Tentu, tentang apakah kita hidup bahagia atau tidak di dunia ini, ditentukan oleh diri kita sendiri sebagai subjek—yang katakanlah “otonom”, setidaknya sebagai yang memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Orang boleh bahagia hanya hidup dengan sebatas bisa tidur nyenyak, misalnya, yang tanpa harus memiliki kasur super empuk layaknya publik figur ternama. Termasuk pula, saya sangat setuju jika dikatakan bahwa: pikiran kita sendirilah yang menjadi penentu bahagia tidaknya diri kita, bukan materi atau benda-benda lain di luar diri kita. Singkatnya, afirmasi sangat lebih ketika dipuisikan: dengan pikiranlah, ragaku mampu menembus dinding-dinding penderitaan.
Dan itu berlaku di segala hal. Kita misalnya, kecewa (tidak bahagia) karena kopi yang kita minum ternyata rasanya pahit. Sebenarnya, yang salah bukanlah kopinya, tetapi harapan kita yang berharap bahwa kopi tersebut manis. Seandainya kita dari awal tidak memasang harapan manis terhadap kopi yang ingin kita teguk, tentu kita terbebas dari rasa kecewa yang timbul. Benarlah, orang-orang mengatakan: memasang harapan (sibuk berharap) adalah investasi untuk rasa kekecewaan masa depan.
Memang, cara berpikir demikian sangatlah bernilai “utopis”. Tetapi di kehidupan dunia yang oleh Camus disebut absurd, tidak jelas, tidak menentu ini, mana mungkin kita bisa benar-benar merasakan kebahagiaan hidup, kalau kita tidak memasang counter-psychologist semacam itu. Diperlukan level kemampuan yang cukup tinggi tentunya, untuk dapat memanipulasi kesadaran kita yang harus menempuh kehidupan di dunia ini, guna melihat dan memahami bahwa sesuatu yang buruk yang menimpa kehidupan kita adalah sesuatu yang sebenarnya “tidak buruk”.
Simbolisme Myth of Sisyphus yang digambarkan oleh Camus, bagi saya, adalah suatu potret nasihat bagi kehidupan manusia yang kalau Anda ingin bahagia, maka Anda harus menikmati ketidaknikmatan Anda. Dengan kata lain, mengubah hal-hal yang terasa tidak nikmat (menjemukan) menjadi sesuatu yang menyenangkan. Apanya yang diubah? Adalah pikiran, persepsi dan pemaknaan kita tentang segala hal yang membuat hidup kita tidak nikmat. Seperti dalam kutipan puisi Cesar Vallejo: “Berbahagialah bocah yang terjerembab dan masih menangis, dan orang dewasa yang jatuh dan tak lagi menangis.”
Jadi, bagi penulis absurditas itu sesungguhnya pendefinisiannya bukan soal hidup yang tidak memiliki makna, tapi ketidakmampuan manusia dalam memberikan makna terhadap hidup yang dijalaninya. Logika sederhananya, bukan hidup yang memberikan makna, tapi manusialah yang memberikan makna terhadap hidup. Absurditas yang dimaksudkan Camus, sejatinya bukan tentang fatalisme dalam memandang hidup, tetapi kritik atas cara berpikir dalam hidup. Absurditas, adalah semacam ironi dalam gempuran budaya massa yang membelenggu. Semacam subkultur dalam budaya berpikir populer. Agak melompat lebih jauh misalnya, saya justru memaknai bahwa maksud eksistensialisme dalam dunia filsafat (pemikiran) adalah sebagai cara baru yang berbeda bagi seseorang untuk berbahagia, di dalam semesta kebahagiaan hidup yang serba dimonopoli.
Term (atau mungkin konsepsi) absurditas, kiranya perlu dipahami dengan membaca betul bagaimana kemunculannya sebagai reaksi yang muncul dalam kehidupan tokoh pencetusnya. Kita perlu mengurut geneologi (dalam bahasa Foucault) kemunculan absurditas sebagai sebuah pemikiran, justru supaya ia tidak menjadi semesta pemahaman yang tertutup, absolut dan sentimentil. Termasuk, meminjam perkataan Marcuse, penggunaan analisis linguistik penting pula dilakukan untuk membaca kemunculan absurditas untuk menjauhkan, alih-alih menyembuhkan kita dari virus-virus pemikiran dan omongan yang terpapar gagasan-gagasan metafisis yang membingungkan dan terhindar dari hantu-hantu pikiran masa lampau yang membelenggu (Marcuse, 2016: 257).
Dalam budaya kontemporer, dimana budaya massa dan budaya populer menjadi arus utama kebudayaan hidup manusia, menjadikan penting untuk memahami absurditas dalam artian sebagai cara menyangsikan dan menjaga jarak dari kebutuhan-kebutuhan yang bersifat palsu. Apa itu kebutuhan palsu? Marcuse menjelaskan, segala bentuk-bentuk kebutuhan untuk bisa rileks, bisa bersenang-senang, bisa berperilaku dan mengkonsumsi yang disesuaikan dengan himpitan budaya massa atau budaya populer melalui iklan-iklan yang ditampilkan, termasuk untuk ikut mencintai dan membenci apa yang itu juga dicintai dan dibenci orang lain. Atau, dalam bahasa yang lebih sederhana, segala hal kebutuhan yang dipenuhi karena adanya dorongan dari konstruksi budaya populer atau budaya massa sesungguhnya adalah “kebutuhan palsu” (Marcuse, 2016: 8).
Tentu, bagi saya, dalam budaya kontemporer hari ini apa yang kemudian menjadi trend kebudayaan hidup, atau dalam istilah bisa disebut “realitas buatan” senyata-nyatanya adalah absurditas sebagaimana yang dimaksud Camus. Ritme-ritme kekayaan, ketenaran, kemapanan bahkan pula perihal kebahagiaan sesungguhnya adalah sesuatu yang absurd, tidak logis, dan rancu. Bagaimana mungkin, kebahagiaan yang sesungguhnya heterogen sesuai kultur dan obsesi setiap insan dibentuk dan distandarisasi hanya dengan satu frame imajinasi kebahagiaan? Ini tentu menjadi realitas semu yang mengalienasi kehidupan manusia. Imajinasi-imajinasi kebahagiaan tersebut, dalam bahasa Baudrillard, akhirnya sampai pada gelombang hiperealitas. Ujung-ujungnya kehidupan manusia akan terus berkelindan dan berhimpun di dalam realitas-realitas semu dan absurd secara nalar sehat.
Dalam istilah Simulakra milik Baudrillard, semua hal yang nyata kini menjadi sebatas simulasi. Dalam analisa Marx, dalam masa itu yang menyebut masyarakat begitu teralienasi oleh sistem kapitalis berkat adanya kebutuhan konsumsi terhadap nilai tukar suatu barang ketimbang nilai guna karena kepentingan atas laba. Kini, masyarakat kontemporer, menurut Baudrillard, lebih mendominankan pola konsumsinya terhadap nilai tanda (simbol). Nilai tukar tidak lagi dirasa penting. Laba bukan lagi sebatas materi berupa uang (kaya). Sehingga, prestise dan keinginan untuk dilihat eksis secara sosial yang harus dikonsumsi melalui tanda (simbol) menjadi satu-satunya tujuan yang dikehendaki—meskipun harus menipu diri, bahkan sampai bersedia menggadaikan moralitas dirinya.
Memang, kebutuhan atau keinginan untuk mendapat prestise dan eksis melalui konsumsi tanda (simbol), adalah semacam cara yang mau tidak mau harus dilakukan seseorang agar ia diakui dan dipandang “bernilai” oleh masyarakat kebanyakan. Ditambah, adanya media sosial yang mengkonstruksi dan menjadi “medium strategis” dalam arus penyebaran budaya hari ini, semakin memvalidasi kebutuhan manusia terhadap hegemoni popularitas masyarakat kontemporer (baca: budaya massa, budaya pop). Saya tentu tidak bisa menafikkan hal itu, bahwa kenyataan dalam kehidupan hari ini: orang harus membentuk citra dirinya dengan mengikuti trend-trend baru agar ia disebut sebagai “orang normal”—alih-alih orang yang bahagia.
Namun demikian, seandainya kita hanya mengikuti budaya massa yang begitu mendominasi ruang kesadaran hidup semacam itu tanpa adanya keinginan untuk bernalar secara kritis. Pada akhirnya, tujuan kehidupan yang kita jalani ujung-ujungnya akan sampai pada ruang hampa. Mengapa demikian? Sederhananya, kita akan teralienasi justru karena ketidaksadaran kita sendiri atas retorika kebahagiaan dan cita-cita kehidupan yang dikonstruksikan secara semena-mena tersebut—kalau tidak boleh menyebutnya secara jahat. Apakah untuk bahagia kita harus membeli secangkir kopi di Starbucks?
Dunia memang begitu jahat. Karena dunia hadir bukan murni sebagai medan yang memberikan kebebasan dalam arti ideal untuk kehidupan manusia. Dalam setiap zamannya, dunia selalu dikonstruksi wajahnya sedemikian rupa demi kepentingan mereka yang memiliki kuasa. Saya ingin tegaskan, bahwa dalam keadaan semacam apapun, kita tidak bisa apabila terus-menerus bersikap lugu dihadapkan realitas kehidupan. Termasuk di hadapan kebudayaan massa, wacana-wacana, bahkan di hadapan ilmu sekalipun. Seperti mengutip Foucault, yang secara cerdas mengatakan bahwa di era yang dihidupi oleh perkembangan ilmu dan teknologi seperti saat ini, kekuasaan bukan lagi soal institusi, struktur atau kekuatan yang menundukkan. Kekuasaan adalah relasi kompleks yang menyebar dan hadir dimana-mana.” (Hidayat, 2017: 8).
Hari ini, diakui atau tidak, kita telah berhasil dikuasai dan teralienasi oleh kebudayaan kontemporer di dalam ruang-ruang simulakrum. Dan, kita begitu nyaman serasa dininabobokan kesadaran hidup kita di ruang tersebut. Baudrillard sendiri menegaskan bahwa dalam kehidupan kontemporer, “semua sistem kekuasaan yang represif dan reduktif kini tampil dalam lingkaran tanda (Imperium Tanda).” (Baudrillard, 1981: 70).
Dalam karyanya, Martin Jay, menuliskan bahwa Mazhab Frankfurt juga tidak menyukai apa yang disebut sebagai “budaya massa”. Bukan karena alasan budaya tersebut terlalu demokratis, tetapi justru karena budaya itu tidak demokratis sama sekali. Bagi Mazhab Frankfurt, “budaya populer” memiliki sifat ideologis. Ia melandasi gerak institusi budaya untuk menata budaya non-spontan, palsu dan tidak asli ketimbang menata hal-hal yang nyata. “Barbarisme gaya” menjadi corak paling menonjol dalam budaya massa. Tragedi, yang dulunya tampil sebagai protes, kini mengalami degradasi nilai; dan hanya berarti hiburan. Pesan-pesan subliminal yang ada dalam seni dalam budaya massa kebanyakan adalah tentang deklarasi kebersamaan dan keikhlasan dalam menerima. Marcuse melihat bahwa seni-seni klasik yang dulunya begitu progresif sebagai kritik, akan tetapi kebanyakan seni dalam budaya massa hari ini begitu terserap ke dalam bungkus “satu dimensi.” (Jay, 2016: 311).
Himpitan kebebasan karena adanya “budaya massa” yang begitu mendominasi inilah yang akhirnya menciptakan keterasingan tersendiri dalam kehidupan masyarakat kontemporer hari ini. Ditambah lagi, istilah Commodity Society, yang dirumuskan Adorno menjelaskan bahwa kebudayaan yang ada dan berlangsung sesungguhnya adalah sengaja dibuat demi membawa massa masuk ke dalam hegemoni praktik-praktik sosial yang skemanya sudah diatur dari awal guna memenuhi kebutuhan pasar lewat produk-produk industri budaya yang sengaja diciptakannya.
Oleh karena itu , menjadi penting di sini untuk memahami segala budaya kontemporer yang sebenarnya juga menimbun banyak hal-hal “absurd” dalam tiap-tiap bentuk realitasnya. Supaya kita tidak lantas sebatas menjadi masyarakat konsumeris yang kehilangan kesadaran atas diri kita sendiri. Perlu diketahui bersama pula bahwa “budaya massa” hari ini hadir sebagai metamorfosis komoditas dalam bentuknya yang lebih canggih, lebih halus dan lebih memikat” (Hidayat, 2017: 107). Tentu, kita tidak ingin ditipu habis-habisan oleh budaya massa yang memang dalam iktikad awalnya adalah untuk menciptakan selubung alienasi dalam bentuknya yang baru. Kita juga tidak ingin tentunya, sebagaimana yang dituliskan Macdonald, menjadi “massa … yang dikotori oleh hal-hal demikian (budaya massa), yang pada gilirannya menjadi massa yang mabuk oleh produk-produk budaya yang remeh-temeh namun memberi rasa nyaman.” (MacDonald, 1957: 71).
Jika kita menyadari selubung dominasi ini, dan kemudian membuka kesadaran kritis kita. Sesungguhnya kita hari ini berada dan bersama-sama mengalami penderitaan, yang bagi Adorno, menjadi salah satu aspek penting untuk mendobrak belenggu dominasi yang berkuasa—yang dalam konteks ini adalah, “budaya massa”. Adorno mengatakan, bahwa “penderitaan akan meloloskan diri dari penguasaan total, dan sebagai akibatnya dapat menyadarkan serta mengatasi negativitas total” (Bertens, 2013: 276). Sebagai individu yang memiliki otentisitas diri dan kehendak, menjadi keharusan untuk tidak hanya sekadar berlaku dan mengaktualisasikan diri dalam belenggu kebudayaan yang menipu kesadaran.
Kebahagiaan sesungguhnya adalah tentang segala hal yang lahir dari dan untuk dalam diri kita sendiri, bukanlah bentukan sebuah industri-industri budaya. Kita akan mengalami kehampaan peradaban pada akhirnya, seperti Marcuse pernah menuliskan, “ketika individu tidak lagi diharuskan untuk membuktikan dirinya sendiri di pasar (budaya massa) sebagai subjek ekonomi yang bebas”, lanjutnya. Maka, “lenyapnya jenis kebebasan (diri individu) akan menjadi salah satu dari pencapaian besar peradaban” (Marcuse, 2016: 3). Oleh karenanya, sebagai individu yang berkesadaran kritis, tentu menyelamatkan diri dari hegemoni pasar industri budaya kontemporer adalah hal yang mesti dilakukan. Setidaknya-tidaknya, bisa menjadi resistensi yang memberikan prototipe bagi kelangsungan hidup yang ideal guna menyongsong cita-cita kebahagiaan hidup dalam arti yang sesungguhnya.
Daftar Pustaka:
Baudrillard, Jean. (1983). Simulations. New York: Semiotext(e).
Bertens, K. (2013). Filsafat Barat Kontemporer: Jilid I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.
Hidayat, Medhy Aginta. (2017). Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard. Yogyakarta: Jalasutra.
Jay, Martin. (2005). Sejarah Mazhab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
MacDonald, Dwight. (1957). “A Theory of Mass Culture,” dalam Rosenberg, Ben and White, Dennis, (ed). Mass Culture. Glenco: Free Press.Marcuse, Herbert. (2016). Manusia Satu Dimensi. Yogyakarta: Narasi.