Utopia1 memiliki peran penting dalam Partai Komunis Tiongkok (PKT), karena utopia memberikan harapan bagi terwujudnya komunisme2 di Tiongkok. Menurut Stuart R. Schram, tidak ada partai revolusioner yang dapat ada tanpa seruan utopia. Sebab, istilah utopia dapat merujuk kepada visi tentang apa yang belum dan “mungkin” dapat diwujudkan. Itu berarti utopia memastikan harapan atas terwujudnya revolusi komunis yang bukan hanya angan-angan semata. Tujuan politik ini menjadi penting untuk manusia dalam memaknai hidupnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Karl Mannheim, “Hilangnya utopia membawa keadaan statis di mana manusia sendiri menjadi tidak lebih dari benda”.
Pertanyaannya, apa fungsi utopia untuk PKT? Ada dua fungsi utama utopia untuk PKT, tersebut: Pertama, utopia sebagai alat propaganda3 demi mewujudkan komunisme di Tiongkok. Itu berarti utopia bertugas untuk membentuk kesadaran rakyat bahwa komunisme dapat terwujud di Tiongkok. Ini didasarkan pada kepercayaan PKT di mana “pikiran menentukan tindakan” – jika pikiran dapat dikoreksi maka tindakan mereka juga akan benar. Kedua, utopia merupakan sarana untuk melegitimasi kekuasaan PKT di Tiongkok. PKT menggunakan utopia untuk membangun wacana tentang kekuasaan dan otoritas yang sah dalam mitos nasionalisme, peremajaan, kemajuan, dan sejarah di Tiongkok. Keduanya akan jelas saat kita melihat perkembangan utopia di Tiongkok, dari Mao Zedong ke Xi Jinping.
Utopia Mao
Era Mao menjadi titik awal peran penting utopia bagi PKT untuk mewujudkan komunisme di Tiongkok. Hal ini terlihat dari dua kebijakan Mao, ialah:
Lompatan Jauh ke Depan (Great Leap Forward)
Lompatan Jauh ke Depan (LJD) merupakan utopia yang didasarkan pada “pengorbanan” rakyat Tiongkok dalam perjuangan pembangunan ekonomi. Peter T. Manicas berpendapat, LJD menggunakan komune sebagai solusi teoretis untuk merealisasikan utopia Mao, karena komune-komune memperlihatkan tujuan-tujuan revolusioner, memerlukan cara-cara revolusioner. Mao menganggap komune sebagai bentuk baru organisasi politik dan ekonomi yang baru, di mana komune memperlihatkan potensi untuk merekonstruksi masyarakat komunis berbasis petani. Komune berperan penting dalam mengurangi kesenjangan antara desa dan kota, kerja mental dan manual, perbedaan kelas pekerja, petani, serta kaum intelektual, termasuk mempercepat penghapusan fungsi internal negara. Jadi, LJD merupakan perjuangan pembangunan ekonomi untuk melampaui kapitalisme Barat.
Pun ketika LJD berakhir dengan kegagalan, bukan karena gagasan utopianya yang salah, melainkan karena kurang kuatnya perekonomian Tiongkok. Manicas menguraikan dua alasan mengapa LJD dapat gagal, ialah: Pertama, tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia. LJD menekankan “pengorbanan” dalam standar hidup untuk mencapai kesejahteraan bersama, tapi “pengorbanan” tersebut hanya berujung pada kelaparan yang berkepanjangan. Kedua, kurangnya kekuatan makro-ekonomi Tiongkok. Hal ini disebabkan oleh perang di Korea yang merusak kestabilan koordinasi makro-ekonomi Tiongkok dan penolakan Mao terhadap perdagangan bebas.
Utopia Penebusan (1990-an)
Utopia Penembusan merupakan gagasan Wang Hui4 untuk memulihkan kembali Revolusi Mao dalam aspek anti-modern sebagai kritik dari utopia antisipatif Li. Menurut Hang, Utopia Wang merupakan rekonstruksi revolusi Mao sebagai “modernitas yang anti-modernitas kapitalis Barat”. Sebab, RK Mao dapat memerangi kebangkitan neoliberalisme di Tiongkok. Wang ingin mengkritik utopia antisipatif Li yang lebih bersifat emosional dibandingkan logis. Akibatnya, utopia Li runtuh karena kompleksitas modernitas Barat dan ketidaksesuaian antara teori Barat dengan situasi Tiongkok, sehingga Pencerahan Gerakan Empat Mei dan 1980-an (Era Deng) tidak berhasil merangkul agenda modernisasi yang kritis di Tiongkok.
Oleh karena itu, Wang mengajukan utopia penebusan yang bersumber dari rekonstruksi ulang RK Mao. Menurut Wang, ada perbedaan besar antara teori dan praktik dari RK. Apa yang perlu dipertahankan dalam RK adalah teorinya dan meninggalkan praktik sebagai hasil penyimpangan dari politik radikal Mao. Ia menolak pemikiran Li bahwa perjuangan kelas Mao adalah regresi siklus kekerasan, sebaliknya Wang berpendapat bahwa teori politik kelas Mao sebagai upaya revolusioner untuk merumuskan subjektivitas proletar. Bagi Wang, Mao memahami kelas sosial sebagai kategori yang bergerak dan bukan kategori yang kaku, sehingga teorinya menunjukkan peluang untuk mengubah antagonisme kelas menjadi integrasi kelas. RK tidak dimaksudkan untuk memusnahkan musuh kelas, tetapi dirancang untuk mengubah musuh menjadi subyek revolusioner. Dengan kata lain, teori politik kelas Mao penting untuk menghadapi Neo-liberalisme yang telah mendepolitisasi tradisi panjang revolusi Tiongkok.
Pertanyaannya, apa yang dimaksud penebusan dalam utopia Wang? Menurut Wang, Revolusi Tiongkok adalah situs penebusan yang berhasil menghidupkan momen mesianik yang berkedip dalam kehidupan Ah Q5, mengubah hadiah yang tertindas menjadi konsep Benjaminian tentang “saat ini”. Itu berarti, penebusan merupakan proses yang ditandai dengan perjuangan dan kegagalan yang terus-menerus secara ganas, seperti kekuatan penebusan Ah Q yang lemah tidak dapat dicapai dengan mudah. Hal ini membuatnya harus menunggu sampai kesempatan revolusioner datang untuk “meledakkan era tertentu dari jalur sejarah yang homogen.” Wang ingin menyejajarkan teori revolusi Mao dengan Ah Q yang berusaha mencapai revolusi tapi gagal. Namun, kegagalan itu bukanlah akhir yang menandakan teori revolusi buruk. Itu hanya menandakan bahwa teori revolusi masih belum siap untuk dijalankan di masa lalu, dan “mungkin” teori itu dapat terwujud di saat ini.
Menurut Hang, utopia penebusan digunakan oleh pemerintahan Tiongkok (PKT) untuk mengatasi masalah pasca-Tianamen (1989) tentang “Sosialisme dengan Karakteristik Tiongkok”6. Insiden Tianamen (1989) adalah gerakan mahasiswa Beijing di lapangan Tianamen akibat kematian Hu Youbang. Ia merupakan orang yang sadar akan toleransi atas perbedaan pendapat dan seruan untuk Demokrasi Liberal. Lambat laun, peringatan kehidupan Hu berubah menjadi gerakan politik yang spontan oleh mahasiswa untuk menuntut kebebasan dan demokrasi, termasuk masalah sosial ekonomi di Tiongkok.
Utopia Xi Jinping: Impian Tiongkok (Chinese Dream)
Pasca revolusi Mao utopia muncul dari kaum intelektual, karena PKT masih membutuhkan utopia untuk menjaga legitimasi kekuasaannya di Tiongkok. Ini terlihat dari cara utopia pasca revolusi digunakan untuk mengatasi konflik yang ada: Utopia Antisipatif (1980-an) yang berguna untuk transisi politik dari perjuangan kelas Mao menjadi pembangunan ekonomi Deng, dan Utopia Penebusan (1990-an) yang berguna untuk menghadang kemunculan Demokrasi Liberal di Tiongkok, akibat kegagalan “Sosialisme dengan Karakteristik Tiongkok”.
Sekarang penulis akan menguraikan utopia Impian Tiongkok (IT) di era Xi Jinping. Perlu diketahui bahwa IT bukan gagasan asli Xi. Menurut Zhen Sun, IT merupakan peremajaan bangsa yang telah lama menjadi impian rakyat Tiongkok sejak perang Candu (1840), saat bangsa dan peradaban Tiongkok terjerumus ke dalam situasi semi-terjajah. Namun, itu bukan berarti Xi mengambil mentah-mentah konsep IT dari masa lampau. Zhen melihat konotasi IT di era Xi terus bertransformasi sampai pada titik IT menjadi trinitas, ialah: kemakmuran negara, revitalisasi bangsa, dan kebahagiaan rakyat (di mana posisi ketiganya tidak dapat dibalik). Sebab, trinitas yang runut ingin menyatakan bahwa saat negara baik-baik saja, sehingga bangsa dan rakyat dapat berjalan dengan baik. Hal ini berarti bahwa PKT dan rakyat Tiongkok memiliki peran yang harus dijalankan, sehingga kesatuan yang kolektif dapat tercipta dari hubungan antara nasionalisme dengan eksistensi rakyat Tiongkok.
Menurut Zhen, realisasi IT Xi sangat bergantung pada semangat Tiongkok dalam “patriotisme”. Itu berarti, individu harus mengidentifikasi dan menginternalisasikan peran dan tanggung jawab dalam dua cara, ialah: Pertama, IT harus dipahami sebagai kesejahteraan dan kebahagiaan setiap orang Tiongkok, bukan hanya impian bangsa. Kedua, rakyat Tiongkok adalah sarana agar IT dapat benar-benar terwujud. Sebab, IT menuntut perjuangan orang-orang yang rajin dan sungguh-sungguh. Keduanya memperlihatkan “patriotisme” punya sifat progresif yang dapat memastikan PKT dan rakyat Tiongkok harus bekerja sama untuk mencapai IT.
IT Xi merupakan utopia yang bersumber dari utopianisme Mao, khususnya RK. Hal ini terlihat dari penekanan Xi atas konsep “patriotisme” yang mirip dengan konsep “kesukarelaan” Mao. Perbedaannya Xi tidak terburu-buru seperti Mao karena IT hanya merupakan alat propaganda atas harapan akan masa depan, namun belum tentu dapat direalisasikan apabila syarat-syarat mendasarnya tidak terpenuhi, seperti “patriotisme”, kolektivisme, ekonomi, harmoni, dsb. Dengan kata lain, IT merupakan cara Xi (termasuk PKT) untuk melegitimasi kekuasaan mereka di Tiongkok. Jadi, IT adalah utopia yang berguna sebagai harapan akan masa depan yang belum tentu terwujud, tapi dapat melegitimasi kekuasaan PKT di Tiongkok.
Utopia memiliki peran penting untuk PKT sejak era Mao sampai Xi. Era Mao memperlihatkan bagaimana utopia berfungsi sebagai alat propaganda dalam “pengorbanan” dan “kesukarelaan”, sehingga rakyat Tiongkok harus bersatu untuk memerangi kapitalisme Barat. Pasca revolusi Mao utopia mengalami pergeseran makna dari gerakan politis menjadi teori untuk memecahkan masalah di masanya, sehingga kekuasaan PKT tetap terjamin. Ini terlihat dari Utopia Antisipatif yang dimanfaatkan PKT untuk mendukung kebijakan pasar bebas di era Deng, dan Utopia Penebusan yang berusaha mempertahankan jalur pemerintahan tetap sosialis, bukan demokrasi Liberal. Era Xi dalam utopia IT menggunakan propaganda “patriotisme” untuk meyakinkan rakyat Tiongkok bahwa cita-cita PKT sejalan dengan harapan rakyat.
Sekarang kita tahu bahwa utopia memiliki kelebihan sebagai alat propaganda yang baik untuk PKT, karena utopia dapat memberikan harapan untuk melegitimasi kekuasaan PKT di Tiongkok. Masalahnya utopia bukanlah konsep sempurna yang bebas dari kelemahan. Penulis ingin mengajukan dua kelemahan utopia, ialah:
Pertama, utopia merupakan ideologi murni sebagai harapan yang tidak seharusnya direalisasikan. Saat utopia berusaha direalisasikan seperti sifat alami manusia dalam keserakahan dan pengorbanan, maka utopia semacam itu hanya akan menjadi gagasan utopis dalam ideologi murni. Menurut Manicas, “Apa yang utopis adalah asumsi bahwa keserakahan itu baik untuk semua orang , karena dapat melahirkan asumsi bahwa ketika dilepaskan di “pasar bebas”, hasilnya adalah “harmoni” yang menakjubkan. Tentu saja tidak ada “harmoni”, karena hal itu tidak ada, dan tidak akan pernah menjadi “pasar bebas” (dalam pengertian yang diperlukan).” Itu berarti utopia hanya akan selalu menjadi harapan untuk mencapai suatu tujuan, tetapi harapan itu tidak sama dengan kenyataan yang ada. Sifat alami manusia yang sangat kompleks dan individual, tidak dapat mengubah seorang individu menjadi manusia kolektif secara utuh. Kehendak individu akan selalu membayangi kehendak kolektif, sehingga persatuan itu cepat atau lambat akan runtuh dengan sendirinya. Hal ini terlihat dari konsep utopia di Tiongkok yang terus bertransformasi sesuai dengan kebutuhan di masanya.
Kedua, utopia tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah konkret yang bersifat kebutuhan dasar manusia di saat ini. Menurut Franz Magnis-Suseno, “Lawan utopisme bukan pertama-tama egoisme sempit –yang dalam semua budaya tradisional selalu dicela— melainkan sesuatu yang positif, yang justru menjadi ciri kemanusiaan yang sejati, ialah kepedulian terhadap keselamatan dan penghapusan ketidakadilan dalam lingkungan konkret.” Di sini, terlihat masalah dari utopia bukan hanya berasal dari sifat buruk manusia, tapi juga sifat baik manusia yang terkait dengan kesejahteraan manusia di saat ini. Utopia memang baik untuk menentukan tujuan politik di masa depan. Namun, utopia tidak boleh dijadikan alat pembenaran yang membuat rakyat menderita demi angan-angan semata. Pemerintah tidak seharusnya berlindung dalam utopia untuk menjaga legitimasi kekuasaannya, dan mengabaikan masalah-masalah konkret yang ada.
Abida Barakhiel
Mahasiswa Pasca Sarjana/Magister Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (STFD).
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.
Catatan
- Kata utopi, Yunani ‘utopia’, secara harfiah berarti “tempat yang tidak di mana-mana”. Paham utopi dipopulerkan oleh Thomas More dalam bukunya yang termasyhur “Tentang keadaan negara terbaik dan tentang pulau baru Utopia”. (Magnis-Suseno 2013, 151)
- Menurut Partai Komunis Tiongkok, “komunisme adalah kondisi ideal di mana orang-orang Tiongkok tidak hanya akan menikmati kelimpahan materi, tetapi juga hidup dalam masyarakat yang sempurna, demokratis, harmonis, mandiri, termasuk bebas dari kelas sosial, eksploitasi, dan perang.” (Mühlhahn 2019, 354)
- Menurut Kingsley Edney, propaganda dalam komunisme pertama kali ditekankan oleh Lenin. Propaganda berperan untuk membangkitkan kesadaran kelas proletariat dan mendidik anggota partai tentang paham komunisme. Selain itu, istilah Tiongkok untuk propaganda memiliki konotasi yang sebagian besar netral dan bahkan membawa konotasi positif dalam wacana resmi, bukan “pernyataan persuasif yang tidak saya sukai”. (Edney 2014, 22-23)
- Wang Hui (lahir 1959), seorang Marxist dan pemimpin terkemuka neo-Kiri Tiongkok, berkomitmen untuk merevitalisasi revolusi Mao dalam utopia penebusan. Ia meminjam banyak dari berbagai pemikir antimodern dari Lu Xun hingga Carl Schmitt. (Tu 2020, 100)
- Kisah Nyata Ah Q adalah novel klasik Lu Xun yang menggambarkan lingkaran setan aspirasi revolusioner secara terus-menerus yang digagalkan oleh tradisi feodal yang mengakar di pedesaan Tiongkok. (Tu 2020, 109)
- Menurut Mühlhahn, “Sosialisme dengan Karakteristik Tiongkok” merupakan perluasan agenda ideologis Deng untuk mengejar perluasan pasar, termasuk meluncurkan reformasi komperhensif di bidang industri, perdagangan, ilmu pengetahuan dan pendidikan. Pada saat yang sama mempertahankan aturan partai dan kesetiaan pada nilai-nilai sosialis. (Mühlhahn 2019, 502)