Umumnya, pembicaraan tentang filsafat politik Kristen lebih banyak diwarnai dengan pandangan para filsuf seperti Agustinus dan Thomas Aquinas. Padahal pada permulaan abad dua puluh, di Negeri Belanda seorang teolog Protestan dari tradisi Calvinis berhasil menduduki jabatan sebagai Perdana Menteri Belanda, yang menjabat dari tahun 1901-1905. Perdana Menteri tersebut bernama Abraham Kuyper (1837-1920). Pemikiran Kuyper tentang filsafat politik Kristen tidak tidak kalah penting, hanya saja kurang mendapat perhatian. Padahal, tulisan-tulisan Kuyper cukup lazim digunakan sebagai bacaan para pemikir politik dan politisi, termasuk dibaca oleh pendiri Bangsa Indonesia. Sebagai contoh Bung Karno pernah mengutip Kuyper dalam pledoinya yang sangat fenomenal berjudul “Indonesia Menggugat”.
Artikel singkat ini akan memberikan sedikit ringkasan dan gambaran tentang bagaimana sumbangsih pemikiran Kuyper dalam filsafat politik Kristen. Telaah terhadap pemikiran Kuyper tidak hanya memungkinkan kita memahami bagaimana kaitan Kekristenan dengan politik dan bagaimana seharusnya orang Kristen terlibat dalam politik. Lebih dalam dari itu, Kuyper pun menyajikan pola hubungan agama-negara, yang masih relevan di abad kedua puluh satu ini.
“Sphere Sovereignty”
Ide dasar Kuyper yang nantinya juga memengaruhi filsafat politiknya dapat disimpulkan dalam konsep yang diberi istilah Sphere Sovereignty. Sphere Sovereignty diperkenalkan oleh Kuyper dalam pidato pembukaan Vrije Universiteit (Free University) di Amsterdam pada 20 Oktober 1880. Istilah tersebut merupakan terjemahan dari istilah dalam Bahasa Belanda: soevereiniteit in eigen kring. Cukup sulit menerjemahkan istilah tersebut ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga dalam artikel ini, istilah Sphere Sovereignty tetap dipertahankan.
Mendefinisikan sphere bukanlah merupakan hal yang mudah. Secara umum, sphere memang dapat diartikan sebagai lingkup, cakupan, atau ranah. Namun, pengertian tersebut masih sangat terbatas untuk merujuk pada apa yang dimaksud oleh Kuyper dengan kata sphere dalam konsep Sphere Sovereignty. Istilah sphere dapat kita definisikan sebagai tempat di mana terjadinya berbagai macam interaksi dan tempat di mana beberapa jenis otoritas secara khusus dijalankan(Mouw, 2011). Berdasarkan definisi tersebut, maka sphere merujuk pada berbagai segi kehidupan manusia, termasuk tetapi tidak terbatas pada: keluarga, ekonomi, seni, pendidikan, agama, dan politik.
Dengan Sphere Sovereignty, Kuyper memaksudkan bahwa masing-masing sphere mempunyai hukum-hukumnya sendiri dan beroperasi secara mandiri. Masing-masing sphere bebas dari dominasi sphere yang lainnya, tetapi pada saat yang bersamaan, masing-masing sphere tetap terhubung satu sama lain (Un, 2020). Bagi Kuyper, dasar dari Sphere Sovereignty adalah teologi penciptaan di mana Allah menciptakan alam semesta, khususnya kehidupan manusia, secara sangat kompleks. Kuyper mengatakan bahwa kehidupan manusia itu “neither simple nor uniform but constitutes an infinitely complex organism” (tidaklah sederhana dan seragam, tetapi membentuk suatu organisme yang kompleks) (Kuyper, 1998).
Kuyper membedakan antara Sphere Sovereignty yang dimiliki oleh berbagai aspek kehidupan manusia dan Absolute Sovereignty yang hanya dimiliki oleh Tuhan, Sang Pencipta. Masing-masing sphere diciptakan dan memperoleh kedaulatannya (Sovereignty) dari Sang Pencipta yang mempunyai Absolute Sovereignty (Kuyper, 1998). Dengan demikian, masing-masing sphere tidak boleh memaksakan kedaulatannya kepada sphere yang lain karena hanya Tuhan yang berkuasa di atas semua spheres kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa dalam Sphere Sovereignty, masing-masing sphere mempunyai dependant-sovereignty (kedaulatan yang dependen). Kedaulatan ini bersifat dependen karena tidak berasal dan berada dalam dirinya sendiri, melainkan diberikan oleh Sang Pencipta dan berakar di dalam karya penciptaan Tuhan.
Pandangan Ketiga
Jika menelisik perkembangan filsafat pemikiran Kristen dari masa ke masa, khususnya berkaitan dengan hubungan antara agama (gereja) dan negara (politik), maka dapat disimpulkan adanya 2 (dua) ekstrem besar, yaitu:
- Identifikasi agama dan negara: Ekstrim yang pertama ini lazim dipraktikan pada Abad Pertengahan. Dalam sistem semacam ini, cenderung tidak ada pemisahan antara agama (gereja) dan negara (sistem politik). Negara cenderung menjadi subordinasi institusi gereja. Dalam konsep ini dikenal bentuk gereja negara. Konsep ini dapat ditelusuri sejak era Kaisar Konstantin yang menjadi Kaisar Romawi pertama yang memeluk agama Kristen, sehingga ekstrim yang satu ini juga disebut sebagai Konstantinianisme (Mouw, 2011).
- Separasi agama dan negara: Pada ekstrim yang kedua ini, terjadi pemisahan antara agama dan negara. Ekstrim kedua ini pun dapat dibagi lagi menjadi dua. Pertama,apa yang disebut sebagai sekularisasi sebagaimana dipraktikkan dalam Revolusi Prancis. Dalam sekularisasi, anasir-anasir agama dan religius dipisahkan jauh dari kehidupan publik, termasuk sistem politik. Kuyper sendiri mengekspresikan pertentangannya secara tegas dengan semangat sekularisme yang dibawa oleh Revolusi Prancis, sehingga pada saat ia mendirikan partai politik, partai politik tersebut diberi nama Anti-Revolutie. Revolutie di sini, tidak lain dan tidak bukan, mengacu pada Revolusi Prancis (Mouw, 2011).
Variasi Kedua dari ekstrim ini adalah dengan menarik diri dari kehidupan publik dan hanya berfokus pada aspek spiritualitas. Agama dan negara dipisahkan dengan cara mengharamkan penganutnya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan publik dan kenegaraan, termasuk di dalamnya mengharamkan keikutsertaan dalam dinas kemiliteran, peperangan, dan sebagainya. Konsep ini ditemukan dipraktikan dalam kelompok Anabaptis yang muncul dalam rentang waktu yang bersamaan dengan munculnya Protestantisme.
Sphere Sovereignty yang dikemukakan oleh Kuyper memberikan alternatif dari kedua ekstrim tersebut. Pertama-tama, Sphere Sovereignty menolak ekstrim pertama di mana negara dan agama diidentikan dan bahkan negara cenderung menjadi subordinasi gereja. Jika kondisi yang demikian terjadi, maka terjadi pelanggaran terhadap Sphere Sovereignty di mana sphere Agama mencoba memaksakan kedaulatannya terhadap sphere politik dan kenegaraan. Pada sisi yang lain, Sphere Sovereignty juga menolak ekstrim kedua di mana kehidupan politik dan kenegaraan dipisahkan sejauh-jauhnya dari agama seolah-olah keduanya tidak terhubung sama sekali. Bagi Kuyper, politik dan kenegaraan yang secara murni bebas dari anasir-anasir agama, sebagaimana dipropagandakan oleh Revolusi Prancis, adalah suatu kemustahilan dan tidak realistis (Intan, 2020).
Apa yang ditawarkan oleh Kuyper melalui Sphere Sovereignty-nya merupakan pandangan ketiga sekaligus alternatif dari kedua ekstrim yang saling bertentangan ini. Negara dan agama, masing-masing, hanyalah dua dari sekian banyak spheres yang diciptakan dan mempunyai kedaulatan yang berasal dari Sang Pencipta. Masing-masing sphere mempunyai kedudukan yang setara dan tidak ada satu sphere berada di atas sphere yang lain. Setiap sphere berada di bawah kedaulatan Allah yang adalah mempunyai the Absolute Sovereignty.
Lebih lanjut, segala bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan muncul ketika sphere yang satu mencoba memaksakan dominasinya kepada sphere yang lain. Atau istilah yang digunakan oleh Mouw adalah mengaburkan (blurring) batasan masing-masing sphere (Mouw, 2011). Sebagai contoh, nepotisme terjadi jika orang cenderung memaksakan sphere keluarga kepada sphere bisnis; kapitalisme dalam politik terjadi karena orang memaksakan sphere ekonomi kepada sphere politik; dan sebagainya. Gagasan Sphere Sovereignty yang dikemukakan oleh Kuyper dapat juga diaplikasikan pada pola interaksi antara berbagai aspek kehidupan manusia, seperti interaksi negara dan ekonomi, seni, pendidikan, dan seterusnya.
Menimbang Posisi Pemerintah dan Pentingnya Konstitusi
Pertanyaan berikutnya adalah: di mana dan bagaimana peran Pemerintah dalam konsep Sphere Sovereignty? Sebagaimana telah disebutkan di atas, pemerintah berkewajiban menjaga dan melindungi berbagai spheres yang ada sambil tetap menjaga agar dirinya tidak memaksakan kedaulatannya terhadap spheres yang ada. Mouw (2011), menggunakan terminologi dalam pertandingan olah raga, dengan tepat mengibaratkan pemerintah sebagai wasit dan bukan sebagai pelatih atau pemandu sorak. Sebagai wasit, pemerintah perlu memastikan masing-masing spheres menjalankan fungsinya dengan berpegang pada keadilan.
Kendati demikian, Kuyper tetap berpendapat bahwa pemerintah, dalam keadaan tertentu, dapat masuk ke dalam spheres yang ada dengan kekuatan yang dimilikinya agar:
- Setiap sphere menghormati batasannya masing-masing termasuk saat sedang terjadi konflik;
- Kelompok rentan dalam setiap sphere mendapatkan perlindungan; dan
- Masing-masing sphere turut berkontribusi baik secara personal maupun finansial dalam menjaga kesatuan negara (Kuyper, 1999).
Singkatnya, pemerintah diperlukan untuk menjaga agar Sphere Sovereignty dapat berjalan dengan baik di mana masing-masing sphere tetap pada porosnya dan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan di dalamnya (Un, 2020).
Dalam hal inilah Kuyper melihat relevansi sebuah konstitusi. Kuyper (1999) mengatakan bahwa di dalam konstitusi terjadi kerjasama antara pemerintah dengan kedaulatannya dan spheres lain yang masing-masing mempunyai kedaulatan tersendiri. Konstitusi berfungsi untuk mencegah terjadi abuse of power oleh pemerintah terhadap berbagai spheres yang ada. Dengan demikian, dapat dikatakan juga bahwa konsep Sphere Sovereignty berkaitan erat dengan gagasan konstitusionalisme yang memandang perlunya pembatasan kekuasaan melalui sebuah konstitusi tertulis.
Keimanan di Ranah Publik: Aspek Kini dan Nanti
Pada bagian akhir ini, penting untuk ditekankan bahwa Sphere Sovereignty juga berkaitan dengan cara bagaimana meletakan posisi teologis seseorang dan sikap politisnya dalam ranah publik. Kuyper sangat berhati-hati dalam melakukan pembedaan antara aspek kini dan nanti. Sebagai seorang penganut Kristiani, tentunya ia mendasarkan moralitas pada etika Kristen. Namun, Kuyper menyadari bahwa dalam suatu ranah publik yang begitu plural tidaklah mungkin ia memaksakan berlakunya etika Kristen secara total dalam kehidupan masyarakat.
Untuk itu, Kuyper dengan cermat membedakan antara apa yang harus berlaku sekarang dan nanti.Dalam masyarakat yang plural sekarang ini, seseorang—terutama yang memegang jabatan sebagai pemerintah—tidak dapat memaksakan agar keyakinan teologisnya diberlakukan. Berkaitan dengan fungsi pemerintah sebagai wasit, maka pemerintah mempunyai kewajiban menunjukan imparsialitasnya kepada semua pihak, termasuk kepada mereka yang beragama maupun tidak dan mereka yang bermoral maupun tidak bermoral seturut dengan hukum dan konstitusi.
Bagi Kuyper, keyakinan teologis harus dikaitkan dengan visi eskatologis. Sebagai seorang penganut agama Kristen, Kuyper tetap mempunyai harapan bahwa apa yang dianggapnya sebagai kesalahan dan kejahatan, pada akhirnya akan kalah dan kebenaran akan menang. Dengan sangat cermat ia menekankan bahwa apa yang dipercayainya ini baru akan terjadi kelak pada saat hari penghakiman (the last day). Pada saat itu, Kuyper (1998) mengatakan bahwa pada akhirnya, semua kedaulatan akan kembalikepada Tuhan. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari eskatologi Kristen yang dipercayainya.
Jika ditarik dari segi politis, maka bagi Kuyper, filsafat politik Kristen tidaklah ditujukan untuk merebut kehidupan sosial yang ada dan mendirikan suatu Kerajaan/Negara Kristen di atasnya, di mana dalam Kerajaan/Negara Kristen tersebut seluruh ajaran Kristen diberlakukan secara ketat dan tepat. Filsafat politik Kuyper justru menekankan pentingnya menjaga tatanan yang terdiri dari beragam spheres dengan tetap berpegang pada hukum dan konstitusi. Sembari menjalankan fungsi politik Kristen tersebut, penganutnya dilandasi keyakinan eskatologis bahwa pada akhirnya segala kedaulatan akan kembali sepenuhnya kepada Tuhan yang daripada-Nya segala bentuk kedaulatan berasal.
Pandangan Kuyper ini akan sangat relevan terutama di abad dua puluh satu ini di mana masyarakat sudah semakin plural. Jika pemerintah dijabat oleh kaum agamawan, maka pemerintah tidak boleh memaksakan aspek privat dari keyakinan teologisnya kepada masyarakat, sepanjang keyakinan teologis tersebut tidak diserap menjadi sumber hukum positif. Hukum dan konstitusi harus tetap menjadi pedoman dalam bernegara dan bukan ukuran moralitas agama yang sifatnya personal.
- Michael Nicola Prayoga#molongui-disabled-link