Pada tahun 2013 Cina meluncurkan Belt and Road Initiative atau yang dikenal sebagai Prakarsa Sabuk dan Jalan. Prakarsa ini merupakan sebuah gerakan awal dari sistem Tianxia (All Under Heaven) yang menjadi dasar cara berpikir ekspansional pengembangan Cina sekaligus sebagai cara mengatasi berbagai masalah domestik Cina. Xi Jinping pada Kongres Nasional Partai Komunis Cina pada tahun 2017 menyebut salah satu karakter Tianxia kuno dalam pidatonya:
“Adalah ide dari Tianxia (segala di bawah langit) membentuk satu keluarga yang harus memandu manusia sehingga kita dapat merangkul satu sama lain dengan lengan terbuka dan menciptakan fondasi yang sama serta menyingkirkan perbedaan-perbedaan kita. Bersama, kita harus berjuang untuk membangun komunitas dengan masa depan bersama untuk umat manusia.”
Agar dapat mendalami pemikiran Xi Jinping dengan kepemimpinannya yang dikategorikan sangat sukses membawa Cina menjadi salah satu negara penting dalam percaturan politik dunia, maka perlu dipahami juga mengenai Tianxia kuno, Tianxia Modern, dan langkah-langkah Cina dalam menciptakan hegemoni tatanan dunia baru.
Memahami Tianxia Kuno
Tianxia adalah konsep warisan dari Dinasti Zhao, yang disusun kurang lebih sekitar 1000 tahun sebelum Masehi. Konsep Tianxia berlanjut bahkan melampaui jaman Dinasti Zhao yang berakhir pada tahun 256 SM. Konsep yang ditawarkan Tianxia adalah sebuah tatanan dunia yang meliputi keseluruhan dunia agar dapat hidup berdampingan (coexistence), dengan menyediakan keamanan dan kedamaian, tanpa adanya persaingan dan perseteruan. Tianxia lahir akibat dari tumbangnya kekuasaan Raja Zhao dari Shang, yang pada waktu itu memimpin wilayah yang kita kenal sebagai wilayah Cina modern pada masa kini, oleh Raja Wu dari kerajaan Zhao1. Rezim (sebuah suku atau dapat juga dikategorikan sebagai kerajaan kecil) Zhao mendapatkan legitimasi untuk menguasai Poros Pusat kerajaan (Central Plain), kondisi ini mendesak mereka untuk memiliki landasan alasan mengapa sebuah wangsa kecil dapat memimpin berbagai kerajaan yang lebih besar maupun kecil lainnya, untuk dapat hidup damai berdampingan tanpa harus mengandalkan kekuatan militer untuk memaksakan atau mempertahankan legitimasi dalam memimpin.
Menghadapi situasi tersebut, Zhao merumuskan Tianxia, sebuah sistem yang melampaui tujuan politik dalam mengatur dan mempertahankan tatanan dunia hidup secara damai, kecakapan memimpin dan juga mencakupi aspirasi masyarakat2. Mencapai Tianxia maka diperlukan karakteristik dasar yang mencerminkan pandangan terhadap tatanan dunia bersama, karakteristik dasar tersebut adalah:
- Tianxia harus menjamin semua suku/kerajaan (negara) yang tergabung mendapatkan keuntungan lebih dibandingkan negara yang berdiri sendiri. Karakter inilah mengapa suku atau kerajaan (negara) lain secara sukarela memiliki keinginan untuk bergabung.
- Sistem Tianxia harus mencakupi simbiosis mutualisme antar semua anggotanya. Karakter ini merupakan jaminan agar keamanan universal dan kedamaian abadi dapat terjadi.
- Sistem Tianxia harus dapat menciptakan kepentingan, manfaat dan usaha bersama, yang dapat memberikan keuntungan antar anggota. Secara singkat, Tianxia adalah usaha dunia yang terus menerus menyempurnakan diri, tanpa menyisakan faktor lain yang berada di luar dirinya.
Wilayah yang dibahas dalam prinsip Tianxia kuno, meliputi trinitas wilayah, yang antara lain adalah:
- Geografi; dengan pemahaman All Under the Heavens, maka cakupan geografis cukup jelas, ialah keseluruhan dunia. Wilayah Cina pada jaman purba tadi, kurang dari setengah wilayah Cina modern sekarang ini. Tetapi pemahaman orang Cina purba, meliputi wilayah yang bahkan belum dipetakan.
- Psikologi; merujuk pada masyarakat dunia. Agar sistem ini dapat berhasil maka perlu mendapatkan dukungan dari masyarakat dunia yang majemuk. Dengan dukungan tadi, maka aspirasi masyarakat juga bisa didapatkan. Tianxia adalah praksis sekaligus teori, sehingga agar Tianxia bisa berhasil, maka keterlibatan dan kesukarelaan orang untuk bergabung mendapatkan posisi yang sangat penting dan kritis.
- Politik; untuk dapat mewujudkan Tianxia, maka tugas pengatur negaralah untuk dapat menciptakan kondisi yang harmoni yang ingin dicapai.
Seiring dengan perkembangan waktu, terjadi pergeseran makna dari Tianxia yang terjadi pada saat dinasti Qin berkuasa, menggantikan dinasti Zhao. Cina yang tadinya merupakan wilayah dengan banyak suku-suku dipersatukan dalam satu wilayah daratan Cina oleh Kaisar Qin Shihuang yang menjadi pemimpin absolut. Agar tidak terjadi kerancuan makna, maka Tianxia yang menjadi rujukan Cina adalah Tianxia Dinasti Zhou yang sudah kita bahas di atas.
Belt and Road Initiative
Membahas Tianxia mengharuskan membahas mengenai BRI, yang merupakan aksi yang paling nyata yang dilakukan pemerintah Cina. Sebuah rencana agresif dalam mengembalikan jalur perdagangan yang dikenal dengan nama Silk Road, dalam bentuk yang berbeda. Seperti halnya Silk Road, BRI bertujuan membangun infrastruktur guna melancarkan jalan perdagangan dari dan menuju Cina. Perbedaannya, alih-alih terjadi secara organik, BRI didanai secara agresif oleh bank-bank Cina yang memberikan pinjaman dana kepada negara-negara yang ingin membangun infrastruktur negaranya. Pembangunan infrastruktur meliputi pembangunan jalan, jalur kereta api, jalur perdagangan laut, pelabuhan, kilang minyak, pergudangan, pembangkit tenaga listrik dan obyek vital lainnya.
Belt and Road Initiative yang diluncurkan Cina, melibatkan 142 negara, yang ditilik dari pendapatannya terbagi menjadi 4 kategori. Terdapat 29 negara dengan pendapatan rendah (low income), 39 negara pendapatan menengah ke bawah (lower middle income), 40 negara dengan kategori pendapatan menengah ke atas (higher middle income) dan 33 negara kategori pendapatan tinggi (high income), dan 2 negara kepulauan tanpa kategori. Demi menjaga keseimbangan berpikir, maka sangat penting untuk mengetahui kategori pendapatan negara-negara yang terlibat BRI. Sejarah dunia telah menuliskan bagaimana imperialisme dilakukan oleh negara maju dengan menunjukkan supremasi militer kepada negara dengan kategori pendapatan rendah yang sulit melawan hegemoni mereka. Mempelajari bahwa Cina memasukkan 33 negara dengan pendapatan tinggi dan 40 negara pendapatan menengah atas, minimal kita bisa berpikir netral tanpa berspekulasi adanya maksud otoritarian Cina untuk menekan negara-negara tadi untuk menerima pinjaman dengan cara pemaksaan. Di lain pihak meminjamkan dana kepada negara yang diragukan kemampuan membayarnya seperti Sri Langka atau Pakistan, menjadi suatu misteri yang perlu dipelajari lebih dalam apakah ada unsur lain dalam Prakarsa Sabuk dan Jalan.
Dobrakan BRI mulai menimbulkan korban, Gwadar Port di Pakistan dikuasai (dalam bentuk guna sewa) kepada Cina selama 40 tahun, Obock Military Base di Djibouti dibangun untuk militer Cina dan dapat digunakan sampai tahun 2026, jaringan listrik di Laos telah dikuasai Cina, Pelabuhan Hambatota di Sri Langka dikuasai selama 99 tahun,
Secara ekonomi BRI pun tidak memberikan kontribusi signifikan atas GDP Cina. Hal ini menggelitik keingintahuan, tujuan apa yang sebetulnya ingin dicapai Cina dengan menggelontorkan hutang besar-besaran dalam membangun infrastruktur negara lain. Junaid Ashraf dalam artikelnya menuliskan kutipan Alfred Thayer Mahan; “whoever controls the Indian Ocean, dominates Asia. This ocean is the key to the seven seas in the 21st century, the destiny of the world will be decided in these waters.” Melalui BRI dapat dipastikan Cina sedang mengembangkan apa yang disebut dengan “The String of the Pearl Strategy”, ialah membangun jaringan seperti rangkaian mutiara di laut India, untuk dapat: memperkuat pertahanan wilayah dan penduduk di luar negaranya, memiliki pangkalan militer di luar negaranya, mengatur jalur perdagangan laut.
Tianxia Modern
Unsur-unsur Tianxia menurut Klaus H. Raditio3 adalah: sukarela (voluntary), saling menguntungkan, tributary / hierarkis, keterbukaan / inklusif, konektivitas, Sino-sentrik, relasional dan kedaulatan relatif. Memberikan pinjaman besar kepada negara-negara berkembang merupakan sebuah cara agar negara penerima bantuan secara sukarela bergabung dengan Grand Plan BRI. Secara hierarkis, mereka juga akan tergantung dengan negara pemberi pinjaman, ialah Cina yang artinya juga mencakup unsur Sino-sentrik. Langkah Cina ini seperti membentuk waralaba toko kelontong. Misalkan, jika Cina kita anggap sebagai indogrosir, maka negara-negara yang tergabung di dalamnya adalah Indomart. Tentu ini tidak salah, karena secara ekonomi, kenyamanan, kelengkapan standarisasi harga & konektivitas Indomart banyak memberikan dampak yang positif di mana pun toko kelontong ini didirikan. Sebagaimana pemerintah Indonesia gagal melihat dampak negatif menjamurnya Indomart, maka kita harus secara lantang berteriak memperingatkan apa akibat hegemoni Cina terhadap perekonomian dan kebudayaan dunia, yang dapat mengarah terbentuknya tatanan dunia baru.
Menciptakan sebuah perekonomian yang stabil, membutuhkan homogenitas penduduk yang terkendali. Kita dapat menilai bagaimana Cina sedang mengubah demografi suku Uighur di wilayah Xinjiang dengan gerakan “Develop the west” yang akhirnya menjadi magnet suku Han (suku mayoritas di Cina) untuk ramai-ramai pindah ke Xinjiang. Migrasi ini mengakibatkan gentrifikasi penduduk Uighur yang menjadi tamu di wilayah mereka sendiri. Maka dalam menciptakan negara waralaba, Cina seperti sedang melakukan lebensraum (penciptaan living space. Istilah yang digunakan oleh Jerman Nazi saat menyerang negara-negara lain), bedanya Cina sedang melakukannya secara halus. Negara waralaba diharuskan menggunakan ide, teknologi dan sumber daya manusia dari Cina dalam melaksanakan proyek mereka.
BRI juga menjadi cara untuk mengompensasi kapasitas produksi yang berlebihan. Memindahkan kapasitas produksi yang berlebihan ke negara waralaba dapat membantu Cina memfokuskan diri pada industri-industri teknologi yang canggih. Tujuannya jelas agar standar teknologi mereka dapat diterima oleh negara-negara penerima bantuan. Negara waralaba harus siap juga menerima agar budaya mereka digantikan oleh budaya pemilik waralaba.
Pemikiran Kritis
Indomart sebagai waralaba memberikan banyak keuntungan bagi konsumen. Indomart juga menggeser nilai toko kelontong tradisional yang memiliki unsur-unsur yang berbeda, tidak adanya standarisasi harga, tidak terjaga kebersihan dan presentasi, kenyamanan yang tidak standar, dsb. Indomart juga menghilangkan wiraswastawan UMKM yang menjadi dasar ekonomi negara Indonesia. Yang lebih gawat lagi, Indomart menggeser pekerja yang sudah berumur (umur pensiun) tetapi memiliki usaha sendiri, dengan pegawai-pegawai muda bergaji UMR yang dikontrak untuk batas waktu tertentu. Indomart memberikan keuntungan kepada perusahaan pusat (pemilik waralaba) dan pemilik modal (oligarki), segelintir orang yang sanggup untuk membeli ijin usaha waralaba tadi. Menganalogikan konsep Tianxia dengan Indomart dapat memberikan rasa bergidik bila dipikirkan secara politis. Kedaulatan negara hanya menjadi slogan, karena realpolitik kekuasaan akan berada ditangan Beijing. Maka para pengambil kebijaksanaan di negeri ini perlu untuk lebih bijaksana dalam menerima pinjaman dari negeri Tirai Bambu, agar tidak hanya menjadi sekedar “negara waralaba” yang menjalankan apa yang diperintahkan oleh franchisor.