Emile Durkheim: Selayang Pandang Sosok dan Karya Sang Sosiolog

Emile Durkheim, professor and founder of French Sociology, at the Sorbonne, in the Guizot amphitheatre, in early 1900. Nubis Digital Library
Emile Durkheim, professor and founder of French Sociology, at the Sorbonne, in the Guizot amphitheatre, in early 1900. Nubis Digital Library

Tahun ini, bila pun masih hidup, Emile Durkheim akan berumur 163 tahun pada tanggal 15 April. Beribu sayang, Sosiolog yang berasal dari Épinal, Perancis ini meninggal dalam usia 59 tahun pada 1917. Tentu ini bukan informasi yang begitu menyedihkan manakala jasadnya telah bersemayam, namun warisan pemikirannya terus hidup di benak para pembelajar ilmu sosial, khususnya sosiologi. Karena di tangannyalah sosiologi akhirnya berkembang secara kokoh menjadi disiplin ilmu yang empiris mulai pada zamannya.

Barangkali bila ia mengikuti jejak Ayah dan keluarganya sebagai seorang Rabi Yahudi, mungkin kita tidak akan mengenalnya sebagai seorang ilmuwan. Namun, pada akhirnya ia memilih jalan menjadi seorang agnostik dan berfokus pada ketertarikannya terhadap ilmu pengetahuan.

Hal yang menarik perhatian penulis atas Durkheim secara personal di luar pemikirannya adalah bahwa tanpa disadari ia merupakan manusia normal yang beranjak menuju kesuksesan karier akademis dan kehidupannya selayaknya masyarakat pada umumnya. Benar bahwa ia tergolong sebagai salah satu pemikir besar di Perancis, namun sering kali secara awam kita sering melihat sosok Durkheim dari hasil akhirnya. Hal ini penulis kira malah dapat menyebabkan kita terjebak pada stereotip sosoknya yang profetik. Padahal, seluruh pencapaiannya didapatkan tidak secara mudah. Seluruh daya berpikir kritisnya memang dilatih sejak kecil.

Ada beberapa bagian dari perjalanan hidupnya yang tidak semulus orang kira. Durkheim kecil sudah bergulat dan merisaukan sistem sekolah yang bernuansa teologis, sedangkan ia ingin mempelajari hal-hal yang jauh lebih bersifat ilmiah dan empiris. Ketika beranjak remaja, ia perlu bersusah payah untuk masuk ke Ecole Normale Supérieur yang merupakan tempat studi prestisius saat itu guna mempelajari ilmu sosial dan humaniora. Ia pernah gagal 2 kali tes masuk dan baru diterima di tes yang ketiga. Lalu, saat memulai studi kuliahnya, ia juga banyak mempelajari dan memahami karya para ilmuwan-ilmuwan besar lintas disiplin terdahulunya, sebut saja Montesquieu, Immanuel Kant, Wilhelm Wundt. Oleh karenanya, tidak mengherankan dengan cara belajar seperti itu, ia mampu berkontribusi secara kumulatif menciptakan ide-ide orisinalnya sendiri. Sedikit tambahan, bahkan, ia memulai kariernya dengan menjadi seorang guru filsafat di SMA selama beberapa tahun sebelum akhirnya menjadi seorang Doktor dan dikukuhkan sebagai Guru Besar Sosiologi pertama di Perancis.

Beberapa konsep inti yang akan menuntun kita untuk memahami sosiologi dalam pemikiran Durkheim adalah fakta sosial, solidaritas sosial, kesadaran kolektif, dan moralitas. Sepanjang kariernya, Durkheim berusaha menjawab apa yang membuat masyarakat dapat bersatu padu, serta bagaimana solidaritas sosial terbentuk di dalam masyarakat.

Bisa dikatakan, meski ia mengerjakan sekaligus menyempurnakan proyek ilmiah yang tidak bisa diselesaikan utuh oleh Auguste Comte, namun kita tidak boleh melupakan konteks sosio-historis tempat di mana mereka tinggal di negara yang sama, Perancis, yang sedang mengalami transisi politik menuju satu gerak peradaban baru selepas revolusi. Ditambah, proses industrialisasi dan modernisasi yang mulai bergerak dinamis.

Dari dua kondisi di atas, penulis menyadari bahwa ada semacam kegairahan menggebu yang serupa baik dalam benak Comte atau Durkheim tentang bagaimana melihat masyarakat Perancis berada dalam tatanan struktur yang jauh lebih solid dari kondisi kacau sebelumnya. Untuk itu, sosiologi haruslah menjadi pionir disiplin ilmu yang bisa mengawal gerak perubahan yang signifikan itu.

Perbedaan yang paling mencolok antara kinerja Comte dan Durkheim adalah bila Comte berfokus pada kondisi terideal yang nantinya bisa dituju oleh masyarakat Perancis lewat hukum tiga tahapnya, Durkheim justru mempelajari lebih detail mengenai gejala sosial dan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Perancis dengan merumuskan metodologi dan membuat batasan objek kajian sosiologi itu sendiri yang berpusat pada fakta sosial. Pada titik ini, Durkheim berada satu langkah di depan Comte.

Penulis akan meringkas karyanya sebagai buah hasil kedisiplinan dan ketekunan belajarnya dalam satu paragraf. Dalam bukunya The Division of Labour in Society pada tahun 1893, Durkheim membuktikan dua paragraf yang telah penulis jelaskan di atas, ialah dua gagasan penting mengenai bagaimana perubahan pola pekerjaan dari homogen ke heterogen membuat tipe solidaritas juga akan bergeser dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Dua tahun setelahnya, ia memfokuskan diri pada penjelasan tentang fakta sosial sebagai objek kajian sosiologi dalam bukunya The Rules of Sociological Method. Lalu, dua tahun selanjutnya, ia untuk pertama kalinya mengaplikasikan metodologi statistik modern dan merelevansikan dengan konsep fakta sosial dan solidaritas sosial yang telah dikembangkannya dengan mengkaji fenomena bunuh diri dalam bukunya Le Suicide. Terakhir, di tahun 1912 ia berhasil mengembangkan kajian sosiologi yakni sosiologi agama dalam bukunya The Elementary Forms of Religion.

Ringkasan di atas berada di luar proyek besar lainnya seperti membuat semacam ruang tulisan ilmiah dari masing-masing ilmuwan lainnya yang kita kenal sekarang dengan bentuk jurnal ilmiah yang berjudul L’Année Sociologique pada tahun 1896. Tak lupa, upayanya melakukan reformasi sosial bagi masyarakat Perancis melalui institusi pendidikan (dan tentu mengkajinya dalam sub disiplin baru, sosiologi pendidikan).

Terlepas dari penjelasan pendahuluan tentang Durkheim yang penulis paparkan dalam tulisan ini, Durkheim memiliki banyak kritikan atas karya-karyanya yang datang dari para akademisi marxian, Max Weber hingga sosiolog-sosiolog setelahnya, terutama pada pemikirannya yang dianggap hanya menyentuh persoalan-persoalan makro dalam masyarakat.

Meski demikian, sebagai penutup, satu-satunya pemakluman atas celah kekurangan bagi para sosiolog awal dari Durkheim, Marx, Weber bahkan Comte adalah konteks abad 19 pertengahan di mana segalanya masih teramat sangat terbatas untuk dikaji dengan lebih dalam. Mari kita bayangkan mereka hidup dalam konteks saat ini, Anda bisa membayangkan akan setajam apa bila teori mereka diperbarui dengan realitas sosial yang lebih kompleks.

Bila ada kesempatan berikutnya, penulis ingin melanjutkan tulisan ini dengan menafsirkan dan merelevansi tantangan solidaritas sosial dan moralitas, sesuatu yang berubah dari pakem pemikiran Durkheim pada masyarakat kita saat ini.

Luthfi Ersa
Luthfi Ersa

Guru Sosiologi SMA

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.