fbpx

Political Post-Truth: Antara Simulacra dan Prahara Digital

Ledakan informasi menciptakan fenomena obesitas informasi yang terjadi pada masyarakat digital, sehingga masyarakat cenderung mengonsumsi informasi tanpa berasumsi dahulu untuk menemukan validitas kebenarannya
Reading a Newspaper karya Arthur Kampf
Reading a Newspaper karya Arthur Kampf

Keakraban manusia dengan teknologi digital dewasa ini, dirasa masih belum dapat mencapai titik paripurna keadaban publik bagi dimensi sosial. Alih-alih menghadirkan keadaban publik, justru hubungan antara manusia dan teknologi semakin menimbulkan kebiadaban dengan beragam tindakan amoral yang dewasa ini banyak mengotori media massa, mulai dari ujaran kebencian, saling menghina, fanatisme buta, kejahatan siber, hingga masifnya peredaran berita hoaks di berbagai media massa. Hadirnya fenomena tersebut menjadi ancaman bagi ruang publik dan menimbulkan kecemasan sosial atas prahara tersebut.

Dengan melihat realitas dunia digital, tidak mengherankan jika dewasa ini kebenaran juga semakin buram dari pandangan publik. Lantaran, semakin meningkatnya kebohongan yang memadati ruang publik, akibat ledakan informasi yang kian memorak-porandakan persepsi masyarakat terhadap realitas yang terjadi.

Ledakan informasi tersebut juga menciptakan fenomena obesitas informasi yang terjadi pada masyarakat digital, sehingga masyarakat cenderung mengonsumsi informasi tanpa berasumsi dahulu untuk menemukan validitas kebenarannya.

Berkecamuknya emosi masyarakat sebagai respons atas beragam informasi absurd di media digital yang bermuatan sensasional dan politis, menjadi ketegangan yang senantiasa memunculkan konflik antar individu maupun kelompok.

Dewasa ini, produksi informasi juga tidak lagi berpangkal pada fakta, data, dan realitas, namun peredaran informasi saat ini justru berpangkal pada emosi, atensi, dan sensasi. Fenomena tersebut tentu mengindikasikan bahwa dunia saat ini telah memasuki era post-truth yang menampilkan ragam intrik yang terkandung dalam informasi.

Stuart Sim mengungkapkan bahwa post-truth bukan hanya mengenai fenomena relativitas kebenaran yang diperdebatkan oleh masyarakat semata, melainkan ada suatu power yang berusaha menggiring opini masyarakat pada tujuan tertentu (Sim, 2019, p. 2). Untuk itu, post-truth hadir di abad digital bukan sebagai peristiwa yang lahir dari ruang hampa, melainkan lahir sebagai skema politik yang mengandalkan teknologi digital untuk mengaduk emosi serta mengaburkan kebenaran dan mendorong masyarakat agar lebih mementingkan pembenaran daripada kebenaran.

Dengan demikian, post-truth dalam pergulatannya pada dunia sosial memiliki hubungan erat dengan dimensi politik sehingga penting untuk menguraikan gejala tersebut secara faktual dan filosofis.

Mengenal Politik Post-truth

Post-truth merupakan konsep filosofis dan politis yang menguraikan fenomena lenyapnya standar objektif pada kebenaran terhadap realitas. Post-truth sebagaimana definisi Oxford English Dictionary merupakan suatu keadaan dimana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan menarik emosi dan keyakinan personal.

Lebih lanjut, terjadinya post-truth dikarenakan adanya kepentingan dan keuntungan yang diperoleh seseorang atas suatu “kebenaran”. Dengan demikian, post-truth dan politik memiliki hubungan erat untuk menciptakan suatu realitas semu di masyarakat, sehingga dari hal tersebut terciptalah istilah “politik post truth”

Politik Post-truth menurut Budi Hardiman merupakan kondisi politik yang tidak lagi mengacu pada kebijakan, melainkan menggunakan daya tarik emosional seperti isu ras, agama, dan entitas untuk menggaet dukungan politik. Adapun tipe politik tersebut merupakan contoh penggunaan kebenaran performatif, dimana kebenaran dibuat oleh pihak yang memiliki otoritas atau kompetensi dengan membuat pernyataan di ruang publik (Hardiman, 2021, p. 54). Dari uraian tersebut tentunya media saat ini tidak lebih hanya sebagai instrument (alat) untuk meluncurkan propaganda politik oleh kelompok tertentu melalui praktik manipulatif dalam suatu wacana.

Agaknya kecurigaan Noam Chomsky terhadap pertalian media massa dengan percaturan politik dewasa ini semakin terasa. Chomsky menyatakan bahwa informasi di media hanyalah sebuah rekonstruksi tertulis atas suatu realitas di masyarakat, yang tentunya rekonstruksi tersebut sangat bergantung pada aktor dibalik media dalam melakukan kerja-kerjanya (Chomsky, 2021, p. VII).

Dengan demikian, Chomsky seolah ingin memberikan sinyal bahwa proses rekonstruksi tersebut tidak jarang terkontaminasi oleh beragam kepentingan politik, sehingga realitas yang ditampilkan di media cenderung tidak netral dan memiliki tendensi politis serta dapat menciptakan realitas semu atas proses rekonstruksi informasi.  

Realitas semu yang tercipta karena kebohongan yang disebarkan secara masif dan berulang di media digital dapat menjadi kebenaran ilusif yang memanipulasi pikiran dan persepsi publik. Kebenaran ilusif yang dikondisikan oleh kelompok dominan melalui media, memberikan dorongan kepercayaan masyarakat terhadap realitas palsu dan mencoba mengaburkan realitas yang sebenarnya.

Peristiwa tersebut merupakan fenomena simulacra. Simulacra merupakan istilah yang dipopulerkan oleh sosiolog dan filsuf postmodern asal Prancis yaitu Jean Baudrillard untuk mendeskripsikan keadaan manipulatif yang tercipta melalui tanda dan citra.

Fenomena Simulacra

Simulacra dalam karyanya Jean Baudrillard yang berjudul Simulacra and Simulations (1994), dapat didefinisikan sebagai konstruksi pikiran imajiner manusia atas realitas tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial. Lebih lanjut Baudrillard menguraikan analisisnya terhadap keadaan sosial di era teknologi digital, bahwa realitas semu, rekayasa atau manipulasi merupakan keadaan dimana manusia terjebak dalam keadaan yang dianggap asli dan nyata.

Dalam dunia simulasi, yang menjadi gambaran suatu realitas adalah model-model manipulasi dan bukan realitas yang sesungguhnya, sehingga masyarakat cenderung percaya dan menikmati kepalsuan daripada kebenaran.

Baudrillard dalam karyanya the ecstasy of communication (1987) juga menggambarkan suatu kondisi masyarakat digital yang dewasa ini seperti seorang yang tengah dilanda ekstasi (kemabukan), sehingga sulit bahkan tidak dapat menggapai kesadaran akan realitas yang sebenarnya. Efek ekstasi digital dalam konteks politik, memperlihatkan bahwa masyarakat dewasa ini didorong untuk bertindak tanpa kesadaran utuh. Alhasil lahirlah tindakan menyimpang seperti hoaks, provokasi, kekerasan simbolik, pelecehan, hingga klaim menggunakan terminologi agama seperti kafir atau domba tersesat. Tentunya hal tersebut dikarenakan hilangnya kendali akal dan hati akibat efek ekstasi digital. 

Ekstasi digital yang terkandung dalam teknologi membangun sebuah tindakan komunikasi yang hanya berorientasi pada gairah, sehingga hasrat semakin mendominasi dan makna dalam komunikasi perlahan mulai menghilang. Lambat laun dampak tersebut tentunya akan membangun perbudakan manusia oleh teknologi digital, dimana hasrat manusia menjadi objek yang dapat dikendalikan lewat tren atau viralitas yang dibentuk melalui simulacra.

Situasi tersebut yang juga mendorong lahirnya simulacra sosial, yaitu sebuah model relasi sosial yang seakan nyata, alamiah, asli atau esensial, namun nyatanya merupakan relasi yang palsu, tipuan, dan penuh manipulasi (Baudrillard, 1983, p. 66). 

Politik post-truth yang menampilkan efek simulacra bagi masyarakat kontemporer tentu memberikan dampak terhadap pentas politik yang semakin padat akan citra dan tanda. Paulo Virilio dalam War and Cinema: The Logistic of Perception (1992) mengungkapkan bahwa dunia politik modern saat ini tidak bisa dilepaskan dari strategi citra, tontonan serta pemalsuan kebenaran dengan menciptakan berbagai bentuk tontonan teater kepada publik untuk membangun citra yang diinginkan oleh kelompok (politik) tertentu. Terbentuknya politik citra tentu merupakan efek simulacra yang berpotensi mendistorsikan kebenaran melalui citra dan tontonan yang dibangun.

Gelombang Prahara Digital

Terdistorsinya kebenaran di era post-truth telah memberikan fenomena ilusif yaitu meleburnya antara fakta, berita, opini, dengan kebohongan, pencitraan, dan kepentingan. Sehingga masyarakat bingung dengan rotasi informasi yang ditampilkan di media digital. Simulacra yang menampilkan kepalsuan di media digital, dewasa ini telah memproduksi berita hoaks sebagai desain politik untuk membuat masyarakat tenggelam dalam sensasi informasi pada suatu berita. Sensasi yang diangkat tentu menggiring masyarakat untuk dapat memberikan reaksi emosional sebagai respons atas berita yang diedarkan sehingga perdebatan emosional kerap mewarnai media massa dan semakin memperkeruh situasi sosial. 

Perdebatan emosional yang digunakan untuk memberikan reaksi negatif terhadap informasi yang beredar dewasa ini semakin subur di hampir seluruh kalangan. Bahkan mahasiswa, politikus, hingga akademisi juga tidak sedikit yang larut dalam perdebatan emosional tersebut. Hal tersebut mengindikasikan terjadinya sebuah fenomena yang disebut Yasraf Amir Piliang sebagai Pseudosophy, yaitu wacana yang berkaitan dengan penciptaan kebenaran dan kebijaksanaan yang semu atau palsu (Piliang, 2003, p. 76). Seolah perdebatan yang dilakukan bijaksana dengan berdalih mempertahankan kebenaran, namun nyatanya perdebatan tersebut hanya sebagai kebisingan (noise) yang nihil makna.

Tentu fenomena tersebut semakin mengkonfirmasi keterputusan budaya perdebatan intelektual sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Ghazali dengan Ibnu Rusyd yang saling menyanggah dengan karya tanpa ditaburi bumbu emosional. 

Terjebaknya masyarakat dalam arus manipulasi informasi atas skema politik memicu lahirnya fenomena kolektivitas semu, dimana setiap kelompok saling menggalang solidaritas untuk menyerang dan menyudutkan kelompok yang berbeda identitas, ideologi, hingga pilihan politik. Menjamurnya kolektivitas semu yang terjadi di era post-truth tentu diakibatkan karena ruang digital menciptakan efek gema dengan terus memantulkan narasi senada berupa pemikiran, paham atau keyakinan yang dianut suatu kelompok, sehingga terus-menerus diulang dan dikonsumsi dengan mengabaikan narasi yang berada di luar kelompok. Tentunya perputaran algoritma teknologi digital telah memanjakan penggunanya dengan menyajikan informasi senada sehingga tidak jarang individu di suatu komunitas terjebak dalam ruang gema atau yang disebut sebagai echo chamber

Fenomena echo chamber tentu membawa implikasi berupa eksklusivisme kelompok, yakni anggapan bahwa golongannya menjadi pemilik kebenaran yang tidak dapat dipertentangkan oleh kelompok lain. Alih-alih menghadirkan inklusivitas, justru kehadiran teknologi membawa eksklusivitas kelompok dalam mempertahankan mazhabnya.

Eksklusivisme yang dianut oleh suatu kelompok tidak sepenuhnya mengandung dampak negatif. Namun di era keterbukaan informasi saat ini, fenomena eksklusivisme cenderung mendorong suatu kelompok untuk bereaksi negatif terhadap paham yang berbeda dari kelompoknya, sehingga memicu lahirnya polarisasi, terlebih menjelang tahun politik (Pemilu). 

Menata Kembali Cara Pandang

Penting untuk menata kembali cara pandang publik terhadap kebenaran agar meminimalisir terjebaknya masyarakat dalam ruang gema atau arus informasi palsu. Politik Post-truth yang menciptakan gelombang prahara digital membawa budaya ketergesaan masyarakat dalam menelan informasi. Ketergesaan tersebut tentu menyeret masyarakat dalam arus berita hoaks yang cenderung provokatif. Dalam melihat fenomena tersebut, Karl Popper seorang filsuf kontemporer menawarkan cara pandang falsifikasi dalam memandang suatu kejadian atau untuk menguji suatu teori. Tentu salah satu manfaatnya yaitu dapat mencegah terjerumusnya masyarakat dalam informasi palsu. 

Falsifikasi merupakan cara pandang terhadap sesuatu berdasarkan sisi kesalahannya sehingga dalam proses mencari suatu kebenaran informasi, yang diupayakan terlebih dahulu bukan mencari pembenaran, melainkan upaya menemukan kebenaran melalui kemungkinan kesalahannya. Memfalsifikasi informasi di tengah badai hoaks tidaklah mudah, diperlukan upaya kritis dalam mencerna informasi sebelum bereaksi terhadap informasi tersebut.

Sebagaimana yang telah dicontohkan Imam Al Ghazali dalam mengkritik suatu bidang ilmu, ia membutuhkan waktu dua tahun untuk mendalaminya, dan butuh waktu setahun untuk memeriksa kerancuannya. Tentu bertolak belakang dengan watak ketergesaan masyarakat digital saat ini, yang dengan mudahnya bereaksi terhadap informasi yang mentah. Dengan demikian, maka diperlukan upaya pembentukan cara pandang falsifikasi bagi masyarakat untuk mencegah terjadinya reaksi emosional dalam membaca suatu informasi.

Ahmad Baiduri
Ahmad Baiduri

Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

One Response

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content