Gagasan Demokrasi Baru merupakan reaksi atas situasi Cina pada masa itu. Melalui Demokrasi baru, Mao Zedong hendak membawa Cina pada pembebasan dari Feodalisme maupun Kolonialisme. Hingga pada akhirnya menjadikan Partai Komunis Cina berkuasa sekaligus menciptakan negara Republik Rakyat Cina sebagai negara komunis terbesar di dunia. Artikel ini akan meninjau bagaimana Mao mengembangkan Pemikirannya terkait dengan Demokrasi Baru.
Situasi Cina saat itu
Mao Zedong melihat bahwa situasi Masyarakat Cina sudah sangat feodal hingga Perang Candu pada tahun 1840. Ia menyebutkan ada tiga ciri-ciri Feodalisme dalam masyarakat Cina. Pertama, Ekonomi yang berkecukupan—bagi tuan tanah—memegang peranan penting sehingga minimnya pertukaran barang. Kedua, adanya konflik antara para tuan tanah dan para petani. Konflik timbul karena hampir keseluruhan produksi dikuasai oleh tuan tanah dan para petani menderita kemiskinan dan tereksploitasi. Ketiga, Proses produksi dihambat oleh relasi Feodal yang mengakibatkan struktur masyarakat tidak mengalami perkembangan.
Setelah Perang Candu, masyarakat Cina secara bertahap berkembang menjadi Semi-Feodal dan Semi-Kolonial. Kata “semi” atau sebagian di sini mengacu pada masih adanya unsur Feodalisme yakni eksploitasi para tuan tanah terhadap para petani. Mao mengatakan bahwa “Ekonomi Berkecukupan yang merupakan ekonomi alamiah selama masa Feodal telah hancur, tetapi eksploitasi terhadap para petani yang dilakukan oleh para tuan tanah—basis eksploitasi Feodal—tidak hanya tetap utuh melainkan terhubung dengan eksploitasi yang dilakukan oleh kaum penghisap dan pemilik modal, dan memegang peran utama dalam struktur Ekonomi Sosial Cina”.
Eksploitasi ini semakin subur berkat adanya Imperialisme Jepang. Melalui agresi militer mereka menduduki tempat-tempat strategis seperti halnya pelabuhan-pelabuhan penting. Tidak hanya melakukan agresi militer, mereka juga melakukan agresi ekonomi dengan memanfaatkan para pedagang Cina untuk melakukan eksploitasi terhadap orang-orangnya sendiri. Sehingga menurut Mao, “Imperialisme membuat kelas tuan tanah Cina menjadi sekutu utama mereka untuk menguasai Cina”. Berdasarkan Situasi tersebut, Mao menggolongkan kelas-kelas ekonomi di Cina menjadi tiga kelas utama yakni para tuan tanah, borjuis, dan petani.
Pembagian kelas ini menjadi penting dalam pemikiran Mao dengan tujuan untuk mengidentifikasi siapa lawan dan siapa kawan. Akan tetapi, Mao tidak secara hitam-putih membedakan kelas-kelas tersebut. Dengan lain kata, batas-batas tersebut tidak secara jelas ditampakkan dalam pembagian kelas ini. Pada kelompok pertama kita akan melihat kelas tuan tanah, secara eksplisit Mao memberikan label sebagai pengikut Imperialis. Namun, kelas tuan tanah ini memiliki kemiripan dengan kelompok borjuasi atas atau Ia menyebutnya sebagai jackals of imperialism.
Sementara itu kelas borjuasi dibagi menjadi tiga bagian yakni kelas borjuasi atas, tengah dan bawah; kecil. Seperti dijelaskan sebelumnya kelompok borjuasi atas mirip dengan tuan tanah, sementara borjuasi tengah ia identifikasikan sebagai Kapitalis Cina yang tidak tertarik terhadap Feodalisme dan Imperialisme. Kelompok ini juga mendapatkan tekanan dari aturan-aturan yang dibuat oleh para Imperialis dan Feodal serta tidak memiliki posisi politik yang kuat untuk menentangnya. Ketiga, borjuasi bawah; kecil, ia menggolongkan sebagai para pengrajin, pelajar, guru, pejabat rendah pemerintahan, pegawai kantor, pengacara kecil.
Kelompok terakhir adalah para petani. Kelompok ini pun dibagi lagi oleh Mao menjadi tiga tingkatan yakni petani kaya, menengah, dan miskin. Sekali lagi, batasan antara ketiga kelompok ini tidak begitu ketat. Ia hanya membedakannya berdasarkan tindakan yang dilakukan. Kelompok petani kaya ini melakukan eksploitasi terhadap buruh tani yang bekerja kepadanya dengan upah rendah. Dengan lain kata, petani kaya adalah kelompok yang bekerja sekaligus mempekerjakan buruh tani lainnya dengan upah rendah. Pemberian upah rendah ini merupakan bentuk eksploitasi yang ia lakukan terhadap para buruh tani di bawahnya.
Kelompok petani menengah adalah mereka yang mandiri dan sebagian besar memiliki lahan mereka sendiri. Perbedaan dengan kelompok petani kaya, mereka tidak melakukan eksploitasi terhadap buruh tani lainnya. Hal ini dikarenakan kemandirian mereka dalam mengerjakan lahan pertaniannya sendiri. Sementara kelompok petani miskin adalah mereka yang tidak mandiri sekaligus kepemilikan lahan yang sangat kecil. Sehingga mereka harus menjual tenaga kerjanya. Kelompok ini menguasai populasi Cina dengan persentase 70% dari total populasi.
Berdasarkan pembagian kelas tersebut dapat diidentifikasikan siapa musuh dan siapa yang dapat diajak sebagai sekutu. Mao dengan jelas memusuhi Kelompok Imperialis Jepang sekaligus tuan tanah yang bersekutu dengan mereka. Kelompok borjuasi tengah maupun bawah dan semua kelompok petani memiliki kemungkinan untuk bekerja sama melawan Imperialisme dan Feodalisme. Apalagi kelompok petani miskin sangat tertarik dengan setiap kegiatan revolusioner yang bisa jadi mengubah nasib mereka.
Demokrasi baru
Setelah mengidentifikasi lawannya yakni para tuan tanah, Imperialis Jepang dan para pendukungnya, Mao melancarkan serangkaian “perang revolusioner” secara bertahap. Tahap pertama, menargetkan secara khusus para tuan tanah dan kelas penghisap pada kurun waktu (1924-27). Tahap kedua, menargetkan kelompok borjuasi dan sebagian kelompok nasional borjuasi telah bergabung dengan kekuatan Feodal dan Kolonial pada kurun waktu (1927-37). Tahap ketiga, menargetkan Imperialisme Jepang dan para penghianat yang mendukung Jepang pada tahun 1937. Tahap keempat, Mao mulai menargetkan Imperialisme Amerika, kapitalisme birokrasi yang diwakili oleh Chiang Kai-shek dan Feodalisme adalah musuh utama rakyat.
Pada Mei 1939 dalam pidatonya untuk memperingati 20 tahun gerakan 4 Mei, Mao mengatakan “Pada tahap ini, bukanlah Sosialisme, tetapi penghancuran Feodalisme dan Imperialisme, mengubah situasi dari Semi-Feodal dan Semi-Kolonial menjadi sistem Demokrasi Rakyat”. Mao menggunakan terminologi Demokrasi Baru sebagai bentuk kritik atas Demokrasi Lama. “Demokrasi Lama” menurut Mao mengacu pada sistem Demokrasi di negara-negara modern yang kerap kali dikendalikan secara khusus oleh kaum borjuasi dan kerap kali dijadikan alat penindasan terhadap rakyat jelata. Dengan lain kata, Demokrasi Lama merupakan instrumen penindasan oleh kaum borjuasi. Hal inilah yang coba diperbaiki dengan mengusung Demokrasi Baru di mana kelompok-kelompok yang dijelaskan sebelumnya yakni borjuasi tengah, bawah kemudian kelompok petani bersatu di bawah kepemimpinan Partai Komunis.
Lebih lanjut lagi, dalam tulisannya yang berjudul “On New Domocracy” Mao melihat ada tiga macam sistem bernegara di dunia ini. Ia menyebut sistem bernegara sebagai negara republik. Pertama, Republik yang diatur oleh kediktatoran kelompok borjuis. Sistem ini ia sebut sebagai penganut “Demokrasi Lama” seperti dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Kedua, Republik yang diatur oleh kediktatoran kelompok Proletar. Sistem ini dijalankan oleh Uni Soviet, Ketiga, Republik yang diatur oleh serangkaian kelas-kelas yang melakukan revolusi. Sistem ini merupakan bentuk perjuangan untuk lepas dari cengkeraman Kolonialisme maupun Semi-Kolonialisme. Mereka menjalankan sebuah sistem yang disebut sebagai “Demokrasi Baru”, di mana kepemimpinan dijalankan oleh kediktatoran beberapa kelompok yang melakukan revolusi.
Dalam kehidupan politik sistem bernegara Demokrasi Baru menurut Mao dijalankan oleh pemerintahan berdasarkan Demokrasi Terpimpin. Melalui pemerintahan yang menjalankan sistem seperti itu, ia dapat mengembangkan gagasan dan semangat dari semua kelas yang melakukan revolusi sehingga mampu melawan musuh dengan kekuatan terbesarnya. Dengan lain kata, pemerintahan dalam konteks ini Partai Komunis menjadi pemimpin yang menuntun serta menyatukan kelompok-kelompok revolusioner tersebut. Maka dari itu, Demokrasi Baru menurut Mao secara politik menjalankan pemerintahan berdasarkan Demokrasi Terpimpin di bawah komando Partai Komunis.
Demokrasi Baru tak hanya diterapkan dalam kehidupan politik melainkan pula dalam kehidupan ekonomi. Setidaknya ada dua hal pokok yang diperjuangkan dalam kehidupan ekonomi era Demokrasi Baru yakni, nasionalisasi perusahaan swasta dan upaya untuk reformasi agraria. Berkaitan dengan nasionalisasi perusahaan swasta, Mao berpendapat bahwa “Perusahaan, seperti halnya bank, kereta api dan pesawat, apakah dimiliki oleh orang Cina maupun orang asing, yang mana baik secara karakter tergolong monopolistic atau terlalu besar untuk manajemen swasta, harus dioperasikan dan dikelola oleh negara, sehingga modal swasta tidak mendominasi mata pencarian orang, hal ini merupakan prinsip utama dalam pengaturan modal”. Berdasarkan pendapat Mao, ia ingin menekankan karakter sosialis yakni kepemilikan bersama dalam menjalankan perekonomian Cina.
Kemudian, berkaitan dengan upaya reformasi agraria, Republik berupaya untuk melakukan penyitaan atas tanah milik para tuan tanah dan dibagikan kepada para petani yang memiliki lahan kecil maupun sama sekali tidak memiliki. Reformasi di bidang agraria ini merupakan salah satu misi terpenting dalam era Demokrasi Baru. Hal ini sebagai solusi atas masalah utama yang dialami mayoritas masyarakat Cina pada waktu itu. Dengan demikian, penindasan terhadap kaum petani oleh para tuan tanah dapat teratasi dengan melakukan pembagian tanah secara lebih adil dan merata oleh pemerintah.
Demokrasi Baru merupakan gagasan yang diungkapkan oleh Mao Zedong sebagai sebuah kampanye Anti-Kolonial dan Anti-Feodal. Dengan mengidentifikasi kelompok berdasarkan situasi Cina, Mao mengelompokkan mereka yang dapat menjadi kawan dan lawannya. Lawan dari Demokrasi Baru adalah Imperialis Jepan dan tuan tanah sekaligus orang-orang yang mendukung keduanya. Sedangkan mereka yang menolak hal tersebut adalah kawan baginya. Setelah Cina memasuki masa Demokrasi Baru, kehidupan politik dan ekonominya mengalami perubahan. Pengaruh Demokrasi Baru terhadap kehidupan politik adalah munculnya sistem Demokrasi Terpimpin yang mana negara atau Partai memegang komando atas kelompok-kelompok yang melakukan Revolusi. Kemudian, Pengaruh Demokrasi Baru terhadap kehidupan ekonomi adalah munculnya usaha untuk melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta agar dapat dikelola oleh negara. Selain itu, reformasi agraria merupakan salah satu program utama di bidang ekonomi untuk mewujudkan rasa keadilan dengan berupaya menyita tanah milik para tuan tanah agar dapat dibagikan kepada para petani kecil.
Demokrasi Baru dalam pemikiran Mao Zedong juga memiliki orientasi jauh ke depan. Menurut Yung Ping Chen, Demokrasi Baru merupakan salah satu tahap dalam skema besar perjalanan Cina dari masyarakat Semi-Kolonial dan Semi-Feodal menuju ke masyarakat sosialis. Maka dari itu, Demokrasi Baru merupakan satu tahap yang mengantar Cina menjadi masyarakat Sosialis.