Universal

Sebuah fenomena dapat memiliki kebendaan di dalam dirinya sebagaimana disebut Kant sebagai das Ding an sich

Pada suatu malam di Sirakus – Sisilia pada masa pemerintahan Heiron ke-2, Archimedes yang tengah murung oleh persoalan mahkota emas raja, menceburkan diri ke dalam buyung penuh air hingga tertumpah. Air berpindah karena berat tubuh Archimedes menekannya keluar dari buyung. Sejurus kemudian Archimedes menyerukan eureka dengan gembira karena merasa akan dapat memecahkan teka teki mahkota raja. Ia merumuskan prinsip Archimedes setelah dilihatnya bahwa tubuh dan air memiliki sifat tertentu yang kini dikenal sebagai massa jenis, gaya, dan interaksi. Archimedes memperoleh kesan bahwa alam menunjukkan pola hukum pada peristiwa tubuh dalam buyung. Pola dari fenomena benda-benda memiliki kecenderungan untuk dipetakan, sebagaimana hukum alam yang menunggu untuk dirumuskan sebagai jalan agar manusia dapat mengenali dunianya. Archimedes menyebut temuannya yang di kemudian hari berkembang menjadi aritmatika dan geometri sebagai aksioma, hal yang memungkinkan manusia modern dapat menciptakan bel pintu listrik, pemanggang roti, taman bermain hamster hingga pembangkit listrik tenaga air.

Desakan dalam diri Archimedes untuk mengenal rumusan semesta dan tatanan universal tumbuh pula dalam filosof lain seperti Thales, Phytagoras, Theon, hingga Kant. Kant, sebagai filosof yang berkonsentrasi pada penguraian akal budi mengutarakan bahwa kebenaran yang sejati memiliki sifat universal. Sebagian dari yang universal tersebut disusun oleh proses sintetik a priori dan a posteriori di mana manusia dapat menjelaskan bagaimana sebuah pengetahuan dapat tersusun dalam dirinya. Namun bagi Kant, hasil sintetis pengetahuan tidak lagi menentukan apakah suatu pengetahuan bernilai benar atau salah, melainkan untuk memaparkan apakah hal tersebut telah dapat diketahui dengan pasti atau tidak. Sebuah fenomena dapat memiliki kebendaan di dalam dirinya sebagaimana disebut Kant sebagai das Ding an sich. Ketika seseorang mengamati sebuah menara, ia menangkap berbagai kesan dari bangunan tersebut dan merekamnya menjadi sebuah fenomena. Pengamat kemudian dapat mengukur tinggi menara atau menilai keindahan estetisnya melalui proses sintetis a posteriori. Selanjutnya ia dapat mempertimbangkan substansi dari menara tersebut atau hubungan kehadirannya dengan menara yang diamati. Proses ini meleburkan sintesis a priori dan a posteriori dalam diri pengamat tadi.

Tiga abad sebelum Hawking berusaha merumuskan Theory of Everything di abad ke-21, Kant lebih dulu melandasi modal fisikawan dari masa ke masa untuk memahami hukum dari sebuah pengenalan. Ia mengajukan konsep di mana pemutusan pengetahuan manusia dibentuk melalui proses sintetik sehingga manusia dapat menggabungkan satu informasi dengan informasi lainnya. Proses ini disebut Kant sebagai praktis akal budi murni yang merujuk pada hukum utama dari lahirnya sebuah pemahaman baru; sebuah hukum universal yang terlahir pada akal budi praktis-murni dan berlaku pada Archimedes, Thales, Phitagoras, Theon, semua orang, juga Kant sendiri. Tanpa akal budi tersebut maka Archimedes akan gagal memutuskan kesimpulan dari luberan air di buyungnya, pula ilmuwan lain dalam menentukan kepastian pilar-pilar pengetahuan yang hendak digunakan untuk menyusun hukum alam universal.

Pendiri LSF Discourse dan saat ini menjadi penasihat lembaga. Pimpinan Redaksi lsfdiscourse.org dan penerbit Discourse Book. Mengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content