Layaknya agama, pemikiran Marx melewati batas teritorial dan waktu, pemikirannya telah berkomposisi pembebasan dan perlawanan. Dalam beberapa tempat dan waktu, pembulatan pemikiran Marx diadopsi oleh beberapa kelompok sebagai nafas perjuangan dan arus perubahan. Di Rusia, Marxisme didaku sebagai integral ideologi kelompok Leninisme, ujungnya kemudian muncul satu klausul dalam sejarah pemikiran Karl Marx, Marxisme-Leninisme.
Marxisme-Leninisme adalah ideologi politik yang pegang oleh Partai Komunis Uni Soviet. Organisasi bentukan Vladimir Lenin tersebut mencoba membawa pemikiran Marx yang holistik dan determinan ke dalam garis akar rumput serta realitas. Marx dalam banyak karyanya selalu terdepan dalam mengelu-elukan meletusnya revolusi; perbaikan nasib, perubahan struktur dan kelas sosial, juga hilangnya ketimpangan dan ketertindasan.
Namun, siapa sangka kerinduan yang dielu-elukan berkedok ‘utopia’ itu terjadi 34 tahun pasca wafatnya ‘nabi’ mereka. Wafat Marx, tidak menyurutkan pengikutnya untuk terus mengawetkan dan memproklamirkan pada dunia atas candunya untuk mengubah sistem dan struktur yang mendasar. Tetap, tujuan pokoknya adalah revolusi emansipatif, pun Marx masih absen dalam menganalisis kebutuhan yang kian masif.
Marx hanya menawarkan jalan pemikiran. Revolusi yang jauh lama digagas, terlihat sepersekian persen dalam memetakan kondisi realitas. Justru, Revolusi Bolshevik yang dimotori oleh Lenin-lah yang membawa revolusi ala Rusia. Lenin dan kaum Bolshevik tidak langsung menyasar terbentuknya tatanan masyarakat komunis namun secara perlahan dalam revolusi empat tahap, mendirikan sistem masyarakat sosialis.
Dalam Materialisme Historis Dialektis, Marx menjabarkan garis besar pemikirannya dari kritik agama menuju kritik masyarakat, keterasingan, kritik ekonomi kapitalis, kritik masyarakat kapitalis hingga cita-cita besar komunis. Berbagai pengalaman meyakinkan Marx untuk menawarkan gagasan alternatif perlawanan. Berpijak pada nalar kritis Hegel yang berlangsung pada level logika dan diskursif, Marx membawanya pada level sosio-historis. Demikian ia mengujarkan, “Para filsuf hanya membicarakan dunia, tugas kita adalah mengubahnya!”
Klaim fundamental yang diamini oleh fanatisme Marxisme tampaknya juga membawa mereka pada tumpulnya sensitifitas merespon perubahan zaman yang kian destruktif, juga lambatnya memperbarui pemikiran Marx yang sedikit demi sedikit kian usang. Barangkali abai dengan pemikiran Marx yang progresif dan revolusioner, hingga banyak orang (baca: proletar) bergantung di bawah kakinya, membuat pemikiran Marx terpaksa ter-disorientasi dan jumud. Terlebih dengan diberedelnya organisasi dan kelompok yang membawahi pemikiran Marx; peristiwa ’65 dan sebagainya.
Teori Kritis: Alternatif Marx yang Menantang
Pada titik kemandegan pemikiran Marxisme dalam neo-marxis mendapatkan tempat biaknya secara cepat dan menantang. Pasca Leninisme pada abad kedua puluh, neo-marxis mengkritik pemikiran Marx yang sudah layu namun sekaligus meneruskan dengan menyesuaikannya dengan perubahan zaman yang kompleks. Salah satu tokoh Teori Kritis, Leo Lowenthal, dalam autobiografinya An Unmastered Past menulis dengan gaya menohok, “… Marx juga tidak bersimpati dengan proletariat.”
Lowenthal menggambarkan kehidupan budaya populer abad kedua puluh sebagai proses dehumanisasi. Peran media dalam menggiring komunikasi publik juga menyertakan kegigihan kelompok yang represif berujung kemunduran bahasa. Kehendak publik yang terus naik, dengan medium ruang publik yang berbanding terbalik. Harusnya, pemikiran Marx kuno yang menyasar pada tatanan ekonomi politik perlu digeser pada isu populis; budaya, pendidikan, linguistik, komunikasi, peran media, dan kebebasan individu.
Secara fundamental, teori kritis bukan lagi soal ekonomi dan politik, tetapi outline besarnya menekankan pada kritik alasan instrumental dan budaya. Tampaknya, tendensi ini dipegang kuat oleh kelompok mereka dalam mengawal pemikirannya yang segar dan baru. Seperti Jurgen Habermas tentang etika komunikatif emansipatif atau Adorno dengan dialektika negatifnya mempertanyakan instrumentalisasi budaya, seni, dan pendidikan.
Pemikir-pemikir jauh sebelum tercetusnya Teori Kritis, seperti Descartes yang menuntut agar segala penelitian dimulai dengan kesangsian metodis, atau Hegel dengan berusaha menemukan kebebasan mutlak dalam pengetahuan mutlak, dan Kant dengan penelitiannya terhadap batas-batas kemungkinan pengetahuan, oleh Max Horkheimer dan kawan kerjanya di mazhab Frankfurt dinilai hanya sebatas mengubah pengertian umum tentang realitas, tidak mengubah realitas itu sendiri. Oleh sebabnya teori tradisional membatasi diri pada kontemplasi.
Teori Kritis dicirikan oleh pemikiran melawan arus dunia. Dasar pijakan filosofisnya sama dengan pemikiran Marx; menolak kemapanan dan terus mempertanyakan keadaan. Fetisisme primordial yang feodal dikuliti nyaris habis oleh Teori Kritis, oleh karena diatribusikan sebagai dialektika negatif dari praksis relasi-relasi sosial. Dalam implementasinya, berusaha mengkonseptualisasikan realitas sejarah.
Berbeda dengan teori tradisional yang acuh tak acuh dan menahan terhadap konten sosial, Teori Kritis memaksakan diri memasuki setiap lini permasalahan sosial. Format arus geraknya adalah menemukan hal yang bersifat aktif dalam berbagai hal untuk mengungkapkan prinsip-prinsip keharusan yang ditegakkan secara sosial. Keberanian pemikiran Marx dalam menerbitkan tatanan sosial yang ideal diteruskan oleh kelompok neo-marxis, termasuk Teori Kritis.
Beralamat di Frankfurt, penelitian pertama Teori Kritis menyoal sejarah sosial pergerakan kaum pekerja. Meski enggan diatribusikan sebagai kelompok neo-marxian, dalam cara kerja penelitiannya Teori Kritis kerap mereifikasi dan mengidentifikasi pentingnya filsafat Hegel untuk kritik Marx tentang ekonomi politik. Perhatiannya terhadap praksis sosial melalui kritik totalitas.
Tema-tema yang menjadi grand theory Teori Kritis meliputi kritik tajam terhadap represi yang terjadi saat itu, di Frankfurt Jerman; suatu kritik terhadap masyarakat yang makmur, demokrasi massa, teknologi, serta masyarakat bebas dan hilangnya tatanan feodal. Berbagai refleksi untuk cita-cita terhadap peradaban sendiri, alih-alih ‘utopia’ layaknya Marx menjanjikannya.
Format dialektika dan cara kerja Teori Kritis masih relevan dengan kepentingan kontemporer. Ekspresi kebutuhan zaman sekarang secara baik dimediasi dalam materialisme historis, hingga lebih lanjutnya dapat dikelompokkan dalam tiga poin; pertama, kritik ekonomi politik dan ideologi Marx; kedua, riset sosial empiris dan; ketiga, psikoanalisis. Lebih bersimpati pada tradisi empiris yang akomodatif dibandingkan dengan tradisi rasionalis yang eksklusif.
Deskriptif di atas adalah identitas dari filsafat praksis, sebuah metode kritik kesadaran setiap hari. Menjadikan filsafat bukan sebagai kesatuan teoritik yang ndakik-ndakik, namun sebagai metodologi dan cara kerja memetakan permasalahan kontemporer atas nama emansipasi dan perbaikan nasib. Teori Kritis bergerak bebas, tidak terikat oleh batas-batas disipliner.
Teori Kritis: Elaborasi Kritis Emansipatif
Teori Kritis terbagi dalam dua generasi. Setiap generasi mempunyai tokoh yang menonjol. Generasi pertama dihiasi dengan pemikir-pemikir kritis, seperti Max Horkheimer, Erich Fromm, Walter Benjamin, Herbert Marcuse, hingga Theodor Adorno. Sedangkan generasi kedua kita lebih mengenal Jurgen Habermas, termasuk tokoh pemikir lain yang jarang dikenal, seperti Albrecht Wellmer, Oskar Negt, Clause Offe, Alfred Schmidt, dan Klaus Eder. Dalam beberapa literatur, Teori Kritis Mazhab Frankfurt berlangsung hingga generasi ketiga.
Tentu ada keterbatasan dalam memberitakan pemikiran aktor Teori Kritis secara keseluruhan. Bukan karena minimnya ruang dan waktu, hanya saja dimensi intelektualnya yang ensiklopedis menuntut pembacaan yang lebih rapat, spesifik dan tepat objek. Alih-alih, semoga saja, bisa menjadi evaluasi reflektif klaim fanatisme Marxisme yang mengkultuskan ‘nabi’ mereka menggiring terhadap jalan pembebasan berkedok utopia berlegitimasi revolusi.
Tulisan ini lebih memfokuskan pada pemikiran Teori Kritis generasi pertama. Tidak karena pemikiran Teori Kritis generasi pertama yang masih dan sekali lagi relevan dengan permasalahan kontemporer, hanya saja mencoba untuk menuliskan secara rapi dan sistematis. Gambaran tulisan ini lebih menekankan terhadap studi sosial berlapis empiris dan bumbu psikoanalisis.
Barangkali dalam beberapa dekade terakhir pemikiran Marx mengalami dekadensi, puncaknya pasca tragedi pengikisan segala aktivitas yang berbau Marxis. Di Indonesia, pada masa Orde Baru, nyaris tidak ada gerak-gerik dan geliat intelektual yang digdaya akan pemikiran Marx. Sudah layu, terkena dampak pembredelan, juga terlihat usang mengikuti arus logika pasar.
Tampaknya, jalan keluar masalah ini berhasil ditemukan dalam rangkaian pemikiran Teori Kritis. Bagi lingkar studi kritis, Marx luput akan pentingnya kategori analisis metafisik dalam spekulasinya, Materialisme Historis Dialektis. Hingga pada suatu kesimpulan refleks namun meyakinkan, bahwa Marxisme tidak menjadi apa pun selain ideologi yang melayani kebutuhan rezim. Hanya perihal revolusi dan terbentuknya sosialisme-komunisme, usai itu Marxisme ditinggalkan dan pasif.
Masterpiece Marx, Das Kapital, banyak menerangkan relasi realitas sosial dalam bingkai ekonomi politik. Melukiskan keadaan masyarakat yang timpang hingga berujung keterasingan, berlanjut hingga kritik ekonomi kapitalis kontradiktif yang, bagi Marx, akan terjun dengan sendirinya ke dalam lubang destruktif. Deskripsi ciamik itu dinarasikan dengan panjang dan lebar dalam karya besarnya yang berjilid-jilid, dicetak ulang berkali-kali.
Pembahasan kritis Marx telah berdampak luas terhadap seantero kaum buruh dunia. Dalam kritik ekonomi kapitalis, sebelum memahami dinamika akumulasi penting adanya memahami tentang ‘apa yang menentukan pertumbuhan nilai surplus’ dan ‘kondisi-kondisi untuk pemanfaatannya sebagai modal tambahan.’ Format awal Marx merumuskan adalah perihal kapital dan industrial, tetapi pendekatan ini terbukti sudah tidak dapat digunakan.
Nilai surplus secara gamblang disinggung oleh Marx dalam masterpiece-nya. Namun tidak dengan kondisi pemanfaatannya. Di abad kedua puluh, nilai surplus yang dihasilkan melalui kerja kapital harus dibagi dengan kapitalis komersial dan finansial, serta dengan para tuan tanah dan negara dalam bentuk mercantile profit; bunga, sewa, dan pajak. Serabut persoalan kian elusif dan agaknya pemikiran Marx harus dibenahi untuk tetap responsif.
Solusi yang sampai kepada Marx dalam usaha menghubungkan dua aktor produksi adalah dengan merevitalisasi analisis kebutuhan melalui abstraksi bentuk-bentuk modal dan interaksinya serta mereduksi gambaran masyarakat modern ke hubungan antara kapitalis modern ke hubungan antara kapitalis industri dan para pekerja produktif, seakan hal tersebut menghabiskan totalitas relasi-relasi ekonomi.
Vitalitas berlangsungnya relasi kapitalisme tergantung pada pertumbuhan modal; proses di mana produk mengalami surplus, bertransformasi menjadi uang, berperan untuk meningkatkan modal yang diinvestasikan dalam sarana produksi dan kekuatan tenaga kerja. Dalam terminologi Marx, nilai surplus yang dikumpulkan atas hasil kerja kapital digunakan untuk kebutuhan alat produksi demi mendulang keuntungan yang lebih besar dan berlanjut.
Argumen Marx didasarkan atas ‘hukum ekonomi kapitalis.’ Sifat alami yang akan timbul dari keberhasilan kerja kapitalis terlihat di mata para pekerja melalui akumulasi modal yang diinvestasikan untuk ekspansi alat produksi. Stabilitas masyarakat kapitalis, menurut pemikiran Marx kuno, tercermin dalam kecenderungan potensi profitabilitas sarana-sarana produksi.
Teori Kritis berbeda dengan gaya berpikir Marx kuno. Nasib naik turunnya akumulasi nilai surplus didasarkan atas waktu yang digunakan buruh untuk bekerja. Oleh karenanya, kapital yang menginvestasikan nilai surplusnya kepada sarana produksi akan memperoleh keuntungan lebih kecil dibandingkan dengan kapital yang menginvestasikan nilai surplusnya kepada para pekerja.
Pemberian investasi surplus kepada pekerja adalah kondisi psikoanalisis yang ditawarkan oleh Teori Kritis dalam melawan dehumanisasi. Teori Kritis secara eksplisit berusaha tidak mereferensi pada pijakan Marxis. Yang diambil adalah semangat perjuangan dan nafas perlawanan, bukan potongan pemikiran yang tumpul dan absen terhadap kondisi subjek.
Pembahasan lebih lanjut menekankan cara kerja kapitalis yang menggandeng negara sebagai sekutu, bukan wasit yang tidak memihak. Dalam hal ini, adanya peran politik memainkan peran besarnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Gerakan ekonomi dan masyarakat secara keseluruhan dipercaya bertanggung jawab untuk emansipasi manusia yang mungkin terjadi.
Idealnya, negara sebagai sekutu, mampu menutupi kerugian yang tak terduga yang terkait dengan eksperimen pabrik kapital, yang dapat memberikan pasar dalam skala yang mencukupi untuk membuat proses manufakturing dapat berjalan terus secara ekonomis.[9] Dalam Teori Kritis, kapitalis monopoli totaliter yang terjadi dan atau ditelaah Marx pada zamannya bergeser cara kerjanya sebagai kapitalis negara.
Barangkali ini terlihat kontras berbeda dengan gaya pemikiran Marx kuno. Bahkan, andaikata dilihat sepintas tanpa pembacaan tuntas, Teori Kritis seakan membelokkan arah gaya pemikiran Marxis yang tajam dan kritis. Namun, sekali lagi ini adalah neo- yang melampaui. Cara kerjanya afirmatif dan negatif; menerima kerangka berpikir Marx dengan baik, untuk kemudian dianalisis kembali dan dikembangkan demi rekonsiliasi format dialektika emansipatif.
Beratribusikan neo-marxisme, Teori Kritis telah berusaha menawarkan konsep dialektika berbasis empiris sosial yang bebas dan tidak terikat dengan segala bentuk disipliner. Segala bentuk kerangka sudah digagas secara ideal untuk kebutuhan mondial, namun siapa yang bisa memberikan garansi terhadap ihwal realitas sosial (?) Terlebih untuk saat ini, soal kapitalis negara yang harusnya sekutu, justru menjadi wasit impotensi, dalang agitasi.