fbpx

BTS Meal, Konformitas, dan Kebebasan

Stigma sosial yang melekat pada penggemar K-POP tidak sepenuhnya bisa dibenarkan karena memang yang ditawarkan K-POP itu berkualitas dan sesuai dengan tuntutan zaman. Mereka tidak hanya menampilkan hal-hal indah, tetapi juga mendorong gerakan sosial-kemanusiaan.
BTS, Boyband asal Korea Selatan

Demam Korea kini melanda dunia. Di Indonesia demam Korea hampir menyentuh semua kalangan, khususnya orang muda. Salah satu bukti paling menarik dan aktual adalah tanggal 9 Juni 2021 lalu, ketika kerumunan pembeli BTS Meal memenuhi gerai-gerai McDonald’s. Peristiwa tersebut lantas menjadi trending topik di berbagai media.

Grup band asal Korea Selatan, Bangtan Boys (BTS) ini berkolaborasi dengan waralaba cepat saji kelas dunia McDonald’s untuk menghadirkan menu makanan edisi khusus BTS. Program ini digelar secara masif hingga 50 negara di seluruh dunia.  Bila dicermati, isi makanan itu sama saja dengan paket McDonald’s yang biasa. Yang menjadi pembeda adalah saus Korea dan kemasannya yang menampilkan logo BTS. Indonesia menjadi salah satu negara paling heboh dalam menyambut peristiwa ini.[1]

Sejarah Singkat Perkembangan Budaya Korea dan Pengaruhnya

Beberapa dekade belakangan, budaya Korea Selatan mulai menguasai Asia bahkan dunia.[2] Menurut Jungsoo Kim dalam tulisannya berjudul Success without Design: Hallyu (Korean Wave) and Its Implication for Cultural Policy (Universitas Korea Selatan 2016), yang diolah Litbang Kompas,[3] ditemukan Lima Faktor Kunci Kesuksesan Gelombang Korea atau Hallyu. Yang pertama adalah faktor internal. Hingga tahun 1980-an, musik global telah membanjiri Korea, utamanya musik dan radio AS. Pada tahun 1960-an drama Korea mulai diproduksi dan mendapat kritik. Setelah melakukan berbagai percobaan dan eksperimen mulai dari metode dan konten, akhirnya bisnis hiburan menjadi populer. BTS adalah satu banding jutaan buah dari proses panjang itu.

Faktor kedua adalah individu. Pengusaha lokal berperan besar dalam memperkenalkan musik pop Korea, diawali dengan promosi ke Cina dan negara Asia lainnya. Besarnya pengaruh K-Pop membuat mereka bisa meraup keuntungan yang tidak kecil sehingga berbagai perusahaan Eropa dan Amerika mau berkolaborasi dengan mereka.

Faktor ketiga adalah teknologi. Kemajuan teknologi dan ekspansi jaringan global membantu Korea memperkenalkan budayanya, melalui blog, dan media sosial. Media massa, surat kabar,  televisi, dan media sosial berperan besar mengenalkan budaya Korea, dalam hal ini K-Pop ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Faktor keempat adalah kebijakan pemerintah. Pemerintah Korea mendirikan Biro Industri Budaya di Lingkungan Kementerian Kebudayaan tahun 1995. Mereka memfasilitasi promosi budaya Korea ke dunia melalui pameran musik internasional, menginvestasikan pembuatan CD promosi dan pamflet, dsb. Dampaknya band-band K-pop seperti BTS menjadi boyband Asia yang lagu-lagunya selalu menduduki papan atas lagu terpopuler atau paling banyak didengar di dunia.[4]

Faktor kelima adalah faktor eksternal. Perkembangan ekonomi yang pesat, demokratisasi politik, dan liberalisasi di wilayah Asia Timur secara alami meningkatkan permintaan konsumen akan budaya populer (khususnya di kalangan generasi muda) tetapi budaya lokal tidak mampu menyediakannya. Kekosongan ini kemudian diisi oleh Korea Selatan. Budaya Korea banyak dipilih karena negara-negara Asia Timur masih melakukan penolakan terhadap budaya Jepang akibat masa pahit kolonialisme.

Terdapat faktor lain yang turut berpengaruh di samping faktor-faktor di atas. Yang pertama adalah fisik. Tidak bisa disangkal bahwa aspek fisik memiliki peran penting dalam dunia hiburan. Jika pada beberapa dekade lalu, versi cantik dan tampan selalu bermazhab ke barat dengan postur tubuh tinggi, kulit putih, dan rambut lurus, saat ini kategori cantik dan tampan di Asia, khususnya di Indonesia (meski masih bisa diperdebatkan) sudah mengarah ke Korea. Yang ganteng dan cantik adalah yang seperti orang Korea.

Kedua, syair lagu yang representatif bagi pergulatan anak muda. Lagu-lagu BTS berisi pengalaman mereka menghadapi tekanan lingkungan sosial masyarakat dan penilaian yang sering kali membuat orang muda merasa minder dan serta memberi pesan positif dan semangat bagi anak muda untuk terus belajar mandiri, berani bertanggung jawab, dan tidak takut gagal dalam hidup.

Ketiga, perhatianterhadap masalah sosial-kemanusiaan. Boyband, yang dicontohkan oleh BTS ikut menggalakan aksi peduli pada isu sosial kemamanusiaan sampai ke akar rumput (fansnya). Pada 2017, BTS bekerja sama dengan UNICEF meluncurkan kampanye “Love Myself” untuk meningkatkan kesadaran tentang kekerasan terhadap anak-anak dan remaja.[5] Di Indonesia ada penggalangan dana untuk korban bencana oleh ARMY (nama penggemar BTS), mengadakan demo menolak undang-undang Omnibus Law dan merugikan perempuan lainnya.[6]

Keempat, pengaruh informasi. Selain bahwa media yang memproduksi informasi secara masif, para ARMY atau nama atau sebutan untuk penggemar BTS juga secara masif dan aktif memperkenalkan Boyband kesayangan mereka. Bila kita perhatikan traffic mereka di media sosial akan kita menemukan segala hal tentang BTS cenderung mendominasi lama mereka.

Konformitas Sosial

Konformitas merupakan usaha mengubah tindakan atau perilaku yang disebabkan oleh tekanan dari sesuatu atau kelompok tertentu. Menurut Deutsch & Gerard (1955)[7] ada dua alasan mengapa orang berperilaku konform. Pertama, pengaruh norma. Dilakukan agar dapat lebih diterima oleh orang lain. Tren ke-Korea-Koreaan yang dianggap keren akhir-akhir ini membuat banyak orang ikut berkontribusi di dalamnya.

Di antara mereka pun ada ikatan emosional yang mendalam, sebab sekali lagi, salah satu kehebatan BTS adalah mengungkapkan pengalaman emosional-fundamental menjadi syair lagu yang menyentuh hati setiap pencintanya. Sebagaimana dikatakan David O. Sears, dkk, konformitas mereka dipertegas oleh eratnya hubungan antara individu dengan kelompoknya; pengaruh BTS sudah masuk ke ranah personal setiap pribadi secara mendalam.

Menurut Sarlito Wirawan Sarwono, ada kecenderungan pertama di mana orang menyesuaikan diri (conform) melalui tiga cara berikut. Pertama, konformitas. Perubahan perilaku atau keyakinan karena adanya tekanan dari kelompok, sungguh-sungguh ada maupun dibayangkan saja. Banyaknya pembeli BTS Meal beberapa waktu lalu sadar atau tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa budaya Korea sedang menggejala di tanah air dan menjadi idola baru di antara anak muda.

Standar ke-Korea-Korea-an menjadi norma baru yang meskipun tidak tertulis tapi sudah masuk ke ranah sub sadar (bisa dikatakan juga sebagai dampak dari tekanan bayangan). Tekanan kelompok yang mensyaratkan agar disebut sebagai sebuah konformitas memang tampak lesap, tetapi pengaruhnya tetap kuat. Memesan BTS Meal, menjadikan pembelinya terlihat trendi dan sesuai dengan tuntutan budaya zaman yang bermazhab ke Korea, khususnya di tanah air.

Kecenderungan kedua ialah menurut (compliance). Konformitas ini terjadi secara terbuka sehingga terlihat oleh umum, meskipun hatinya belum tentu. Membahas hal ini tidaklah mudah  karena untuk mengetahui apakah benar ada tekanan atau karena keinginan sendiri sering kali susah untuk dilacak. Ini merupakan gejala dari forum internum.

Kendati demikian, dalam fenomena BTS Meal beberapa waktu lalu bukan berarti gejala tersebut tidak ada. Dilansir dari beberapa media, ada yang membeli bukan karena ingin menyantap atau suka dengan makanan tersebut atau suka dengan BTS, melainkan hanya ingin terlihat keren dan kekinian.

Sebenarnya sikap tersebut adalah gambaran lemahnya kepercayaan terhadap diri sendiri.[8] Sebab, salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas adalah tingkat keyakinan orang tersebut pada kemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi yang berbeda.  Dengan menurut, orang tidak akan dianggap aneh dan asing di tengah teman-teman sepergaulannya yang sedang demam Korea.

Kecenderungan yang ketiga ialah penerimaan (acceptance). Disertai perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan sosial. Yang membeli BTS Meal beberapa waktu lalu, tidak semua merupakan penggemar BTS. Mereka membeli karena ikut arus saja. Meskipun demikian, ada yang pelan-pelan mengakui bahwa menjadi penggemar BTS adalah sesuatu yang wajar dan menyenangkan karena BTS bukanlah sebuah Boyband sembarang.

Selain bahwa mereka memang memiliki bakat yang mumpuni serta good looking face, mereka sangat peduli dengan isu-isu kemanusian dan lingkungan. Artinya sudah ada yang namanya penerimaan di antara mereka yang ikut arus awalnya atau mau coba-coba saja. Telah terjadi konformitas yang disertai perilaku dan kepercayaan yang sesuai dengan tatanan sosial (standar hidup-gaya) terkini. Selain itu, hal penting yang perlu disadari menurut Solomon Asch, konformitas hanya terjadi dalam situasi ambigu, yaitu apabila orang merasa tidak pasti mengenai apa standar perilaku yang benar.[9] Perilaku konform dilakukan karena manusia Ask di hadapan standar hidup yang ambigu. Pengaruh informasi kuat sekali. Media-media telah memproduksi banyak hal menarik dari BTS sehingga mereka yang ingin mengenal akan lebih mudah jatuh hati dan terikat secara emosi.

Di balik semua hal tersebut, sebenarnya para penggemar K-POP, termasuk penggemar BTS di Indonesia sering dianggap alay, lebay, dsb. Beberapa orang yang ditemui dan diwawancarai, menyatakan bahwa pandangan tersebut tidak lepas dari bias gender. Sebab, pada siapa orang mau memuja, memuji atau menjadikan idola, itu hak pribadi.

Kebebasan dan Tanggung Jawab

Pertama-tama sebelum beranjak lebih jauh, kita perlu memahami dulu dua arti kata  kebebasan sebagaimana yang ditulis Magnis Suseno dalam Etika Dasar (1987).[10] Pertama, kebebasan (dari) yang kita terima dari orang lain, atau disebut sebagai kebebasan sosial. Sedangkan kebebasan dalam  arti kedua kemampuan kita untuk menentukan tindakan kita sendiri  atau disebut dengan kebebasan eksistensial.

Kebebasan eksistensial pada hakikatnya terdiri dari kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri. Sifatnya positif. Artinya, kebebasan itu tidak menekankan segi bebas dari apa, melainkan bebas untuk apa. Manusia sanggup menentukan tindakannya sendiri. Kebebasan itu mewujud dalam tindakan yang disengaja, sadar, dengan maksud dan tujuan.

Dengan kata lain kebebasan itu adalah sebuah kemampuan lahiriah manusia yang penuh kesadaran untuk melakukan sebuah tindakan dengan tujuan dan maksud tertentu. Baik tidaknya seorang individu dilihat dari bagaimana ia bersikap menggunakan kebebasan yang dimilikinya.

Demam Korea di Indonesia adalah sesuatu yang sah-sah saja. Toh kita tidak bisa membatasi atau menuntut orang harus mengikuti apa yang kita kehendaki. Mau menjadi penggemar BTS atau bukan itu hak orang. Itu merupakan bagian dari kebebasan eksistensial mereka. Apabila ada stigma yang kurang baik terhadap para penggemar K-Pop perlulah diselidiki asal-muasal stigma tersebut dan basis argumennya apa. Sebab, perlu disadari bahwa stigma yang kurang baik terhadap pilihan orang lain, apalagi terjadi secara masif akan mengganggu kebebasan orang lain.

Tindakan tersebut merupakan sebuah tekanan psikis dan jelas-jelas kebebasan eksistensial orang lain dikurangi. Artinya kebebasan orang memilih apa yang sesuai dengan hati, pikiran, dan kehendaknya dibatasi.[11] Memang perlu digaris bawahi bahwa jika memang ada tindakan dari para penggemar K-Pop yang tidak benar dan meresahkan serta mengganggu pihak lain kiranya perlu dikritisi. Jika tidak, maka tidak ada yang salah.

Karena mau menjadi penggemar apa saja adalah hak setiap orang dan itu adalah bagian dari kebebasan eksistensial setiap manusia maka, adalah kewajiban orang lain juga untuk menghormati itu. Bagaimanapun juga kita tidak bisa lari dari fakta bahwa kita ini makhluk sosial, hadir, hidup, dan bersama orang lain.

Tindakan dan pilihan-pilihan kita perlulah diatur sedemikian rupa agar tidak mengganggu ataupun mengurangi hak dan kebebasan orang lain. Karenanya, pertama, sebagai penggemar K-Pop, para penggemar tetap wajib menghormati dan melakukan tindakan-tindakan yang sewajarnya agar jangan sampai tindakan  mereka merusak dan mengganggu orang lain.

Kedua, bagi yang suka berkomentar negatif atau yang bukan penggemar BTS atau artis/musisi Korea lainnya, mereka wajib menghargai pilihan para penggemar BTS dan penggemar K-Pop lainnya. Sebab, kebebasan pun mengandaikan adanya tanggung jawab. Karena orang lain pun punya kebebasan memilih dan menentukan diri seperti mereka, yang tidak suka dengan BTS atau K-Pop pun wajib menghargai orang lain (penggemar BTS). Jika tidak itu sama saja mereka memaksakan kehendak (tekanan psikis) mereka pada orang lain (penggemar BTS).

Dengan kata lain mereka merenggut kebebasan sosial orang lain. ini tidak benar karena ketika kita menuntut hak kita, kita pun terikat untuk bertanggung jawab atas terpenuh tidaknya hak dan kebebasan orang lain.

Tanggapan Kritis dan Relevansi

Hal penting yang perlu digaris bawahi oleh semua kita adalah, pertama, orang muda membutuhkan hiburan yang mendalam namun santai. BTS menjawab kebutuhan psikologis kaum muda akan situasi hidup yang penuh pengertian dan penerimaan akan perbedaan, kegagalan, dsb. Ini sebenarnya menjadi kritik bagi industri musik tanah air, sudahkah mereka hadir memberi karya yang menyentuh kegelisahan dan menjawab kebingungan anak muda di tengah absurditas hidup dan zaman?

Kedua, stigma sosial yang melekat pada penggemar K-POP tidak sepenuhnya bisa dibenarkan karena memang yang ditawarkan K-POP itu berkualitas dan sesuai dengan tuntutan zaman. Mereka tidak hanya menampilkan hal-hal indah, tetapi juga mendorong gerakan sosial-kemanusiaan. Artinya keberpihakan kepada hidup dan lingkunganlah yang sebenarnya juga membuat mengapa K-POP Korea digemari. Yang memberi stigma negatif perlulah kritis bertapa pada diri sendiri, masihkah ia mau mengkritik? Apa basis argumennya?

Keempat, untuk mau seperti Korea, di tanah air  perlu ada kerja sama antara pemerintah, pihak swasta, dan seluruh masyarakat. Majunya industri musik Korea sampai seperti sekarang merupakan buah kerja sama berbagai pihak di Korea. Ini menjadi pertanyaan menarik bagi pemerintah, pihak swasta, dan semua anak bangsa, sudahkan kita bekerja sama untuk membangun industri musik yang berkualitas dan menjawab kebutuhan zaman?

Di atas semua itu, penulis hendak memberikan sedikit catatan. Pertama, saya menulis bukan karena saya penggemar BTS. Saya kurang paham yang ke-Korea-Koreaan. Gerakan mengenal dan menulis hal ini semata-mata lahir dari keterusikan penulis akan fenomena BTS Meal beberapa waktu lalu.

Kedua, untuk penggemar BTS. Sangat wajar Anda memiliki rasa cinta yang besar kepada grup band ini. Sebab, semua kita membutuhkan idola (idol) yang memberi arah konkret ke mana akan kita arahkan pelayaran hidup kita. Hanya saja perlu kritis. Semua yang baik diikuti perlu terus dicontoh. Hanya jangan sampai terlalu bergantung sampai mematikan kemampuan kita menentukan diri untuk seperti apa, sebab kita ini makhluk otonom.

Ketiga, jangan lupa semua yang tampak baik, tentu ada pengaruh media dan modal yang besar di belakangnya. Tanpa mengurangi niat baik mereka untuk menjawab kebutuhan anak muda akan dukungan dan teladan, jangan sampai kita terlalu larut. Sekali lagi, ini dunia, bukan surga. Yang tampak baik dan sempurna tidaklah semuanya seindah itu selama masih di dunia ini.

Referensi

Sarwono, Sarlito Wirawan. 2005. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Balai Pustaka: Jakarta.

David O. Sears, dkk. Penerj. 1991.Michael Adryanto. Psikologi Sosial.  Erlangga: Jakarta.

Suseno, Franz Magnis. 1987.  Etika Dasar: Masalah-masalah pokok Filsafat Moral. Kanisius: Yogyakarta.

Krisdamarjadi, Yohanes Advent . BTS Meal Bukti Keperkasaan Industri Budaya K-POP. Kompas.id, 10/6/21. https://www.kompas.id/baca/riset/2021/06/10/bts-Meal-bukti-keperkasaan-industri-budaya-k-pop/ (diakses pada 13 Juni 2021 pkl. 12.21 WIB)

Ranny Rastati. Pengaruh K-Pop bagi Saya dan Gerakan Sosial di Dunia. Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya-LIPI Volume 11, Nomor 20, Oktober 2020.https://pmb.lipi.go.id/pengaruh-k-pop-bagi-saya-dan-gerakan-sosial-di-dunia/ (diakses pada 13 Juni 2021 pkl 12.54 WIB)

Bagus Pradana. K-Pop Fenomena yang Terlahir dari Krisis Moneter. Media Indonesia, Jumat 13 November 2020. https://mediaindonesia.com/weekend/360820/k-pop-fenomena-yang-terlahir-dari-krisis-moneter (diakses pada 13 Juni 15.30 WIB)

Thea Fathanah Arbar. Gara-gara BTS, Demam Boyband Kembali Melanda AS

CNBC Indonesia, 14 Agustus 2019. https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20190814120003-33-91935/gara-gara-bts-demam-boyband-kembali-melanda-as (diakses pada 13 Juni 2021 pkl 21.30 WIB)


[1] Yohanes Advent Krisdamarjadi. BTS Meal Bukti Keperkasaan Industri Budaya K-POP. Kompas.id, 10/6/21. https://www.kompas.id/baca/riset/2021/06/10/bts-Meal-bukti-keperkasaan-industri-budaya-k-pop/ (diakses pada 13 Juni 2021 pkl. 12.21 WIB)

[2] Bagus Pradana. K-Pop Fenomena yang Terlahir dari Krisis Moneter. Media Indonesia, Jumat 13 November 2020. https://mediaindonesia.com/weekend/360820/k-pop-fenomena-yang-terlahir-dari-krisis-moneter (diakses pada 13 Juni 15.30 WIB).

[3]Yohanes Advent Krisdamarjadi. BTS Meal Bukti Keperkasaan Industri Budaya K-POP. Kompas.id, 10/6/21. https://www.kompas.id/baca/riset/2021/06/10/bts-Meal-bukti-keperkasaan-industri-budaya-k-pop/ (diakses pada 13 Juni 2021 pkl. 12.21 WIB)

[4]Thea Fathanah Arbar. Gara-gara BTS, Demam Boyband Kembali Melanda AS

CNBC Indonesia, 14 Agustus 2019. https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20190814120003-33-91935/gara-gara-bts-demam-boyband-kembali-melanda-as (diakses pada 13 Juni 2021 pkl 21.30 WIB

[5] Thea Fathanah Arbar. Gara-gara BTS, Demam Boyband Kembali Melanda AS

CNBC Indonesia, 14 Agustus 2019. https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20190814120003-33-91935/gara-gara-bts-demam-boyband-kembali-melanda-as (diakses pada 13 Juni 2021 pkl 21.30 WIB)

[6] Ranny Rastati. Pengaruh K-Pop bagi Saya dan Gerakan Sosial di Dunia. Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya-LIPI Volume 11, Nomor 20, Oktober 2020.https://pmb.lipi.go.id/pengaruh-k-pop-bagi-saya-dan-gerakan-sosial-di-dunia/ (diakses pada 13 Juni 2021 pkl 12.54 WIB)

[7] Sarlito Wirawan Sarwono. Psikologi Sosial: Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Balai Pustaka: Jakarta, 2005. Hal. 185-186.

[8] David O. Sears, dkk. Penerj. Michael Adryanto. Psikologi Sosial.  Erlangga: Jakarta, 1991. Hal. 81.

[9] David O. Sears, dkk. Penerj. Michael Adryanto. Psikologi Sosial.  Erlangga: Jakarta, 1991. Hal, 78.

[10] Franz Magnis Suseno. Etika Dasar: Masalah-Masalah pokok Filsafat Moral. Kanisius: Yogyakarta, 1987. Hal. 22-23.

[11]  Franz Magnis Suseno. Etika Dasar: Masalah-masalah pokok Filsafat Moral. Kanisius: Yogyakarta, 1987. Hal. 30-31.

Engelbertus V. Daki

Engelbertus V. Daki adalah seorang peminat Filsafat dan ilmu-ilmu Sosial. Tinggal di Jakarta.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content