersebut dianggap menyimpang dari prinsip skena, karena mereka tidak mendukung kebebasan individu untuk meminati band tertentu dengan cara menetapkan standar-standar tertentu untuk apa yang mereka senangi.
Munculnya fenomena polisi skena turut menimbulkan mitos tersendiri di kalangan anak skena musik. Istilah skena yang pada awalnya memiliki arti positif perlahan membawa arti negatif. Beberapa orang yang termasuk anak skena akhir-akhir ini justru muak dengan istilah skena jika istilah tersebut disematkan pada mereka. Mengapa makna skena berubah saat ini?. Jika kita renungkan lagi makna positif dari istilah skena merupakan makna denotative yang bisa kita pahami dari sejarah munculnya budaya skena. Namun makna sebuah penanda pada dasarnya tidaklah statis, penanda (sensasi mental terhadap penanda) dari sebuah petanda turut berubah seiring berjalannya waktu. Hal ini dikarenakan bahwa sebuah petanda akan selalu mengikuti perkembangan budaya masyarakat.
Roland Barthes menjelaskan bahwa setiap penanda (signifier) selalu merujuk pada petanda (signified). Misalnya kata “kopi” sebagai penanda merujuk pada konsep (mental) kopi sebagai petanda. Makna dari contoh diatas merupakan makna denotatif karena kata “kopi” merujuk langsung pada konsep mental dari kopi. Namun menurut Barthes, makna yang dihasilkan dari hubungan penanda dan petanda tidak selalu merupakan makna denotatif. Makna tersebut akan berubah seiring waktu sesuai perkembangan budaya pengguna tanda, sehingga tanda yang sama dapat memproduksi makna konotatif yang bukan makna sebenarnya. Misalnya kata “kopi” merujuk pada arti “teman di pagi hari”, karena masyarakat pengguna tanda tersebut selalu mengkonsumsi kopi di pagi hari sebelum memulai aktivitas mereka. Dapat kita lihat bahwa hubungan penanda dan petanda pada contoh diatas bukanlah hubungan denotative signifier-denotative signified, karena penanda yang sama saat itu merujuk pada petanda yang berbeda sehingga hubungan tanda tersebut adalah hubungan connotative signifier-connotative signified. Hubungan tanda yang kedua ini disebut Barthes sebagai second order signification atau mitos pada makna tataran kedua.
Kembali pada pembahasan budaya skena, istilah skena (denotative signifier) pada awalnya merujuk pada makna yang positif yaitu kebebasan dan kreativitas (denotative signified), lalu berubah maknanya menjadi makna negatif yaitu sekelompok peminat musik yang toxic (connotative signified). Makna yang terkahir inilah yang saat ini banyak dipahami oleh masyarakat awam. Hal tersebut dikarenakan banyaknya fenomena polisi skena di kalangan anak-anak muda, sehingga mereka menganggap bahwa budaya skena merupakan budaya toxic.
Kavin Ashfiya
Anggota Lingkar Studi Filsafat Discourse. Mahasiswa Sastra Arab di UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.