Portrait Adele Bloch Bauer karya Gustav Klimt
Portrait Adele Bloch Bauer karya Gustav Klimt

Dari awal, perempuan adalah motor atau penggerak psikoanalisis. Oleh kajian perempuan-perempuan yang terdiagnosis histeriklah Sigmund Freud menjadi psikoanalisis, dan dengan menganalisis kasus Aimée yang terperangkap dalam jerat paranoia, Jacques Lacan menjadi psikoanalis. Tetapi tidak hanya itu. Perempuanlah yang telah membangun sejarah psikoanalisis, dengan menjadi penggagas, pemikir, pencipta teori, dan inisiator.

Antusias, semangat, berkarakter, dan memikat, mereka menyalakan api yang tak pernah lagi bisa dipadamkan. Dari Wina, Rusia, Amerika Serikat, dan juga Prancis; dari kelas borjuis, kelas atas, menengah, ataupun bawah. Satu kesamaan lagi, mereka menolak untuk patuh pada norma dan aturan.

Bagaimana bangkit setelah merana akibat cinta seperti Bertha Pappenheim atau Melanie Klein? Bagaimana Lou Andreas-Salomé menunjukkan kepada kita apa itu perempuan yang merdeka? Dapatkah kita mencintai tanpa mendominasi, berkebalikan dari yang terjadi pada Carl Gustav Jung dan Sabina Spielrein?  Bagaimana cemburu sampai begitu meremukkan hati seperti kasus Lol V. Stein? Apa yang harus dilakukan ketika, seperti yang dialami Anna Freud, orang tua kita tidak memahami orientasi seksual kita? Dapatkah kita tetap menjadi pasien dari terapis yang dengannya kita memadu cinta seperti Catherine Millot dan Lacan? Mengapa kita selalu jatuh cinta pada tipe laki-laki yang sama?

Kasus-kasus yang ditangani ataupun yang dialami sendiri oleh tokoh-tokoh pelopor psikoanalisis adalah cerita-cerita tentang kegembiraan, keterpesonaan, luka hati, serta penderitaan manusia berhadapan dengan cinta dan seks. Bisa jadi salah satu kasus ini adalah juga cerita tentang kita.

Begitu kita bicara cinta, seks, dan psikoanalisis, dua pertanyaan mungkin terbersit. Psikoanalisis, apakah ia mengajarkan kepada kita sesuatu yang baru mengenai cinta dan seksualitas? Apakah ia menciptakan konsep erotisme yang baru, melahirkan konsep cinta yang sebelumnya tidak ada?

Sepertinya Freud, bapak psikoanalisis tidak berusaha menciptakan sesuatu yang baru dalam domain ini. Tetapi ia peka dan peduli pada bentuk khusus dari konflik erotis dan menyakitkan antara cinta dan hasrat seksual.

Kita cenderung membedakan cinta dan erotisme. Kita meletakkan cinta di satu sisi, dan seks di sisi lain. Dalam cinta ada kelembutan dan ideal, dalam erotisme kita lekatkan tubuh dan kenikmatan. Padahal jika kita membaca karya Freud dan psikoanalis lainnya, kisah-kisah erotis dalam psikoanalisis adalah kisah-kisah cinta dan kisah-kisah cinta dalam psikoanalisis adalah kisah-kisah erotis. Dalam kisah cinta, ada erotisme, dan dalam erotisme ada kisah cinta. Setiap kali Freud bicara cinta, ia menyebutnya sebagai Eros.

Mencintai bisa saja melibatkan erotisme yang dalam. Tetapi sebaliknya, bisa jadi ada bentuk keindahan lain saat dua tubuh melekat satu dengan yang lain untuk beberapa jam, untuk beberapa hari, untuk memberikan yang terbaik yang bisa mereka berikan satu sama lain hanya pada waktu yang sementara itu, meskipun setelah itu mungkin tidak akan pernah lagi berjumpa, meskipun rasa cinta itu tidak atau belum hadir.

Setiap orang punya cara masing-masing untuk mencintai dan berhasrat atau menginginkan dengan gairah. Bahkan sangat mungkin seseorang mengubah caranya dalam mencintai dan berhasrat berulang kali sepanjang hidupnya. Keragaman manusia akan selalu mengejutkan, dan kreativitasnya atas cinta seringkali mengagumkan.

Psikoanalisis membantu kita berpikir tentang kebencian dalam cinta

Dulu kala, Freud bertanya, “Bagaimana bisa sebagian orang tidak mendapatkan kepuasan seksual dengan orang yang ia cintai bahkan ada yang tidak bisa ereksi, tetapi bisa mendapatkan kenikmatan yang dahsyat ketika bercinta dengan orang yang tidak ia cintai?” Freud kemudian menyimpulkan bahwa, “Di situ, ketika mereka mencintai, mereka tidak berhasrat, di mana mereka berhasrat, mereka tidak mencintai.”

Konflik antara gairah dan cinta bukan satu-satunya pertanyaan dalam psikoanalisis, dan bukan pula yang paling mengganggu menurut psikoanalis Prancis, Sarah Chiche. Satu topik lain yang menarik dan menjadi salah satu kajian utama dalam psikoanalisis adalah cinta dan kebencian.

Tidak ada seorangpun yang dapat melihat kapan tepatnya cinta berubah menjadi benci. Kita menantikan bertemu Eros dan berpikir telah menemukannya, tetapi kemudian Thanatos memasuki panggung. Kita jatuh cinta tapi perlahan kita akan melihat orang yang kita cintai sebagai orang jahat, penindas, mengerikan, begitu banyak kekurangannya yang tidak hanya menjengkelkan tapi juga melukai.

Ketika sampai kelakuannya tidak bisa lagi ditoleransi, kita tidak habis mengerti mengapa bisa demikian dan juga tidak punya cara untuk bisa tetap objektif dan rasional. Tiap pasangan yang awalnya saling mencintai dengan penuh gairah, pada akhirnya tak pernah paham bagaimana bisa tiba di titik perpisahan. Mereka pun berucap selamat tinggal bahkan di musim semi kala bunga bermekaran

Ketika kita mencintai seseorang dengan sungguh-sungguh, cinta ini akan berujung mematikan. Mengapa demikian? Psikoanalisis akan membantu kita untuk memahami bahwa cinta dan benci tidaklah berlawanan. Sebab yang sesungguhnya berlawanan dengan cinta (amour) adalah ketika kita sudah tidak punya rasa (désamour). Oleh karenanya, orang yang merana setelah putus cinta itu karena ia masih dipenuhi cinta.

Apakah kita masih membutuhkan psikoanalisis untuk bicara cinta dan seks hari ini?

Psikoanalisis di abad 21 sudah dianggap ketinggalan zaman. Satu kali Freud sendiri pernah membayangkan bahwa penemuan alat kontrasepsi yang efektif akan menghentikan sejumlah persoalan neurotik. Hari ini, masyarakat sudah berevolusi lebih dari sekedar penggunaan kontrasepsi.

Dari kebebasan seksual, kontrasepsi bebas, dan aborsi aman terutama di negara-negara Barat sampai gerakan MeToo yang menyentuh seluruh belahan dunia, relasi perempuan dan laki-laki sedikit banyak mengalami perubahan. Homoseksualitas juga tidak lagi dianggap sebagai gangguan mental dan hak-hak kelompok homoseksual sudah diakui meski di banyak negara mereka masih didiskriminasikan. Ditambah dengan berkembangnya ragam analisis seksualitas hari ini, banyak orang menganggap psikoanalisis hanya akan menjadi rujukan historik. Benarkah demikian?

Kebebasan seksual itu sendiri tidak pernah sepenuhnya mengangkat rasa bersalah, yang menjadi salah satu sumber kecemasan manusia. Dalam konteks masyarakat kita, yang bisa dibilang masih puritan seperti pada zaman Ratu Victoria, persoalan-persoalan yang dihadapi terkait cinta dan seks belum banyak mengalami perubahan dari pada saat psikoanalisis lahir dan mulai dikembangkan.

Ketidakmampuan penis untuk berereksi, ejakulasi dini, dan frigiditas kini banyak ditangani oleh seksolog. Padahal cukup dengan mengangkat mata kita dari organ seks pasien, dan menatap orang yang di hadapan kita sebagai satu pribadi utuh, kita akan melihat drama yang sama: mereka yang tidak lagi bergairah pada istri yang kini telah menjadi ibu anak-anaknya, mereka yang selalu jatuh cinta pada laki-laki ataupun perempuan “jahat” dan merasa menjadi korban tak berdosa dari skenario yang repetitif ini, ataupun mereka yang terjebak dalam cinta segitiga, dan sebagainya.

Penderitaan manusia akibat cinta dan seks tidak akan pernah sirna selama peradaban manusia masih ada. Dan selama manusia masih mengalami penderitaan ini dalam bercinta dan mencintai, psikoanalisis akan selalu ada dan diperlukan.


Dikembangkan dari buku Une Histoire érotique de la psychanalyse : De la nourrice de Freud aux amants d’aujourdhui karya Sarah Chiche (2018), terbitan Payot & Rivages (Paris, Prancis).

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.