Dalam perkembangan pemikiran filsafat Islam, hanya Muhammad Iqbal yang memusatkan perhatian pada masalah eksistensi manusia. Iqbal menyebut eksistensi manusia sebagai ego atau dalam bahasa Persia sebagai khudi. Iqbal merupakan seorang filosof, penyair, dan politikus Islam yang cukup berpengaruh dalam perkembangan filsafat Islam pada awal abad ke-20. Uraian filosofis mengenai ego dan beberapa pendapatnya mengenai kepastian pengalaman keagamaan yang tertuang dalam buku The Reconstruction of Religious Thought in Islam cukup mendapat sorotan di kalangan para ahli.
Dalam beberapa karyanya, Iqbal tidak hanya menyoroti masalah eksistensi manusia (ego). Selain persoalan mengenai Diri atau ego, Iqbal pula menyoroti masalah pengetahuan, atau yang disebut sebagai epistemologi. Sebagai cabang ilmu filsafat, epistemologi bermaksud mengkaji dan mencoba menemukan ciri-ciri umum dan hakiki dari pengetahuan manusia.[1] Epistemologi terkadang disebut pula sebagai teori pengetahuan. Dalam kaitannya dengan filsafat pengetahuan, Iqbal menolak beberapa pandangan epistemologi yang terlalu berat sebelah, seperti halnya Plato yang memandang idea-idea sebagai sumber kebenaran pengetahuan, Immanuel Kant yang memandang ketidakmungkinan pengetahuan manusia mengenai realitas metafisis, begitupula kaum Mu’tazilah yang terlalu menekankan akal dalam memahami persoalan keagamaan. Dalam upayanya mengkritik dan merekonstruksi pandangan filosofis dari seorang filosof tertentu, Iqbal cenderung mengarah pada sikap ambivalen. Ketika Iqbal mengkritik pemikiran Plato misal, ia mengukuhkan dunia materi sebagai sumber pengetahuan riil. Berbeda dengan Plato, Iqbal mengakui panca indra juga merupakan instrumen pengetahuan. Sedangkan ketika ia mengkritik Kant, ia memandang bahwa entitas immateri sebagai obyek pengetahuan yang nyata. Dengan kata lain manusia sanggup mendekati realitas immateri itu, yakni Tuhan. Dalam mengkritik Kant, Iqbal memandang bahwa terdapat pula level pengalaman yang melampaui ruang dan waktu sebagai dua bentuk apriori. Level pengalaman itu adalah intuisi.
Iqbal memang jatuh dalam sikap ambivalen melakukan kritik epistemologis. Akan tetapi hal itu dilakukannya agar ia tidak jatuh ke dalam sikap berat sebelah. Ia ingin menciptakan pandangan epistemologinya dalam memperoleh realitas secara orisinil. Iqbal ingin menyeimbangkan peran akal, panca indra, dan intuisi sebagai instrumen yang berguna bagi manusia dalam memperoleh pengetahuan. Baik akal, indra, maupun intuisi berperan dalam perolehan pengetahuan manusia. Dalam hal ini, Iqbal banyak mendapat pengaruh dari beberapa pemikir baik dari kalangan pemikir Timur maupun Barat, antara lain Plato, Al-Ghazali, Jalaluddin Rumi, kaum Mu’tazilah, Kant, Henri Bergson, dan Mc Taggart seorang neo-hegelianisme. Pemikir ini memadukkan antara alur pemikiran Barat dan Timur, dengan berbagai kritiknya ataupun pembaharuan.[2] Selain pemikir Barat dan Timur, gagasan-gagasan Iqbal pula berangkat dari abstraksinya terhadap Al-Quran.
Dalam bidang epistemologi, Iqbal merupakan seorang filosof yang memahami hubungan antara ketiga instrumen pengetahuan tersebut tidak secara oposisi biner, melainkan secara fungsional. Dengan kata lain, ketiga instumen pengetahuan tersebut sama-sama memiliki andil dalam proses memperoleh pengetahuan. Pandangan Iqbal ini merupakan sebuah sumbangan baru bagi khazanah perkembangan pemikiran filsafat baik di dunia Barat maupun Timur. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas mengenai pemikiran epistemologi Muhammad Iqbal. Sebelum masuk ke pembahasan inti, penulis akan mencoba menjelaskan mengenai biografi Muhammad Iqbal secara umum. Selain itu, penulis pula akan memaparkan kritik-kritik Iqbal terhadap aliran-aliran filsafat Barat maupun Timur dalam bidang epistemologi. Hal ini diharapkan agar dapat menjadi pintu masuk dalam memahami epistemologi Iqbal.
Biografi Muhammad Iqbal dan Karya-karya Penting
Muhammad Iqbal adalah tokoh muslim abad ke-20 yang sangat terkenal dan berjasa di berbagai bidang baik politik, filsafat, sastra, maupun Agama.[3] Iqbal dilahirkan pada tahun 1876 di Sialkot, Punjab. Pendidikannya di mulai di lingkungan keluarganya, ia dididik ilmu Agama secara ketat oleh ayahnya. Ia pula pernah dimasukkan ke dalam surau untuk mendalami Al-Quran. Pendidikan formalnya dimulai di Scottish Mission School di tempat kelahirannya, di sini Iqbal mendapat bimbingan yang sangat intensif dari Mir Hasan, seorang guru bahasa dan sastra Arab. Setelah lulus, Iqbal melanjutkkan pendidikannya di Government School, di daerah Lahore. Pendidikannya di Lahore membawa dirinya berkenalan filsafat Islam, ia mempelajari filsafat Islam dibawah bimbingan seorang orientalis Inggris bernama Thomas Arnold. Perkenalan dengan Thomas Arnold mendorong motivasi Iqbal untuk melanjutkan pemikirannya di Inggris. Pada tahun 1905, Iqbal pergi ke negara ini dan masuk ke Universitas Cambridge untuk mempelajari filsafat.[4] Bidang yang ditekuni Iqbal selama studi di Inggris adalah filsafat moral. Iqbal mendapat bimbingan dari James Ward dan Mc Taggart. Tidak hanya belajar di Inggris, Iqbal pula pernah belajar di Jerman dan mendapat gelar doktor di sana dengan disertasi berjudul The Development Metaphysic in Persia di bawah bimbingan F. Hommel. Selanjutnya, Iqbal kembali ke London untuk belajar ilmu hukum.
Iqbal merupakan seorang pemikir yang berperan besar di zamannya. Ia tidak hanya dikenal sebagai seorang filosof, melainkan pula sebagai penyair dan praktisi. Dalam bidang syair, puisi-puisi Iqbal sangat terkenal. Ia mendapat gelar Sir dari Universitas Tokyo dalam bidang sastra. Selain sebagai penyair, Iqbal menjalankan kehidupannya pula sebagai seorang praktisi. Kehidupannya sebagai seorang praktisi meliputi tiga profesi, yakni pendidik, advokat, dan politisi. Iqbal pernah menjadi Guru Besar bahasa Arab di London University untuk menggantikan Thomas Arnold dan pernah memimpin Government College. Selain menjadi seorang dosen, ia pula menjadi advokat. Akan tetapi, profesi ini hanya sekedar untuk menopang perekonomian hidupnya. Sedangkan dalam bidang politik, ia pernah menjadi presiden Liga Muslimin pada tahun 1930. Iqbal meninggal pada tahun 1938, ia dimakamkan di Lahore.
Karya-karya yang ditinggalkan Iqbal cukup banyak dan beragam. Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Arab, Urdi, Persia, dan Inggris. Karya Iqbal berbentuk prosa, puisi-puisi, surat-surat jawaban kepada orang lain yang mengkritik pemikirannya, dan pengantar karya orang lain. Karya-karya Iqbal yang mendapat sorotan di kalangan ahli antara lain Asrar-i Khudi, Rumuz-i Bikhudi, The Reconstruction of Religious Thought on Islam, The Development of Metaphysic in Persia, Zabur-i ‘Ajam, Bang-in Dara, Payam-i Masyriq, Zarb-i Kalim, Ar Maghan-i Hijaz, dan Pasche Bayad Kard Aye Aqwam-i.
Kritik-kritik Muhammad Iqbal Terhadap Epistemologi Barat dan Timur
Iqbal merupakan seorang filosof yang sangat dipengaruhi oleh para pemikir Barat maupun Timur. Pemikirannya dalam bidang epistemologi merupakan hasil dialognya terhadap berbagai macam pemikiran Barat maupun Timur. Meskipun sangat dipengaruhi oleh berbagai macam pemikiran, Iqbal tetap mengkritik pandangan-pandangan tersebut. Melalui kritik-kritiknya, Iqbal membangun pemikiran epistemologinya sendiri secara orisinil.
Iqbal berpandangan bahwa Al-Qur’an mengandung penjelasan mengenai persoalan pengetahuan. Bagaimana sumber pengetahuan dan cara-cara memperoleh pengetahuan – menurut Iqbal telah dijelaskan sebelumnya di dalam Al-Quran. Teori epistemologik yang Qur’anik menurutnya adalah mengangkat tiga potensi manusia, yakni serapan panca indra, kemampuan akal, dan kemampuan intuisi secara serempak.[5] Dalam proses mengetahui realitas, ketiga-tiganya berperan, yang membedakan hanya dominanitasnya dalam kaitannya mengetahui realitas. Dalam proses mengenali realitas indrawi misal, ketiga instrumen tersebut berperan, akan tetapi serapan panca indra lebih dominan ketimbang akal dan intuisi. Begitu pula memahami realitas mutlak immateri, intuisi lebih dominan ketimbang akal dan panca indra. Dalam hal ini, Iqbal mendasarkan pandangan epistemologinya pada Qur’an. Sehingga Iqbal mengkritik pemikiran yang mengunggulkan satu instrumen pengetahuan ketimbang instrumen lainnya.
Dalam kaitannya dengan cara pandang epistemologinya, Iqbal mengkritik para pemikir dalam aliran Idealisme (termasuk pula Idealisme Transendental Kant), Rasionalisme, dan Mistisisme. Kritik pertama ia lontarkan terhadap Plato, seorang pemikir Yunani yang dinilai Iqbal memiliki pengaruh cukup kuat di kalangan para mistisisme Islam. Plato membagi dunia menjadi dua, yakni dunia idea dan dunia jasmani. Menurut Plato realitas sesungguhnya terdapat di dalam dunia idea, sedangkan dunia jasmani merupakan cerminan dari realitas di dunia idea. Benda-benda di dunia idea hanya satu dan bersifat tetap, sedangkan benda-benda di dunia jasmani jamak dan berubah-ubah. Demikianlah Plato berhasil menjembatani pertentangan yang ada antara Herakleitos, yang menyangkal tiap perhentian, dan Parmenides yang menyangkal tiap gerak dan perubahan.[6] Pandangan Plato ini memunculkan suatu asumsi epistemologis bahwa akal merupakan satu-satunya instrumen pengetahuan. Panca indra merupakan instrumen pengetahuan yang menipu manusia. Dalam kaitannya dengan ini, Plato memandang bahwa dunia jasmani tidak riil. Iqbal menganggap bahwa pandangan Plato tidak Qur’anik. Menurut Iqbal, Plato memandang rendah cerapan indrawi, yang dengan pandangan seperti ini ia hanya menghasilkan pendapat semata dan pengetahuan yang tidak real.[7] Dalam salah satu nukilan puisinya, Iqbal memandang Plato sebagai “Dia yang tidak percaya pada alam material. Dia menjadi kreator ide-ide yang tak terlihat”.[8] Plato dinilai Iqbal terlalu kontemplatif, sebab ia melupakan dunia konkret.
Pemikir idealisme selanjutnya yang menjadi sasaran kritik Iqbal adalah Immanuel Kant. Dalam pemikiran filsafatnya, Kant mencoba mempertanyakan kemungkinan metafisika. Menurut Kant, penampakan objek bukanlah realitas sesungguhnya sebagaimana yang dikatakan oleh kaum empirisme. Dengan istilah Kant, “das Ding an Sich” (benda pada dirinya) tidak diketahui.[9] Hal ini dimungkinkan karena pengetahuan manusia dibatasi oleh ruang dan waktu yang bersifat apriori. Benda yang diamati itu masuk ke dalam dua bentuk apriori ruang dan waktu.[10] Dengan kata lain, apa yang tampak bagi subjek yang mengetahui hanya fenomena, karena pengetahuan subjek selalu terikat dengan ruang dan waktu yang inheren dalam diri subjek. Pandangan Kant ini ditolak oleh Iqbal. Menurutnya pengalaman spiritual seperti pengalaman keagamaan melampaui level pengalaman biasa, yakni pengalaman yang terikat pada ruang dan waktu. Pengalaman spiritual keagamaan selalu melampaui ruang dan waktu. Pengalaman spiritual tersebut hanya mungkin melalui intuisi. Iqbal berpendapat bahwa eksistensi dan hakikat dari realitas atau yang disebut Kant sebagai noumena bisa diketahui melalui pengalaman intuisi yang unik dan bertujuan untuk mengerti seluruh realitas.[11] Dengan intuisi, pengalaman keagamaan mampu mengatasi ruang dan waktu. Intuisi menjadi instrumen yang paling dominan di antara instrumen pengetahuan lainnya, dalam konteks pengalaman spiritual religius. Epistemologi Kant hanya berhenti pada level pengetahuan biasa yang masih terikat pada ruang dan waktu, sehingga ia memunculkan pandangan tentang das Ding an Sich.
Kritik Iqbal terhadap rasionalisme ia lontarkan kepada kaum Mu’tazilah. Sebagaimana yang diketahui bahwa akal merupakan instrumen Mutazilah satu-satunya dalam memahami Agama. Bagi kaum Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran-pemikiran yang mendalam.[12] Menurut Iqbal, Mu’tazilah mengecilkan arti Agama hanya pada suatu sistem konsep logika yang berakhir pada sikap negatif.[13] Instrumen pengetahuan intuisi luput dari pandangan kaum Mu’tazilah.
Mistisisme pula menjadi sasaran kritik Iqbal. Dalam Islam, mistisisme mengambil bentuknya dalam gerakan sufisme. Dalam hal cara memperoleh pengetahuan, para sufi menolak rasionalitas dan cerapan pengetahuan indra. Mereka membatasi diri pada intuisi. Terutama gerakan sufisme pantheistik, yang memandang realitas seluruhnya hanya perwujudan dari Tuhan. Kenyataan indrawi dianggap sebagai sesuatu yang tidak riil. Sebagaimana Plato, para sufi melupakan instrumen indra dan akal. Mereka hanya menekankan pada kehidupan rohani tanpa memperhatikan kehidupan sosial kemasyarakatan. Sejalan dengan kritiknya ini, Iqbal mengatakan hal inilah yang menyebabkan kemunduran dalam umat Islam.
Epistemologi Muhammad Iqbal
Iqbal memandang bahwa Al-Quran mengakui pencerapan indrawi, akal, dan intuisi dalam memperoleh realitas. Ketiganya berperan dalam proses subjek mengetahui realitas. Secara praktis manusia memiliki tiga kekuatan tersebut dalam memperoleh ilmu. Pandangan epistemologi Iqbal ini sebenarnya erat kaitannya dengan pandangan ontologisnya yang memandang manusia terdiri dari jiwa dan badan.
Meskipun dalam memperoleh pengetahuan tentang realitas ketiganya berperan, namun ketiganya berbeda dalam hal tingkat dominanitasnya. Tingkat dominanintas ini ditentukkan oleh objek pengetahuannya. Ketika seseorang melakukan kegiatan pengamatan terhadap objek materi, pencerapan indra tidak berdiri sendiri. Pencerapan indra selalu terikat dengan intuisi. Tugas intuisi adalah memberi kesadaran batin bagi subjek yang mempersepsi. Sedangkan tugas akal adalah memberi putusan mengenai objek yang dilihatnya. Ketika seseorang menyatakan langit itu biru, maka putusan “warna biru” itu dimunculkan dari hasil kerja akal. Dalam kasus ini, menurut Iqbal, pencerapan indra yang paling dominan. Begitu pula dalam hal mempersepsi realitas matematis, maka indra hanya yang didasarkan pada kesadaran batin intuisi hanya memberi pengetahuan mengenai realitas matematis itu (angka-angka, rumus-rumus) secara indrawi. Akan tetapi akal mampu mengenali realitas itu secara konseptual, dengan kata lain memahami realitas matematis itu. Sehingga dalam kasus ini akal merupakan instrumen yang dominan.
Hal ini tentu berbeda dengan pengalaman religius. Pengalaman religius merupakan sesuatu yang unik. Ketiga instrumen pengetahuan tersebut bekerja dalam pengalaman religius, akan tetapi yang paling dominan adalah intuisi. Hal ini dapat dicontohkan melalui orang yang hendak mengenal Tuhan melalui aktivitas sembahyang. Ketika aktivitas sembahyang, panca indra menunduk ke arah bawah. Kemudian akal memusatkan perhatiannya pada Tuhan. Intuisi meneruskan pemusatan itu. Dalam hal ini pemusatan intuisi terus meningkat, kesadaran akal akan berhenti. Sedangkan, indra jauh lebih tenang. Dalam keadaan semacam ini, si mushalli akan tetap tenang meskipun peluru-peluru berdesingan di sekitarnya.[14] Pengetahuan intuisi akan semakin dominan, sedangkan pengetahuan akal dan pencerapan indra akan semakin sirna. Akal dan indra mengantar intuisi dalam memahami realitas tertinggi itu.
Iqbal memandang bahwa pengalaman intuisi yang tampil dalam pengalaman religius merupakan sesuatu yang unik. Pengalaman ini melampaui pengalaman yang terikat oleh ruang dan waktu sebagaimana yang diandaikan Kant. Melalui intuisi, manusia memusatkan perhatian pada realitas tertinggi, yakni Tuhan. Melalui intuisi manusia mengetahui Tuhan secara langsung, seperti dirinya melihat secara langsung objek material melalui pencerapan indra. Dalam proses mencapai pengetahuan tertinggi, Iqbal meninggikan dominasi intuisi ketimbang akal. Menurut Iqbal, akal hanya berpegang pada realitas sepotong-potong.[15] Dengan kata lain, kebenaran akan realitas tertinggi yang ditangkap akal hanya bersifat semu. Sedangkan pengetahuan intuisi menangkap realitas tertinggi itu secara keseluruhan.
Sejalan dengan ciri tersebut, objek pengetahuan yang masuk melalui instrumen pengetahuan intuisi merupakan sesuatu yang tak teranalisa. Realitas yang tertangkap oleh intuisi tidak terbagi ke dalam ruang, waktu, dan kategori-kategori apriori lainnya. Ruang dan waktu tidak berlaku dalam pengalaman intuisi. Hal ini tentu berbeda dengan pengetahuan yang diperoleh melalui akal dan panca indra, yang masih terikat pada ruang dan waktu. Ketika manusia mengalami pengalaman intuitif secara mendalam, di mana kesadaran akal dan pencerapan indra mulai berhenti, waktu dirasa tidak sebagai waktu serial. Waktu serial yang dimaksud adalah waktu objektif sebagaimana yang dipahami. Menurut Iqbal, dalam pengalaman intuisi itu, masuk ke dalam waktu – apa yang disebut Henri Bergson sebagai Duree.
Selain itu, intuisi merupakan milik khas hati. Melalui hati, manusia mampu berhubungan dengan realitas tertinggi. Manusia merasakan kehadiran realitas tertinggi itu melalui hatinya. Akal atau intelek hanya menjangkau dunia fenomena, yakni aspek realitas yang tampak dalam perspektif indrawi.[16] Akan tetapi dengan intuisi itu, manusia sanggup mengatasi yang tampak sebagai fenomena itu. Intuisi sanggup mencapai realitas noumena yang dianggap Kant sebagai sesuatu yang mustahil. Dalam hal ini, intuisi memainkan peran dominan dalam proses mencapai pengetahuan akan realitas tertinggi. Akal dan panca indra hanya membantu hati untuk mencapai taraf pengenalan yang lebih tinggi, sebagaimana yang tampak dalam aktivitas sembahyang.
Muhammad Iqbal merupakan seorang filosof Islam yang tidak hanya memusatkan analisa filosofisnya terhadap ego. Melainkan ia pula memiliki konsepsi mengenai epistemologi. Pandangan epistemologi Iqbal sangat dipengaruhi oleh para pemikir baik dari Barat maupun Islam. Akan tetapi, Iqbal pula bersikap kritis terhadap segala pandangan epistemologis yang cenderung memutlakkan satu unsur dalam memperoleh pengetahuan. Melalui kritiknya tersebut, Iqbal berupaya membangun epistemologinya sendiri yang dirasa lebih moderat dan tidak berat sebelah. Berangkat dari pandangan Qur’an, Iqbal memandang bahwa ketiga instrumen pengetahuan, yakni akal, panca indra, dan hati memiliki fungsi masing-masing dalam memperoleh pengetahuan. Menurut Iqbal, Al-Qur’an mengakui instrumen pengetahuan akal, pencerapan indra dan intuisi. Ketiganya saling membantu dalam memperoleh pengetahuan. Meskipun demikian ketiganya tetap berbeda. Perbedaan tersebut berkaitan dengan tingkat dominasitasnya saja. Sedangkan tingkat dominasitas tersebut ditentukkan oleh objek pengetahuannya. Ketika seseorang mempersepsi realitas materi maka instrumen yang dominan adalah pencerapan indra. Begitupula persepsi atas realitas immateri, unsur yang paling dominan adalah intuisi. Pengalaman intusi merupakan pengalaman unik menurut Iqbal, setidaknya terdapat beberapa ciri khas dari pengetahuan intuisi, yakni intuisi mengenali objeknya secara langsung tanpa terfragmentasi layaknya akal, objek pengalaman intuisi masuk ke dalam instrumen pengetahuan ini sebagai sesuatu yang tak teranalisa, kemudian intuisi manusia merupakan ciri khas bagi hati. Dengan kata lain intuisi terletak dalam hati manusia.
Daftar Pustaka
Danusiri. 1996. Epistemologi Dalam Tasawuf Iqbal. Yogakarta: Pustaka Pelajar.
Enver, Ishrat Hasan. 2004. Metafisika Iqbal Pengantar Untuk Memahami The Reconstruction of Religious Thought in Islam, terj. M. Fauzan Arifin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta: Kanisius.
Hamersma, Harry. 1984. Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Gramedia.
Hardiman, F. Budi. 2004. Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia.
Iqbal, Muhammad. 1981. The Reconstruction of Religious Thought in Islam. New Delhi: Kitab Bhavan.
_______________. 1955. The Secret of Self: A Philosophical Poem, terj. R. A. Nicholoson. Lahore: Shaikh Muhammad Ashraf.
Kartawinata, Ali, (2016). “Konsep Metafisika Muhammad Iqbal”. Al-A’raf. Vol. 13, No. 1
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah, Pikiran dan Gerakkan. Jakarta: Bulan Bintang.
______________. 2020. Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Roswantoro, Alim. 2009. Gagasan Manusia Otentik dalam Eksistensialisme Religius Muhammad Iqbal. Yogyakarta: Idea Press.
Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.
[1] J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 18
[2] Ali Kartawinata, “Konsep Metafisika Muhammad Iqbal”, Al-A’raf Vol. 13, No. 1, 2016, Hal. 48
[3] Ibid
[4] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pikiran dan Gerakkan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 183
[5] Danusiri, Epistemologi Dalam Tasawuf Iqbal (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 63
[6] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat I (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 40
[7] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought on Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), hlm. 4
[8] Muhammad Iqbal, The Secret of the Self: A Philosophical Poem, terj. R. A. Nicholson, (Lahore: Shaikh Muhammas Ashraf, 1955), hlm. 58
[9] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Gramedia, 2004), hlm. 138
[10] Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Gramedia, 1984), hlm. 30
[11] Alim Roswantoro, Gagasan Manusia Otentik dalam Eksistensialisme Religius Muhammad Iqbal (Yogyakarta: Idea Press, 2009), hlm. 112
[12] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan (Jakarta: UI Press, 2020), hlm. 82
[13] Iqbal, Op. cit., hlm. 4-5
[14] Danusiri, Op. cit., hlm. 68
[15]Iqbal, Op. cit., hlm. 2
[16] Ishrat Hassan Enver, Metafisika Iqbal Pengantar Untuk Memahami The Reconstruction of Religious Thought in Islam, terj. M. Fauzi Arifin (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 25
Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga.