Kelihatannya, firman Tuhan dalam Injil Matius dan Lukas tersebut sangat karib kita dapati dari Kitab Suci agama-agama, terutama Islam. Wejangan sang Juru Selamat itu begitu aktual hingga seolah-olah Yesus bertutur hari ini, dalam konteks zaman ini, bukan lebih dari dua milenium silam. Apa yang kita perlu cermati adalah bahwa agama memiliki ajaran cinta-kasih universal. Bagaimana ujar-ujar ini bisa diuji kebenarannya?
Perlu diketahui bahwa agama tak lain adalah keseharian kita, fitrah dan segala kemanusiaan kita. Makan-minum, berumah tangga, jual-beli, bekerja sama, menghormati yang tua, menyayangi yang muda, memuliakan yang berbeda, bertetangga, bermasyarakat adalah keseharian dan fitrah manusia yang seandainya agama tidak pernah ada, manusia akan tetap melakukan itu semua.
Agama lantas melegitimasi dan memberi pahala di dunia dan akhirat. Ini sekali lagi mempertegas bahwa agama itu mudah dan tidak memberatkan umatnya. Tuhan sangat manusiawi dan Maha pengertian. Hanya saja, ada orang-orang “cuti nalar” dan “tuna pustaka” yang mempersulit diri juga agamanya dengan dalih meraih ridho Tuhan. Bahkan, jika kaum “defisit otak” itu marah dan membenci, mereka merasa Tuhan dan Nabi juga sedang mendukung kemarahan dan kebencian mereka. Bisakah membuat Tuhan senang dengan menyakiti sesama manusia? Bisakah membuat Tuhan ridho tanpa mengenalNya?
Pola sikap adalah cermin dari pola pikir. Tindakan adalah pikiran yang bergerak. Oleh karena itu, cara pandang seseorang terhadap agama dan teologinya akan berpengaruh terhadap perilaku kesehariannya, baik dalam beragama maupun bernegara.
Jika pandangan keagamaan seseorang cenderung eksklusif (sumbu pendek, pentol korek, defisit otak, cuti nalar, bani micin, tuna pustaka dan otak cingkrang), maka ia secara serampangan akan mengumbar kata-kata kafir dan memvonis jahanam kepada apa dan siapa pun di luar diri dan kelompoknya. Sebaliknya, jika kacamata seseorang inklusif dan pluralis, ia akan menerima segala perbedaan sebagai satu kemesraan dan keindahan. Bisakah manusia memiliki demokrasi tanpa kebebasan beragama? Bukankah Tuhan memang menghasrati kita berbeda? Bukankah Tuhan memang Maha Berbeda?
Gereja menyadari bahwa perbedaan adalah satu keniscayaan. Maka, segala bentuk penyeragaman hanya akan menciderai sesama dan menoreh luka pada umat manusia. Cepat atau sangat cepat, sikap tertutup akan tergilas oleh waktu. Pandangan paling ekspresif dari keterbukaan Gereja nyata terlihat dalam dokumen Konsili Vatikan II mengenai “Deklarasi tentang Hubungan Gereja dan Agama-agama non-Kristen” (Nostra Aet-ate) yang mempengaruhi seluruh komunitas Katholik—paling tidak—sejak 1965 hingga kini.
Kelak, teolog Katholik terbesar abad 20, Karl Rahner (1904-1984) dalam bukunya, Theological Investigations setebal 20 jilid membahas dengan bernas bagaimana nasib (di akhirat) orang-orang yang hidup sebelum karya penyelamatan Yesus hadir, atau umat manusia yang hidup setelahnya akan tetapi belum pernah tersentuh Injil?
Karl Rahner membuat Gereja merevisi pandangannya perihal extra ecclesiam nulla salus (di luar Gereja, tidak ada keselamatan) dan extra ecclesiam nullus propheta (di luar Gereja, tidak ada Nabi) yang pernah dikukuhkan dalam konsili (muktamar) Florence 1442.
Dalam pandangan Rahner, sangat mungkin menemukan karunia Yesus dari semua agama tanpa harus menjadi Kristen terlebih dahulu. Inilah yang kemudian disebutnya sebagai Kristen tak Bernama (anonymous Christian). Bagi Rahner, umat Kristiani bukan hanya bisa, tetapi bahkan harus menganggap agama-agama non-Kristen sebagai “sah” dan merupakan “jalan keselamatan” karena Allah memang menganugerahkan cinta-kasihNya secara universal. Benar, bahwa keselamatan ada dalam Yesus Kristus, namun Gereja tidak boleh mengutuk agama lain sebagai palsu dan tidak mempunyai keselamatan.
Meskipun tak sesempurna otoritas Gereja, keselamatan melalui Kristus pun ada dalam semua agama tanpa menggunakan nama Kristus, Rahner menggunakan istilah Kristus tak Bernama (Anonymous Christ). Itu artinya, Yesus tetap menjadi norma di mana kebenaran dan keselamatan berada dan sangat mungkin diperoleh bahkan di luar agama Kristen secara formal. Sehingga, umat agama lain tidak harus secara eksplisit menjadi Kristiani untuk sampai pada kebenaran dan memperoleh keselamatan.
Berdasarkan pandangan itu, penganut agama-agama di luar kekristenan bisa lebih kristiani dari pada yang beragama Kristen secara legal formal, tak menutup kemungkinan, secara moral, yang di luar Gereja bisa lebih saleh dari pada yang di dalam Gereja, karena boleh jadi, berlama-lama di Gereja dan tempat ibadah lainnya, justru hanya “pelarian spiritual” karena enggan terlibat dalam kehidupan sosial dan memanusiakan manusia.
Simpulannya adalah, keselamatan universal, secara ontologis berdasarkan tindakan kreatif Allah dan secara historis dihadirkan dalam peristiwa Yesus. Pada akhirnya, kristosentrisme mengarah pada teosentrisme, yakni mengalihkan perhatian dari “keunikan” Yesus menuju “universalitas” Allah.
Dalam perbincangan kali ini, Rahner tidak sendirian. Adalah Louis Barkhof dengan “common grace“-nya, mendiang Nurcholish Madjid dengan “al-Islam”-nya, Franz Magnis-Suseno dengan “iman inklusif”-nya, juga alm. Gus Dur dengan pluralismenya. Pandangan mereka lah yang membuat kita harus memiliki keinsyafan mendasar bahwa antara kebenaran final wahyu di satu sisi dan ketakselesaian akal untuk terus mencari di sisi lain adalah bukan sesuatu yang harus dibenturkan dan lantas saling menyobek. Akal adalah co-work wahyu dalam menyelenggarakan harmoni kehidupan.
Saran terbaiknya adalah: sebelum Anda belajar tentang Tuhan dan agama, terlebih dahulu belajarlah tentang manusia dan kemanusiaan, agar kelak ketika Anda membela Tuhan dan agama, Anda tidak lupa bahwa Anda manusia. Anda bukan Tuhan yang punya otoritas benar-salah dan mengkafirkan yang berbeda. Tak perlu menyalahkan orang lain, biarkan mereka riang gembira dengan warna mereka masing-masing. Inilah konsep memanusiakan manusia dan cinta universal sebagaimana tertulis dalam Peradaban Sarung.
Selamat Merayakan Natal dan tahun baru 2019 untuk saudara-sauaraku umat Kristiani di seluruh dunia, semoga kelahiran dan keluhuran Yesus akan menginspirasi seluruh anak bangsa ini untuk lebih damai, bangkit, maju dan berjaya dengan merayakan perbedaan.
Anda yang muslim tidak lantas menjadi kristen hanya dengan mengucapkan selamat Natal, sebab untuk menjadi umat Kristiani, Anda harus dibaptis. Hanya orang-orang yang kesurupan Abu Jahal dan kerasukan Abu Lahab yang menyamakan ucapan selamat Natal dengan syahadat dalam Islam.
Nah, untuk kalian yang masih berdebat soal hukum boleh-tidaknya mengucapkan selamat Natal, selamat menghabiskan energi untuk terus berdebat sampai mati. Memang, tak butuh kreatifitas tingkat tinggi untuk membenci!
Salam Takzim, semoga bahagia dan mulia.
Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan menjabat sebagai Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Al-Farabi Malang. Penulis buku Peradaban Sarung (2018) dan Kondom Gergaji (2018).
- 01/01/2019
- 16/02/2019
- 26/03/2019
satu Respon
Refleksi yang menyejukkan. Wajib dibaca semua orang. Karena memperkenalkan Rahner pun pada kalangan Kristen pun akan mudah menyulut pertentangan antara nalar dan iman.
Trimakasih gu Dhofir