Ecole Militaire karya Louis Auguste Loustaunau
Ecole Militaire karya Louis Auguste Loustaunau

Di dalam mengembangkan etikanya Kant bertolak belakang dalam pendekatan dengan filsuf sebelumnya. Ia menolak pola etika sebelumnya yang berpusat pada pertanyaan mengenai “kebahagiaan”. Dan etika sebelumnya berkepentingan untuk mengajak manusia cara hidup yang harus dilalui agar bahagia. Hal tersebut bagi Kant bukan persoalan mendasar yang menentukan dalam moralitas, melainkan pertanyaan: “apa yang membuat manusia baik?” Pertanyaan ini kemudian dirumuskan dalam inti etikanya menjadi: “apa yang baik pada dirinya sendiri?” Wujud dari yang baik pada dirinya sendiri ini bukanlah benda atau keadaan di dunia, maupun sifat atau kualitas manusia. Bagi Kant, hanya ada satu kenyataan yang baik tanpa batas, baik pada dirinya sendiri, yaitu “Kehendak Baik”. Inilah titik tolak pemikiran etika Kant. Kehendak itu baru baik apabila mau memenuhi kewajibannya. Kita bersedia melakukan sesuatu sebab kita memang harus melakukan sesuatu tersebut, tanpa memperhitungkan rasa senang atau tidak senang terhadap perbuatan kita tersebut. Di sini, Kant melihat kewajiban dalam konteks paham apriori akal budi praktis murni, yaitu apa yang menjadi wajib tidak ditentukan oleh dari realitas empiris, seperti suatu kebutuhan, tujuan, nilai dan sebagainya.

Lalu bagaimana kita mengetahui apa yang menjadi kewajiban kita, dan apakah kriteria kewajiban moral? Bagi Kant, tindakan wajib dilakukan atau tidak, didasarkan pada patokan-patokan, yang olehnya disebut maxime, yaitu “prinsip subjektif yang menentukan kehendak”. Jadi maxime bukan segala macam pertimbangan. Maxime adalah sikap- sikap dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud dan tindakan konkret. Contoh: orang yang berniat untuk selalu memperhatikan perasaan orang lain, atau sebaliknya, yang selalu akan memperjuangkan kepentingannya sendiri, seperlunya dengan mengorbankan orang lain. Jadi, maxime itu bisa baik dan bisa juga tidak baik. Sehingga moralitas itu ditentukan oleh maxime ini. Moral itu baik jika maxime yang melandasinya baik, dan jahat apabila maxime yang melandasinya jahat. Untuk menentukan suatu kehendak itu sesuai dengan kewajiban, Kant menyatakan bahwa apabila kehendak itu berdasarkan pada maxime-maxime yang dapat diuniversalisasikan, artinya yang dapat kita kehendaki agar berlaku bukan hanya bagi kita sendiri, tapi juga bagi siapa saja. Dengan demikian maxime bersifat moral jika bisa diberlakukan secara universal. 

Imperatif Kategoris dan Deontologi 

Menurut kant, konsepsi di atas dirumuskannya sebagai imperatif kategoris. Kant membagi bahwa perintah (imperatif) dalam dua macam: (1) imperatif hipotesis, yaitu perintah yang mengemukakan suatu perbuatan sebagai alat untuk mencapai sesuatu. Misalnya, jika anda ingin pandai, harus rajin belajar. (2) imperatif kategoris, yaitu perintah yang tidak mengenal pertanyaan “untuk apa?” Perintah tidak ada hubungannya dengan suatu tujuan yang harus dicapai. Imperatif kategoris mewajibkan kita begitu saja, tak tergantung dari syarat apapun. Misalnya, barang yang dipinjam harus dikembalikan. Keharusan ini berlaku begitu saja, tanpa syarat. Di sini tidak berlaku: barang yang dipinjam harus dikembalikan, supaya tidak terkena kemarahan pemiliknya, supaya tidak didenda, atau supaya tidak berurusan dengan debt collector, dan sebagainya. Kant mengatakan bahwa imperatif kategoris yang terkandung dalam setiap perbuatan adalah moral bisa dirumuskan secara singkat: Du sollst (engkau harus begitu saja). Jelas bahwa konsekuensi perbuatan atau apa yang dihasilkan oleh perbuatan tidak berperan sedikitpun dalam menentukan kualitas etisnya. 

Dengan kriteria imperatif kategoris di atas, Kant memberikan pendasaran filosofis kepada “teori deontologi” (yakni teori yang melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensi perbuatan) dan menolak utilitarianisme (teori yang menggantungkan moralitas perbuatan pada konsekuensinya). Dalam teori deontologi, kriteria baik atas perbuatan muncul karena adanya perintah dan kewajiban atasnya, dan kriteria buruk muncul karena adanya larangan atasnya.              

Perbuatan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya baik, melainkan hanya karena wajib dilakukan. Oleh karena itu dalam deontologi, perbuatan menjadi boleh dilakukan hanya karena tujuannya. Tujuan yang baik tidak menjadikan perbuatan itu baik. Kita tidak pernah boleh melakukan sesuatu yang jahat supaya dihasilkan sesuatu yang baik. Misalnya, kita tidak boleh mencuri untuk membantu orang lain. 

Bisa dimengerti juga, bahwa perbuatan yang baik dari segi hukum, belum tentu baik juga dari segi etika. Supaya menjadi baik di mata hukum, yang diperlukan hanyalah bahwa perbuatan itu sesuai dengan hukum, terlepas dari motif apa pun mengapa perbuatan dilakukan. Namun, agar menjadi baik secara moral, itu tidak cukup. Perbuatan baru dianggap baik secara moral, bila dilakukan karena kewajiban atau memang harus dilakukan. Misalnya, bila anda membuat tugas makalah kuliah dengan cemberut, karena sebenarnya anda enggan, tapi di sisi lain anda takut konsekuensinya, seandainya tidak membuat makalah, maka bagi tata hukum perbuatan itu baik. Yang penting peraturan hukum dilaksanakan. Bagi hukum adalah legalitas perbuatan (segi lahiriah perbuatan). Dalam konteks etika, legalitas tidak cukup, tapi harus diperhatikan juga “moralitas” perbuatan, yang meliputi juga dari segi batinnya. 

Sadar atau tidak, orang beragama berpegang pada pendirian deontologi ini. Karena mendasarkan justifikasi baik atau buruk suatu perbuatan karena diperintah atau dilarang oleh Tuhan. Setiap agama mengenal perintah atau larangan moral macam itu. Dalam tradisi Yahudi-Kristiani dikenal apa yang disebut “sepuluh perintah Allah” (The Ten Commandments), yaitu membunuh, berdusta, berzina, mencuri dan sebagainya.

Moralitas dan Legalitas 

Di sinilah Kant kemudian membuat distingsi antara moralitas dan legalitas. Legalitas (legalität) dipahami Kant sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahiriah. Kesesuaian atau ketidaksesuaian model ini, bagi Kant belum bernilai moral, sebab dorongan batin sama sekali tidak diperhatikan. Sedangkan moralitas (moralität) yang dimaksud Kant adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah; yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban. Moralitas akan tercapai bila ketaatan atas hukum lahiriah bukan lantaran hal itu membawa akibat yang menguntungkan atau sebab takut pada kuasa sang pemberi hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban. Nilai moral, baru diperoleh di dalam moralitas ini.

Kant kemudian membedakan moralitas menjadi dua: (1) moralitas heteronom, yakni sikap di mana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku sendiri; dan (2) moralitas otonom, yakni kesadaran manusia akan kewajibannya yang ia taati sebagai sesuatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakininya sebagai baik. Dalam moralitas otonom ini, orang mengikuti dan menerima hukum lahiriah bukan lantaran mau mencapai tujuan yang diinginkannya atau sebab takut terhadap penguasa pemberi hukum itu, melainkan karena itu dijadikan kewajibannya sendiri berkait nilainya yang baik.

 Dari sini bisa ditarik kesimpulan, bahwa untuk mengukur moralitas seseorang, bagi Kant, tidak boleh melihat pada hasil perbuatan. Bahwa hasil perbuatan adalah baik tidak membuktikan adanya kehendak yang baik. Karena itu, Kant menolak “etika sukses”. Yang membuat perbuatan manusia menjadi baik dalam arti moral bukanlah hasilnya, bukan juga hasil yang dimaksud atau yang mau dicapai oleh si pelaku, melainkan apakah kehendak pelaku ditentukan semata-mata oleh kenyataan bahwa perbuatan itu merupakan kewajibannya.

Namun, dalam kaitan ini, Kant tidak berarti terjebak pada Gesinnungsethik, suatu etika yang hanya memperhatikan sikap batin dan tidak peduli pada tindakan lahiriah. Kehendak bagi Kant, bukan sekedar keinginan, melainkan mencakup pengerahan semua sarana yang perlu agar kehendak itu terlaksana.

Fakta Akal Budi dan Postulat 

Pembuktian kenyataan moralitas menurut Kant tidak bersifat teoretis, melainkan praktis. Etika bukan teori abstrak, melainkan refleksi atas suatu pengalaman yang tidak dapat disangkal, yaitu kesadaran moral: kesadaran adanya kewajiban mutlak. Adanya kewajiban mutlak tidak berdasarkan suatu bukti teoretis, melainkan selalu sudah diketahui dan dirasakan. Kita tidak dapat mendeduksikannya, kita hanya dapat menunjuk kepadanya. Kesadaran itu adalah suatu fakta, tetapi tidak fakta empiris. Suatu fakta empiris dapat dibuktikan lepas dari kesadaran kita, tapi fakta moralitas hanya ada dalam kesadaran kita. Di sinilah Kant bicara tentang “fakta akal budi”, yang dalam bahasa biasa disebut suara hati atau hati nurani. 

Hati nurani tidak dapat dibuktikan. Kita hanya dapat menunjuk kepadanya dan menguraikan segi-segi yang nyata-nyata ada dalam kesadaran kita. Dari sinilah Kant sampai pada kesadaran adanya kemutlakan, adanya paham kebaikan tanpa batas, yang implikasinya lalu dijelaskan secara deduktif. Kalau orang mau menyangkal suara hati nurani, bisa saja. Tidak ada kemungkinan untuk “memaksa” mengakuinya. Tapi kita bisa bertanya apakah ia dapat menyangkalnya tanpa masuk ke dalam kontradiksi. Misalnya, apakah mungkin seseorang yang diancam akan langsung dihukum mati, kecuali jika ia bersedia memberikan kesaksian palsu mengenai orang lain yang tidak bersalah, mengatasi cinta kepada hidup dan tetap menolak memberikan kesaksian palsu? Kant menjawab bahwa itu mungkin. Dari sini ia menarik kesimpulan bahwa orang itu sadar bahwa ia memiliki kebebasan untuk melakukan sesuatu yang merupakan kewajiban mutlak. Jadi, meski kita akan memahami kalau orang itu memberikan kesaksian palsu, kita tetap menilai kesaksian palsu itu sebagai ketidakadilan moral. 

Dengan demikian, kebebasan kehendak merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal karena berimplikasi langsung dalam kesadaran moral. Kenyataan semacam itu oleh Kant disebut “postulat”: suatu yang tidak dapat dibuktikan secara teoretis, tapi yang kenyataannya tidak dapat disangkal pula karena suatu realitas tidak mungkin kalau postulat itu tidak nyata-nyata ada. Kenyataan kesadaran moral mengimplikasikan bahwa kita betul-betul berkehendak bebas; dapat mengambil sikap dan tindakan lepas dari segala macam dorongan, rangsangan, emosi dan sebagainya. 

Kecuali kebebasan, moralitas menurut Kant mengimplikasikan dua postulat lagi: “imoralitas jiwa” dan “eksistensi Allah”. Kenyataan moralitas hanyalah mungkin apabila diandaikan bahwa jiwa manusia tidak dapat mati dan apabila Allah betul-betul ada. Kant memberikan argumentasi: nilai tertinggi bagi manusia adalah penyatuan kebahagiaan dengan moralitas. Tapi, dalam kehidupan ini moralitas tidak menjamin kebahagiaan, padahal kesadaran moral itu suatu realitas dan sekaligus juga rasional, dalam arti disadari sebagai tidak percuma. Dengan demikian, janji nilai tertinggi itu hanya dapat dipenuhi dalam hidup sesudah hidup ini. Jika kita menyangkal bahwa jiwa tidak mati dalam kematian, kesadaran moral kehilangan rasionalitasnya. Orang yang hidup secara bermoral berhak untuk menjadi bahagia. Tapi, kebahagiaan itu tidak dapat dijamin sendiri dan bukan merupakan hasil otomatis hidup bermoral. Karena itu, agar hak yang dirasakan itu tidak percuma, perlu adanya pengada yang maha kuasa dan suci. Dialah yang hanya dapat menjamin kebahagiaan.

Sebelum Kant, asal-usul moralitas dicari dalam tatanan alam (Stoa, Spinoza), dalam hukum kodrat (Thomas Aquinas), pengalaman nikmat (Epikuros). Etika pra Kant bersifat eudemonistik; bagaimana kita bisa bahagia, hidup kita menjadi bermakna? Itulah pertanyaan etika waktu itu. Bagi Kant, pertanyaan itu tidak pada inti persoalan moral dan menyeleng dari hakikat moral. Hakikat moralitas bagi Kant adalah kesadaran akan kewajiban, kewajiban yang mutlak. Tapi, kewajiban mutlak tidak ada kaitan sama sekali dengan kebahagiaan. Beberapa pemikir telah mengkritik konsepsi Kant ini. Nicolai Hartmann, dengan etika nilainya, mengatakan bahwa kewajiban yang tidak mengarah pada nilai menjadi kosong. Bertolak dari filsafat Plato, Robert Spaemann, filsuf Jerman, memperlihatkan bahwa kesadaran kewajiban dan kebahagiaan menyatu dalam cinta yang merupakan puncak penghayatan etika. Filsuf Irlandia, Alasdair MacIntyre, dengan kembali mengangkat etika Aristoteles menyatakan bahwa suatu etika di luar konteks suatu komunitas menjadi kosong.

Kant tidak menolak tindakan yang juga digerakkan oleh perasaan-perasaan positif, tapi ia menolak perbuatan yang semata mata karena perasaan. Kant bukanlah menolak kecenderungan- kecenderungan positif, tapi bahwa kesadaran moral yang sebenarnya yang otonom, baru kelihatan dengan jelas di mana tidak ada kecenderungan alami atau kebiasaan sosial. Kalau orang bersikap jujur karena dorongan dalam hati atau karena sopan santun menuntutnya, itu tidak mesti tanpa nilai moral. Tapi, nilai moral tidak dapat dipastikan karena ada kemungkinan bahwa perbuatan jujur itu dilakukan hanya karena perasaan hati atau tekanan sosial. Kant, tampak tidak ingin bahwa manusia tunduk dan taat, pada sesuatu keharusan yang tidak diyakininya sendiri. Artinya, tanpa menghormati otonomi hati manusia, makhluk yang dikaruniai akal budi dan kehendak bebas oleh Tuhan, sikap dan kebaikan apapun terhadap manusia tidak memiliki nilai baik. Itulah barangkali, mengapa Kant mengatakan: “das moralische Gesetz in mir”.

Sahal Fikri

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.