School boys playing with spinning tops in the classroom karya Charles Bertrand d'Entraygues
School boys playing with spinning tops in the classroom karya Charles Bertrand d'Entraygues

Diskursus postmodern adalah suatu refleksi intelektual atas era modern, gagasannya adalah all is different, artinya menolak totalitas karena dalam totalitas tidak ada perbedaan. Menurut Laclau dan Mouffe, perbedaan (difference) tidak dalam arti mutlak tetapi diletakkan pada konteks sosial historis tertentu, misalnya konteks sekolah atau masyarakat (Aronowitz & Giroux, 1997). Pada satuan pendidikan (sekolah), gagasan postmodern mengajak kita untuk berpikir kritis, tetapi di saat yang sama tidak ada kebenaran absolut, atau secara radikal semua bersifat relatif. Namun, relativisme seperti ini tidak boleh terjadi, khususnya dalam ruang pendidikan. Pada era ini, pendidikan harus dibatasi agar tidak terjebak pada relativisme, di mana kebenaran tergantung pada individu masing-masing. Batas pendidikan perlu dipertegas, karena peserta didik dapat bebas dan mengambil jarak terhadap yang lain, karena telah terjadi pergeseran dan meluasnya pemegang kuasa dan pengetahuan, yang tadinya dipegang oleh suatu lembaga otoritatif tertentu ke semua orang yang dengan sadar memiliki kuasa dan pengetahuan pada dirinya (Giroux, 2011: 156-157). Pentingnya menghormati orang lain membuat kita harus lebih berhati-hati dalam mengklaim bahwa kita mengetahui semuanya. Manusia postmodern tidak sama dengan kesadaran (bukan seperti gagasan Descartes, yang menyatakan bahwa kesadaran adalah aku) dan tahu mengenai motif-motif semua perbuatannya, karena manusia era ini adalah produk berbagai kuasa internal, seperti unsur bawah sadar, sebagaimana dibahas oleh Sigmund Freud dan Jacques Lacan.

Kita perlu pertama-tama memberikan apresiasi pada pengaruh postmodernisme di ruang pendidikan, setidaknya ada tiga hal: (1) kehadiran postmodernisme memberikan ruang bagi setiap individu memiliki makna-makna tersendiri sesuai dengan hakikatnya dan diberikan kebebasan untuk melakukan sesuati sesuai hakikatnya pula. Pedagogi postmodern lebih dari sekedar metode atau teknik a-priori yang ditujukan pada murid-murid, yaitu rasionalisme (obyektivisme dan positifisme) dan universalisme, melainkan memungkinkan murid-murid memiliki keluwesan untuk berpikir menjelajah kemungkinan-kemungkinan menjadi masyarakat yang kritis serta memperluas dan memperdalam partisipasi mereka dalam demokrasi (Giroux, 2011: 155). (2) Dalam hal budaya, kritik kultural postmodernisme atas pendidikan memancing kesadaran dan keanekaragaman budaya yang berkembang di sekolah, sebab peserta didik yang hadir di sekolah berasal dari latar belakang budaya yang dibawa oleh peserta didik sehingga dapat menciptakan suatu situasi kerukunan antar budaya. (3) Dalam menjawab situasi budaya yang penuh dengan ketidakpastian dan serba relatif, dituntut suatu sistem pedagogi kritis yang menyatakan bahwa proses pembelajaran menuntut baik peserta didik maupun pelaku pendidikan untuk belajar to think outside the box. Memberikan siswa kesempatan menjadi pemecah masalah dan melibatkan budaya bertanya di kelas mengenai isu-isu kritis tentang penguasa pembelajaran dan bagaimana cara-cara pengetahuan, identitas dan otoritas dibentuk dalam dinamika di kelas (Giroux, 2011: 156-157).

Selanjutnya, akan diberikan beberapa catatan. Pertama, seperti ditulis Giroux dan Simon, mata pelajaran yang diikuti peserta didik semakin meningkat kuantitasnya. Peserta didik harus beradaptasi dengan selera masyarakat populer, seperti mata pelajaran Bahasa Mandarin, fotografi, film, dan sebagainya (Aronowitz & Giroux, 1997: 119). Hal ini akan menambah beban peserta didik yang sudah dibanjiri oleh begitu banyak pelajaran yang telah ada sebelumnya. Alih-alih ingin menguasai banyak pelajaran malahan tidak mendapatkan apa-apa. Agar hal itu tidak terjadi, perlulah mata pelajaran yang jumlahnya banyak tadi itu dikurangi agar kualitas pelajarannya meningkat, atau diberikan pilihan untuk mengikuti sesuai bakat dan kemampuan siswa. Dengan banyaknya jumlah jam belajar itu, para siswa kehilangan waktu untuk bersosialisasi dengan teman sebaya. Ditambah dengan lingkungan yang individualistik, perang lingkungan menjadi dikesampingkan. Setiap individu ingin berkembang menjadi nomor satu, dan tidak mengindahkan kehadiran yang lain dalam lingkungannya (Bagnall, 1998: 320). Nilai-nilai sosial, seperti kesetiakawanan, gotong royong, kerjasama, dan sebagainya lama kelamaan akan terkikis jika individu menjadi pusat tunggal. Lingkungan eksternal (teman, keluarga, masyarakat, situasi, barang-barang pendukung) dilihat sebagai sarana bagi dirinya.

Kedua, dengan gagasan semua individu berbeda, maka ada kemungkinan kehendak individu untuk “menguasai” individu lain, dalam arti tertentu menciptakan perundungan (bullying). Oleh karena itu dibutuhkan pemahaman tentang istilah difference dan batas-batas pendidikan yang benar sebagai usaha untuk memberi ruang bagi perspektif bagi orang lain. Secara konkret, hal itu bisa diwujudkan dengan menyusun perangkat pembelajaran yang
memberi ruang dan menghargai opini orang lain. Dalam hal ilmu pengetahuan, kita seringkali merasa tidak senang atau tidak nyaman kalau ada yang bersifat asing atau tidak mendukung ide kita. Perasaan ini terungkap dalam berbagai hal, salah satunya adalah berbagai perlakuan tidak adil terhadap orang-orang yang bukan termasuk kelompok kita. Siswa belajar untuk memperluas rasa kepeduliannya terhadap kaum yang tertindas dan tak berdaya (Giroux, 2011: 155).

Ketiga, pendidikan di sini tidak membicarakan peran keluarga: Bapak, Ibu, saudara. Padahal keluarga adalah tempat pendidikan pertama yang sangat penting yang akan membentuk karakter seseorang. Menurut Pierre Bourdieu, baik pendidikan formal (sekolah) maupun informal (kelaurga) merupakan unsur penting bagi pembentukan habitus
seseorang (Bourdieu, 1984: 22-29).

Daftar Pustaka

Buku

Aronowitz, Stanley; Henry Giroux. Postmodern Education: Politics, Culture and Social Criticism. Minnesota, London: University of Minnesota Press, 1997.

Bourdieu, Pierre. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste, translated by Richard Nice. Cambridge: Harvard University Press, 1984.

Diktat Kuliah Filsafat Pendidikan oleh Prof. Dr. Alex Lanur, OFM. Giroux, Henry A. On Critical Pedagogy. London: Continuum, 2011.

Jurnal

Bagnall, Richard G. “Moral Education in a Postmodern World: Continuing Professional Education” on Journal of Moral Education, vol. 27, no. 3, 1998.

Profil Yohanes Theo
Yohanes Theo

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.