Argumen bagi Kemendasaran Wujud

Kuiditas hanya memiliki realitas subjektif yakni dalam pikiran manusia.
Guernica karya Pablo Picasso
Guernica karya Pablo Picasso

Persoalan yang mendasar antara wujud atau kuiditas merupakan persoalan krusial dalam filsafat Islam. Jawaban atas diskursus ini bisa berimplikasi pada berbagai tema-tema penting lain seperti gerak atau perubahan (gerak substansi), cara manusia mengetahui (epistemologi) hingga bahkan pengesaan kepada Dzat Tuhan (tauhid). Sebab itu penting untuk memiliki posisi yang tepat dalam perdebatan ini.

Tulisan ini akan mengulas salah satu argumen yang menyatakan bahwa wujud itulah dasar bagi realitas objektif, bukan kuiditas. Argumen ini berbasis pada kombinasi antara dua hal, abstraksi atas adaan-adaan serta hakikat dari wujud dan esensi itu sendiri. Di sini akan terungkap bahwa abstraksi atas segala entitas akan berakhir kepada wujud, dan bahwa esensi itu tidak memiliki eksistensi secara mandiri.

Abstraksi

Abstraksi adalah tindakan untuk menangkap persamaan-persamaan pada sesuatu sembari mengelupas perbedaan-perbedaan di antara mereka. Abstraksi adalah proses olah pikiran yang ditujukan kepada segala hal: baik sesuatu yang memang ada di realitas luar maupun apa yang ada pada realitas mental. Apapun yang diabstraksi, pada akhirnya ia akan menjadi objek pikiran.

Objek pikiran itu disebut dengan ma’qulat atau intelligible. Apabila ia diabstraksi langsung dari adaan-adaan di realitas eksternal, ia disebut objek pikiran kuiditatif. Sedangkan apabila objek pikiran pertama atau kuiditatif itu diabstraksi kembali maka ia akan menjadi objek pikiran kedua yang dibagi menjadi objek pikiran filosofis dan logis. Kita akan membahas objek pikiran kuiditatif terlebih dahulu.

Katakan, kita melihat sebuah buku tulis di atas meja, sebongkah batu di bawah pohon serta sekantong beras di sudut kamar. Semua adaan yang partikular atau individual itu bisa kita abstraksi dalam dua aspek. Aspek pertama adaan itu diabstraksi dengan adaan lain yang memiliki keserupaan. Misal buku tulis diabstraksi bersama kitab, buku diktat, buku gambar dan sebagainya. 

Apa hasil dari abstraksi itu? Bisa bermacam-macam. Seseorang bisa menghasilkan pemaknaan ‘kumpulan atau himpunan dari kertas berbentuk persegi yang direkat dengan lem di satu sisi’. Yang lain boleh jadi menghasilkan ‘suatu alat belajar yang digunakan untuk menulis atau menggambar’. Ada pula yang mungkin mengatakan ‘benda untuk mencatat pikiran manusia ke dalam objek dua dimensi’. 

Kuiditas

Hasil abstraksi itu tidak lain adalah kuiditas atau ‘keapaan’. Demikian alasannya mengapa ia disebut objek pikiran kuiditatif. Ketika seseorang bertanya apa buku itu maka jawaban atasnya adalah kuiditas bagi buku. Hal yang sama bisa dilakukan pada berbagai batu di taman atau segala bahan masak di dapur. Tiap-tiap adaan bisa diabstraksi untuk menghasilkan kuiditas.

Sebelum kajian ini dilanjutkan, harus dipahami dulu bahwa kuiditas adalah objek pikiran kedua filosofis. Ia tidak ditangkap langsung dari beberapa kuiditas yang ada di eksternal. Melainkan ia adalah konsep yang diabstraksi dari berbagai konsep-konsep yang muncul di pikiran yang menyatakan esensi atau ‘keapaan’ sekelompok adaan. 

Di alam eksternal, tidak ada kuiditas sebagai individu yang berdiri sendiri dan bisa ditunjuk. Melainkan yang bisa ditunjuk adalah berbagai adaan-adaan yang mana kuiditas itu berlaku secara konseptual pada mereka.

Sebagaimana yang kita saksikan, kuiditas bukan sesuatu yang memiliki realitas secara mandiri. Kuiditas adalah produk pikiran yang tidak lain adalah bentuk atau bayangan dari suatu yang memiliki eksistensi di luar. Satu orang dan yang lain bisa berbeda pemahaman mengenai kuiditas sesuatu. Sebab, pikiran mereka menginterpretasi kuiditas berdasar pengetahuan, pengalaman dan mungkin emosi atau perasaan mereka.

Sampai disini mungkin seseorang bertanya: atas dasar apa berbagai adaan dikelompokkan bersama dan diabstraksi? Boleh jadi dijawab bahwa mereka dikelompokkan atas dasar kesamaan di antara mereka. Namun kemudian, dalam contoh tadi mengapa buku tulis harus dikelompokkan dengan buku gambar, buku diktat dan kitab? 

Kenapa buku tulis tidak dikelompokkan bersama pensil, tas sekolah dan penggaris? Mengapa buku gambar tidak dikumpulkan dan dianalisa bersama krayon dan atau kanvas? Juga mengapa diktat kuliah tidak dikategorikan bersama laptop dan proyektor? Bukankah perbedaan kelompok akan menghasilkan perbedaan esensi pula? Sulit dikatakan bahwa ada standar yang objektif dalam pengelompokan itu.

Meski kemudian, apakah ada pengelompokan yang objektif? Maksudnya, mungkinkah ada satu hal yang ada pada setiap adaan-adaan itu terlepas dari kategorisasi yang secara subjektif manusia ciptakan? Bahkan kita bisa bertanya lebih jauh: adakah sesuatu yang di luar sana, yang bebas dari pikiran manusia namun ia juga ada pada setiap adaan-adaan partikular?

Wujud

Dari sini kita bisa melakukan abstraksi pada aspek lain. Ketimbang mengungkap ‘keapaan’ atau kuiditas sesuatu secara subjektif, kita dapat mengabstraksi segala macam adaan-adaan yang partikular itu bersamaan tanpa mempedulikan segi ‘keapaan’. Hasilnya tidak lain adalah sesuatu yang paling sederhana namun secara paradoks adalah yang paling penting: dialah wujud.

Wujud adalah sesuatu yang paling general. Tidak salah bila kemudian Aristoteles mengungkapkan bahwa puncak dari abstraksi atas sesuatu yang paling murni tidak lain adalah wujud. Berbagai adaan yang partikular memiliki wujud, dan ketika komponen kuiditas yang berdasar tinjauan pikiran membedakan satu adaan dengan yang lain dikelupas, maka yang tersisa tiada lain selain wujud.  

Beberapa filsuf menyatakan bahwa secara badihi atau aksiomatis, kebenaran dari pernyataan wujud sebagai yang paling mendasar dibanding kuiditas bisa kita rasakan. Bahkan, melalui logika paling sederhana hal ini bisa segera dibuktikan. Bahwa mustahil kita membicarakan suatu adaan, entah itu buku tulis, batu atau beras jika kita tidak mempredikasi wujud pada mereka. 

Namun yang sebaliknya terjadi pada kuiditas. Kita bisa menolak kuiditas suatu adaan dengan menyatakan ia adalah yang lain (kuiditas lain) dan menyangkal keberadaan dari kuiditas itu di realitas objektif. Penolakan kuiditas sebagai sesuatu yang memiliki realitas objektif segera kita maklumi mengingat sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, kuiditas itu ada dalam pikiran subjektif manusia.

Pun tidak masalah jika kita mengatakan kuiditas adalah ketiadaan. Sebab, kuiditas adalah sekedar konsep pikiran yang dia tidak selalu atau harus memiliki eksistensi di realitas. Artinya, kalaupun dikatakan kuiditas itu adalah ketiadaan maka kita tidak mengalami kontradiksi apapun. Sebaliknya jika kita mengatakan wujud adalah ketiadaan maka kita sedang menyatakan dua hal berkontradiksi sebagai sama. 

Perlu dipahami bahwa sama seperti kuiditas, wujud adalah juga objek pikiran kedua filosofis. Namun, selain punya konsep di pikiran, wujud juga memiliki referen di realitas objektif yakni pada setiap adaan-adaan. Adapun kuiditas itu hanya ada di dalam pikiran sebagai konsep-konsep, namun ia tidak memiliki referen mandiri di realitas objektif sebagaimana wujud. 

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal pokok. Bahwa kuiditas hanya memiliki realitas subjektif yakni dalam pikiran manusia. Hal ini berbeda dengan wujud yang memiliki realitas objektif dan bahkan memberi eksistensi kepada segala adaan-adaan. Dengan kata lain, kuiditas hanyalah suatu kerangka yang muncul dalam pikiran manusia yang berfungsi untuk memahami batasan berbagai wujud di realitas objektif.

Ahmad Amin Sulaiman

Menulis buku-buku filsafat Pedagogi Kritis. Pernah mendapatkan beasiswa untuk Master Psikologi Kognitif di Flinders University, serta Magister Filsafat Islam di Sadra. Sehari-hari, mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content