Istilah Post-Truth mulai dikenal sejak Watergate Case, ialah momen kontroversi yg memicu pengunduran Presiden Richard Nixon pada kisaran 1970. Amerika merupakan contoh ideal dalam usaha memahami Post-Truth karena permainan kepentingan AS mampu mengeluarkan segala isu semisal pernyataan atas dibangunnya tembok perbatasan AS-Meksiko atau perang berdasar ancaman senjata pemusnah massal dari Timur Tengah. Dr. Haryatmoko dalam kuliah online Jurnal Perempuan tahun 2018 menjelaskan bahwa etika politik di era Post-Truth mampu memainkan isu secara estetik karena isu diproduksi untuk mengarahkan emosi sosial dan bukan berazas kebenaran.

Post-Truth menitikberatkan kepercayaan pribadi, opini subjektif dan emosi massal. Filsafat dan bahasa dalam era Post-Truth tidak lagi menjadi perangkat realitas yang seharusnya berfungsi untuk mengidentifikasi, merepresentasikan simbol dan membawa pengertian pada objek tak nampak. Post-Truth mengabaikan kriteria fakta dan secara naratif mampu mengolah informasi sesuai dengan penyimpulan subjektif.

Pelaku Post-Truth adalah supremasi pemilik wacana. Dengan kata lain informasi menjadi aset kuasa seperti yang dinyatakan Michel Foucault sebagai kekuatan wacana. Keluaran Post-Truth yang paling negatif adalah banalistas kebohongan dan pengkambinghitaman massa. Dalam mengatasi era ini, masyarakat dituntut untuk meningkatkan kemampuan kritis dimana subjek dapat memposisikan diri dalam berbagai perspektif yang berbeda. Tantangan tersebut dilakukan dalam menghadapi Post-Truth yang menjelma dalam populisme, dimana kekuatan ide menyesatkan kebenaran melalui tren artifisial.

Pendiri LSF Discourse dan saat ini menjadi penasihat lembaga. Pimpinan Redaksi lsfdiscourse.org dan penerbit Discourse Book. Mengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content