Di Balik Humor

Dalam mitologi Yunani ada dewa atau muse bernama Gelo yang disembah dan sangat dihormati di samping dewa-dewi lainnya. Gelo dianggap patut disembah karena dialah yang memungkinkan manusia dapat tertawa.
Laughing karya Hendrick ter Brugghen
Laughing karya Hendrick ter Brugghen

Telah menjadi fenomena umum bahwa manusia membutuhkan saat-saat untuk tertawa. Tertawa menjadi saat escaping the self (melarikan diri dari diri sendiri). Potret jaman sekarang ditandai oleh the age of anxiety (usia cemas), kehampaan hidup, kering dan tak juntrung, terasing, disorientasi, rapuh dan tak bermakna, fragmentasi (proses memecah-mecah) dan restlessness (kegelisahan). Hidup menjadi rangkaian “a quest of meaning” (sebuah pencarian makna) yang tidak pernah mendapat jawaban. Bila tidak memiliki keberanian untuk bertahan maka jalannya hanya melarikan diri dari kenyataan. Komedi yang ditayangkan pada media dan berbagai bentuk pertunjukkan secara terencana dipersiapkan dan digunakan untuk mewadahi mereka yang mencari saat-saat melarikan diri. Sekedar mencari pelepasan dari the burden of selfhood (beban diri) (Nugroho, 2014).

Humor dan komedi itu produk kultural, medium untuk mengungkapkan dan sekaligus untuk mengalami gelak tawa. Humor politis atau rasis dipakai untuk melawan atau menindas yang lain dan berbeda dengan dirinya. Ungkapan dan serangan halus namun menggigit dan menusuk. Komedi diciptakan sebagai sebuah karya seni setelah tragedi dalam kultur Yunani. Sedianya diperuntukkan bagi mereka yang menganggap Tragedi tidak memberikan efek katharsis (pemurnian, pembersihan). Bila bagi Aristoteles Tragedi dapat memberikan pengalaman katharsis karena sisi eleos (rahmatnya) dan phobos (ketakutan); pengalaman rasa iba dan rasa ngeri yang merasuk dalam diri penonton. Mestinya Komedi juga dapat menciptakan pengalaman katharsis dari sisi gelos-nya. Pengalaman rasa lucu yang dapat melupakan diri sendiri. Komedi dapat menciptakan pengalaman transformatif. (Heatubun, 2014)

Bagi Aristoteles katharsis itu tidak hanya menyembuhkan secara emosional tetapi juga memperhalus dan memperjelas emosi. Meskipun buku mengenai komedi karya Aristoteles ini dianggap hilang oleh para ahli, namun dapat diyakini tujuan dari Komedi akan sama dengan tragedi. Hanya saja peruntukannya saja yang berbeda. Komedi lebih cocok untuk orang-orang yang sederhana dan tak terpelajar. Apakah efek dari menyaksikan komedi atau lawak di media TV atau Film itu dapat memberikan pengalaman katharsis dalam arti positif atau sekedar pelarian? Apakah gelak tawa bersama dapat memberi self-fulfilment (pemenuhan diri), mengubah hidup yang dirasa disease (penyakit), kemudian menjadi ease (kemudahan)? 

Bila hanya manusia saja yang dapat tertawa, dapatkah disebut sebagai homo ridens? Apakah sebutan homo ridens itu hanya sebuah sebutan hipotetikal saja? Seandainya secara esensial dapat dikatakan bahwa manusia itu homo ridens, maka hipotesis ini dengan sendirinya dianggap sahih karena berdasarkan konsep esensialisme atau substansialisme. Secara kodrati (natural), bawaan lahir dianggap manusia itu dapat tertawa. Dengan kata lain, secara genealogis tertawa itu bukan produk kultural. Ada potentia dalam diri manusia untuk tertawa. Actus yang tampak dalam perilaku hidupnya merupakan eksistensinya. 

Ekspresi dalam berbagai bunyi dan cara tertawa serta karakter atau sifat tertawaannya menjadi eksistensinya. Dalam arti ini, berlainan dengan adagium “existence precedes essence” (keberadaan mendahului esensi). Justru sebaliknya, eksistensi tampak tergantung pada apa yang menjadi kodratnya. Jenis-jenis tertawa itu hanyalah properti aksidental. Humor sebagai potentia mencapai actus-nya hanya pada homo sapiens atau homo intelectus. Sebutan homo ridens dalam kerangka membedakan manusia dengan mamalia lainnya mengandaikan adanya gradasi intelegensinya. Mungkin kita dapat berhipotesis bila ada mamalia yang memiliki kecerdasan setara atau di bawah sedikit manusia akan memberi kemungkinan binatang tersebut dapat tertawa (Yossie, 2014).

Tertawa itu Sakral 

Dalam mitologi Yunani ada dewa atau muse bernama Gelo yang disembah dan sangat dihormati di samping dewa-dewi lainnya. Gelo dianggap patut disembah karena dialah yang memungkinkan manusia dapat tertawa. Karenanya Gelo menjadi pelindung para komik, badut, dan atau pelawak. Para pelawak memujanya agar mereka dapat berperan semaksimal mungkin dan membuat pemirsa, penanggap atau penonton dapat tertawa. Tertawa itu berkaitan erat dengan kehendak yang “ilahi”, bukan pertama-tama hasil upaya manusiawi atau ciptaan kultural. Dalam The Golden Ass karya Apuleius dikisahkan tentang adanya tradisi selain di Yunani juga di Romawi pemujaan terhadap dewa Gelo (Risus) untuk memperoleh kebahagiaan. Suatu pemujaan yang lebih umum, bukan hanya oleh para pelawak. Gelak tawa ada hubungan erat dengan kebahagiaan dan kegembiraan, begitu sebaliknya. Bukan pada kesejahteraan ketika miliki kelimpahan material ataupun kekuasaan Dewa Gelo disebut sebagai dewa yang paling suci dan paling sakral dibanding dengan dewa-dewi lainnya. Dalam upacara ritual pemujaannya diikhtiarkan suasana yang penuh dengan kegembiraan dan pesta pora.

Referensi

Heatubun, F. (2014). Humor dan Homo Ridens. Extension Course Filsafat ( ECF ), No 2 (2014): ECF Filsafat Humor. http://journal.unpar.ac.id/index.php/ECF/article/view/2004

Nugroho, G. (2014). Karakteristik Humor Indonesia. Journal of Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.Yossie, Y. (2014). Humor Dan Pop-Culture. Extension Course Filsafat ( ECF ), No 2 (2014): ECF Filsafat Humor, 1–2. http://journal.unpar.ac.id/index.php/ECF/article/view/2010

Anggota Lingkar Studi Filsafat Discourse

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content