Kapitalisme global sebagai sistem ekonomi yang berfokus pada pertumbuhan tanpa batas, akumulasi keuntungan, dan ekspansi pasar, seringkali menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dan terus-menerus. Deforestasi, penggunaan pestisida, penambangan yang semakin masif dan pembuangan limbah pabrik mengakibatkan tanah kehilangan kalium, fosfor, dan nitrogen.
Flora dan fauna mengalami penghimpitan ekosistem untuk bertumbuh dan berkembang. Spesies yang terdapat di alam direduksi demi akselerasi ekonomi dan industrialisasi. Melalui kebijakan pemerintah yang mengabaikan hukum positif lingkungan hidup, kekayaan alam terus digali oleh korporasi-korporasi yang tidak mempunyai empati dan naluri etis.
Keseimbangan ekologi mungkin sedang menuju ambang batas kepunahan. Dampak besar dari kapitalisme global telah mendorong produksi massal untuk meraih keuntungan maksimal. Demi menguntungkan sekelompok kaum elit, kekayaan alam yang dikelola oleh korporasi-korporasi seringkali mengorbankan keselamatan lingkungan, menciptakan perubahan iklim yang terus-menerus, memandang ekosistem alam sebagai komoditas yang bisa dieksploitasi, dan terciptanya ketimpangan ekologis yang menyudutkan masyarakat adat pada batas-batas terjauh.
Dampak yang paling krusial adalah diberlakukannya prinsip kapitalisme modern yaitu memisahkan manusia dari hubungan harmonis dengan alam. Alam hanya dipandang sebagai alat produksi, bukan sebagai mitra sejati dalam tatanan keberadaan yang komprehensif.
Terhadap rusaknya ekologi yang semakin masif, kritik terhadap pemerintah (nation) mulai berseliweran dalam media-media massa. Kritik itu lebih banyak disuarakan oleh aktivis, pegiat lingkungan hidup, dan masyarakat adat. Kritik pun muncul dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Salah satunya adalah ilmu teologi yang diwakili oleh seruan kenabian dari Paus Fransiskus. Pemimpin Gereja Katolik universal ke-266 tersebut melihat alam sebagai saudara dan saudari, sebagai satu keluarga yang perlu dijaga dan dirawat (Fransiskus, 2024: 15-17). Sebagaimana disiplin ilmu teologi, ilmu filsafat sebagai dasar dari semua pengetahuan turut serta memberikan kritik sekaligus sumbangsih pemikiran yang valid tentang upaya menjaga dan mengembalikan ekosistem yang hampir punah.
Berpondasi pada filsafat, uraian ini merupakan refleksi filosofis yang berakar pada pemikiran Aldo Leopold dengan konsepnya land ethic. Refleksi filosofis ini hendak menggugah kesadaran manusia kontemporer agar melihat ekologi sebagai mitra sejati.
Konsep Land Ethic
Filsuf dan ilmuwan alam berkebangsaan Amerika, Aldo Leopold (1887-1948) memberikan pandangan yang fundamental tentang relasi manusia dengan alam. Relasi itu termaktub dalam konsepnya yang terkemuka land ethic. Secara harfiah, konsep ini diterjemahkan sebagai “etika tanah”. Land ethic ini telah disebut sebagai proyek Leopold untuk memperbaiki cara pandang dunia dan untuk mengembalikan masyarakat ke langkah yang benar dengan mentransformasikan “konsep Abrahamik tentang tanah” menjadi “cara pandang evolusioner-ekologis” (Piccolo, 2020: 1586).
Dalam land ethic, Leopold memberikan prinsip moral dasar dalam memandang hubungan manusia dengan alam: “sesuatu itu benar jika cenderung menjaga integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik. Sebaliknya sesuatu itu salah jika mengarah pada hal yang bertentangan” (Millstein, Roberta L, 2018:5).
Dibangun di atas dasar prinsip moral dan kepedulian terhadap ekologi (land), ia menggarisbawahi tentang pentingnya relasi manusia dengan alam. Ia memandang alam sebagai lokus bagi manusia untuk mewujudkan eksistensi dan esensinya. Dalam land ethic, relasi manusia dengan alam diejawantahkan dalam kewajiban etis manusia terhadap lingkungan alam.
Kewajiban etis itu direalisasikan melalui tanggung jawab dan rasa hormat terhadap semua bentuk komponen ekosistem. Leopold merefleksikan alam sebagai komunitas yang di dalamnya terjadi relasi antara komponen abiotik dan biotik, karena itulah kesadaran ekologis diperlukan sebagai upaya untuk menjaga harmoni dalam relasi itu. (Richard L. Knight and Suzanne Riedel, 2002: v).
The last word in ignorance is the man who says of an animal or plant, “What good is it?” If the land mechanism as a whole is good, then every part is good, whether we understand it or not. If the biota, in the course of eons, has built something we like but do not understand, then who but a fool would disregard seemingly useless parts? To keep every cog and wheel is the first precaution to intelligent tinkering (Richard L. Knight and Suzanne Riedel, 2002: 142-143).
Tesis Leopold menegaskan bahwa puncak pengetahuan manusia bukan ketidaktahuan melainkan pengetahuan bahwa alam di dalam eksistensinya baik adanya. Alam memberikan apa yang manusia sukai untuk dieksplorasi seturut kehendak bebasnya, karena ia berguna sejauh manusia memahami dan mendayagunakan. Tesis ini hendak menguraikan pentingnya menghargai setiap spesies yang hidup di alam, termasuk yang tampak tidak berguna karena semuanya memiliki relasi dalam menjaga keseimbangan alam.
Dengan demikian, kewajiban manusia adalah memelihara bagian-bagian alam sebagai satu komunitas dalam satu kesatuan. Dalam konteks inilah, kewajiban etis diperlukan sebagai actus prioritas dalam membangun kesadaran ekologis dengan penuh kecerdasan.
Land ethic menegasi paham antroposentris yang menilai alam sebagai alat pemenuh kebutuhan manusia. Sebagai alternatif, ia mengusulkan paham biosentris yang mengakui nilai intrinsik dari semua bentuk kehidupan. Dalam land ethic, kewajiban etis diperlukan bukan untuk mempertimbangkan kepentingan manusia terhadap alam, tetapi untuk memperhitungkan kepentingan semua komponen komunitas alam.
Leopold juga menawarkan paham ekosentris di mana alam diakui bukan karena manfaat yang didapat oleh manusia, melainkan alam mempunyai hak untuk eksis dan berkembang. Leopold memandang kedua paham ini sebagai titik finalitas akhir untuk membangun sebuah “komunitas biotik” yang hidup bersama dalam suatu ekosistem (Millstein Roberta L, 2018:6). Kewajiban etis dalam land ethic dipandang urgen karena mengarahkan intelek manusia untuk melampaui batas-batas etis antar manusia.
Dengan intelek yang terbuka terhadap alam, manusia dapat melakukan tindakan etis ke seluruh ekosistem alam. Untuk bertindak secara etis dengan alam, dalam konsep land ethic, Leopold memberikan setidaknya tiga paradigma filosofis yang perlu disadari, dihidupi, dan direalisasikan oleh manusia dalam relasinya dengan alam. Ketiga paradigma filosofi itu dapat diuraikan sebagai berikut.
Dampak Jangka Panjang Terhadap Alam
The philosophy of a natural self-regulating system, coupled with his assertion of individual obligation (Susan L. Flader,1994:270).
Leopold menegaskan bahwa spesies yang hidup di alam bebas dapat mengatur dirinya sendiri. Setiap spesies mempunyai hukum alami yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan mereka. Namun, tesis ini tidak berarti mengabaikan kehadiran manusia. Leopold justru menegaskan, dalam sistem alami tersebut manusia perlu berperan dengan kewajiban etis untuk melindungi dan memelihara alam. (Piccolo: 2020:1586).
Hal ini menunjukkan suatu bentuk realisasi eksistensi dan esensi manusia terhadap alam. Eksistensi dan esensi tersebut diaktualisasikan melalui cara berpikir dan bertindak yang dengan seimbang memelihara dan memanfaatkan kekayaan alam.
Filosofi dalam land ethic memberikan konsep dasar bagi manusia untuk merefleksikan setiap tindakan yang teraktualisasi dalam ekologi. Karakteristik tindakan manusia yang dominan dalam hubungannya dengan ekologi adalah “mengabaikan” ekosistem alam. Karakteristik ini, apabila tidak disadari, akan berdampak pada masa depan bumi.
Upaya yang perlu disadari oleh manusia adalah mencermati keseluruhan ekologi sebagai satu-kesatuan yang saling terhubung (unitas). Upaya ini mendorong manusia untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang dari tindakannya terhadap alam. Dampak dari pertimbangan itu akan bermuara pada tatanan ekosistem alam yang tetap utuh dan sistematis.
Dasar dari pertimbangan dampak jangka panjang adalah kesadaran bahwa setiap tindakan manusia memiliki konsekuensi moral yang melampaui batas waktu dan ruang, yang mempengaruhi keseimbangan ekologi dan pertumbuhan alam yang berkelanjutan. Landasan ini menggarisbawahi tindakan manusia yang perlu dibatasi supaya tidak menimbulkan konsekuensi moral yang besar bagi masa depan bumi dan anak cucu di masa mendatang.
Landasan ini sekaligus berfungsi sebagai ‘alarm kosmologi’ bahwa manusia bukanlah penguasa mutlak alam semesta melainkan hanya sebagian kecil dari komunitas ekologis yang lebih luas. Dengan konsep dasar ini, land ethic menawarkan kesadaran filosofis bagi manusia untuk bertindak dengan penuh kesadaran akan dampaknya terhadap ekosistem secara keseluruhan.
Interaksi Saling Menguntungkan
We must, in our management decisions, be inclusive of all living things (Richard L. Knight and Suzanne Riedel, 2002: 145)
Paradigma post-truth menempatkan posisi berpikir dan kehendak manusia pada tataran dominasi subjektif yang tidak terelakan. Dominasi subjektif berakar pada kapitalisme dengan tujuan utamanya ialah memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Aplikasi dari paradigma ini dapat ditemukan dalam tatanan ekologi, dimana sumber daya alam terus dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi semata.
Dalam realitas, paradigma ini secara implisit didukung oleh kebijakan dari pemerintah dan direalisasikan melalui kooperasi-korporasi. Dengan dalih peningkatan infrastruktur dan akselerasi menuju ekonomi maju dan negara industri, ekosistem ekologi hanya dipandang sebagai objek yang memberikan “nutrisi” bagi pertumbuhan suatu negara.
Terhadap paradigma ini, land ethic memberikan pendekatan inklusif yang saling menguntungkan. Bahwa aradigma dominasi subjektif manusia harus dikembalikan pada cara berpikir mutualisme yaitu cara berpikir yang saling menguntungkan antara manusia dan ekologi. Cara berpikir ini perlu direalisasikan dalam hubungannya dengan alam sebab setiap spesies yang hidup di alam memiliki peran dan nilai yang unik dalam dirinya sendiri (Piccolo: 2020:1586).
Ketika cara berpikir inklusif ini diaplikasikan dalam kebijakan dan pengambilan keputusan, niscaya akan lahir sebuah tindakan praktis yang senantiasa mengedepankan hak-hak ekologi. Tindakan itu senantiasa didasarkan pada kesadaran bahwa manusia dengan alam mempunyai ketergantungan satu sama lain.
Domain utama dari pendekatan dalam land ethic ini sesungguhnya berakar pada kelangsungan hidup manusia di bumi ini. Pendekatan ini bukan berarti bahwa manusia tidak boleh mengambil kekayaan yang terdapat di alam, melainkan sebagai batasan bagi manusia agar dalam upaya mengeksploitasi kekayaan alam. Karena itu, manusia perlu melihat alam sebagai mitra sejati dalam kelangsungan hidup di bumi.
Sebagai mitra sejati, alam tidak semena-mena dieksploitasi hanya untuk keuntungan seseorang atau sepihak, tetapi dimanfaatkan sejauh berdaya guna bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Dengan demikian, alam dan manusia memiliki ketergantungan yang saling menguntungkan.
Perencanaan Berkelanjutan Dengan Sikap Etis
Most important, we have to become more innovative and creative in the tools and approaches we use to reverse the decline of wildlife communities and to restore degraded ecosystems (Richard L. Knight and Suzanne Riedel, 2002: 145).
Salah satu kenyataan krusial yang ditemukan dalam kehidupan masyarakat dewasa ini adalah terjadinya degradasi ekosistem. Degradasi ekosistem yang dimaksud ialah kerusakan atau penurunan fungsi dan kualitas lingkungan alam, seperti berkurangnya kesuburan tanah, rusaknya habitat, atau hilangnya keanekaragaman hayati.
Degradasi ekosistem ini diakibatkan oleh pembuangan limbah pabrik, penambangan liar, deforestasi untuk pembangunan wilayah baru dan sebagainya. Dampak dari degradasi ekosistem dapat menimbulkan banyak permasalahan dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Sebagai tanggapan atas degradasi ekosistem, land ethic menawarkan solusi, yaitu membangun daya kreativitas dan inovatif secara terstruktur dan berkelanjutan. Daya kreativitas dan inovatif itu perlu direalisasikan guna memulihkan tatanan alam yang telah rusak. Tetapi, daya kreatif dan inovatif itu mutlak dijalankan dengan didasarkan pada dua prinsip yaitu mempertimbangkan dampak jangka panjang dan memperhatikan interaksi saling menguntungkan antara manusia dan alam.
Upaya untuk mendukung kreativitas dan inovasi dalam memulihkan tatanan alam dapat diwujudkan melalui kebijakan yang realistis dan sarana-sarana teknologi yang relevan. Namun, hal yang perlu disadari dalam mengembangkan kreativitas dan inovasi dalam memulihkan tatanan ekologi, Leopold menegaskan, setiap tindakan itu harus didasarkan pada etika lingkungan yang menghargai semua komponen makhluk hidup (Millstein Roberta L, 2018:9).
Inilah yang menjadi keutamaan dalam membangun sikap etis terhadap keberlanjutan ekologi di masa depan. Sikap etis ini perlu disadari, dihidupi, dan diaplikasikan oleh semua manusia dengan rasa hormat dan tanggung jawab. Dengan demikian, pemanfaatan kekayaan alam dan proses menjaga keberlanjutan ekologi senantiasa berjalan dalam koridor yang saling menguntungkan antara manusia dan alam. Dengan begitu, kita dapat menggambarkan relasi mendalam antara manusia dengan alam sebagai mitra sejati sepanjang hayat.
Ketiga paradigma filosofis dalam land ethic ini merupakan buah pemikiran Aldo Leopold yang berusaha mentransformasi cara pikir antroposentris menjadi cara pikir yang evolusioner-ekologis. Melaluinya, Leopold memberikan kritik atas kesombongan manusia kontemporer yang cenderung mengabaikan nilai dan keberadaan alam secara independen dari kewajiban yang seharusnya (Piccolo, 2020:1587).
Terlepas dari pengaruh dan kepentingan dunia ekonomis, land ethic memberikan panduan etis-moral bagi manusia zaman ini untuk mengedepankan etika lingkungan hidup dalam mengelola kekayaan alam demi masa depan bumi yang harmonis.
Referensi
Fransiskus, Paus, Bulla Spes Non Confundit, penerj: Th. Eddy Susanto, SCJ (Jakarta: KWI, 2024)
Flader, L. Susan, Thinking Like a Mountain Aldo Leopold And The Evolution Of An Ecological Attitude Toward Deer, Wolves, And Forest, (London: The University of Wisconsin Press, 1994)
Knight L. Richard and Riedel Suzanne (edited), Aldo Leopold and the Ecological Conscience, (New York: Oxford University Press, 2002)
Millstein, Roberta L. “Debunking myths about Aldo Leopold’s land ethic.” Biological conservation 217 (2018): 391-396.
Piccolo, John. Celebrating Aldo Leopold’s land ethic at 70. Conservation Biology 34.6 (2020): 1586-1588.

Dhery Ane
Dhery Ane bernama lengkap Aloisius Hestronius Deri. Menyelesaikan studi Filsafat dari Fakultas Filsafat Unwira Kupang, tahun 2022. Saat ini, sedang studi Teologi di Seminari Tinggi Santo Mikhael Penfui Kupang. Aktif menulis esai, puisi, dan artikel di media massa. Dapat dihubungi melalui akun media sosial @dhery.ane
- Dhery Ane#molongui-disabled-link