Demonstrasi sejak dulu menjadi basis penegakkan keadilan di Indonesia. Pada masa reformasi 1998 mahasiswa melalui tuntutannya mampu menggulingkan rezim kediktatoran Soeharto. Bahkan lebih mundur lagi, pada tahun 1963-69 para mahasiswa, salah satunya adalah Soe Hok Gie yang lahir sebagai representasi Seorang Demonstran, yang dengan gagah menentang Orde Lama. Peristiwa tersebut adalah gambaran bagaimana demonstrasi dapat secara gamblang mengubah nasib rakyat serta mengakhiri penyelewengan terhadap praktik kekuasaan.[1] Praktik demonstrasi berlanjut menjadi tradisi hingga sekarang yang apabila masyarakat dan mahasiswa merasakan adanya hal janggal dari praktik kekuasaan, maka dengan lantang mahasiswa bersiap untuk mengembalikan tatanan kekuasaan ke poros keadilan.
Pada bulan September 2019 kita melihat demonstrasi dengan skala masif yang digelar mahasiswa melalui tagar #reformasidikorupsi juga merupakan titik puncak dari gentingnya keadaan bahwa masyarakat sedang merasakan kesewenang-wenangan praktik kekuasaan oleh pemerintah. Mahasiswa pada kala itu menuntut tujuh poin. Dua poin utama di antaranya berupa penolakan revisi KUHP dan pembatalan Rancangan UU KPK. Belasan ribu mahasiswa bersama dengan rakyat turun ke Gedung DPR untuk menjalani tuntutan tersebut.
Sayangnya, kedua poin tuntutan utama tersebut tidak direalisasikan oleh pemegang kekuasaan.[2] Lantas apa perjuangan mahasiswa selanjutnya? Bagaimana dengan timbulnya masalah baru seperti UU Omnibus Law? Nyatanya, belum terselesaikannya poin-poin tuntutan tersebut, pemerintah sudah menerbitkan UU Omnibus Law yang kemudian ditolak kembali oleh mahasiswa. Mahasiswa kembali melancarkan demonstrasi bertubi-tubi, walau tetap tidak mengubah wacana pemerintah menerbitkan UU Omnibus Law yang sekarang telah disahkan.[3]
Gagalnya sebagian tuntutan mahasiswa seolah membuat perjuangan tersebut tampak sia-sia. Sempat segelintir orang pada kanal publik diskusi mahasiswa di Line Square Warkop Makara berkomentar seputar demonstrasi yang dilakukan mahasiswa sekilas terlihat tidak ada artinya, semacam siklus tanpa batas yang tidak membuahkan hasil.
Sedikit respon ini adalah suatu refleksi bahwa mahasiswa perlu meninjau ulang bagaimana usaha dari perjuangan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dengan permasalahan sosial yang semakin kompleks, mahasiswa masih menyimpan segenggam nostalgia usaha demonstrasi yang tidak diiringi dengan usaha paralel dalam memahami bagaimana seharusnya perlawanan terhadap kekuasaan dilancarkan seiring dengan perkembangan zaman. Beragam cara mahasiswa dalam memperjuangkan kekuasaan untuk tetap pada poros keadilan tampak terlihat semakin sempit, hal ini dikarenakan simbol resistensi yang tertanam pada jiwa mahasiswa terbatas pada suatu bentuk usaha masif yang sifatnya selalu adiluhung, di mana usaha-usaha tersebut memang mampu memberikan dampak yang signifikan, namun di sisi lain dapat berujung pada kesia-siaan belaka.
Usaha di atas bisa dianalogikan pada perbincangan mengenai prinsip kekuasaan tahun 1978 oleh Foucault dan Chomsky.[4] Foucault berpendapat bahwa gagalnya usaha-usaha masif yang dilancarkan oleh rakyat semisal Revolusi Komunisme Rusia 1917 yang diharapkan dapat merealisasi cita-cita membentuk pemerintahan yang adil dan makmur melalui sistem komunis nyatanya akan berujung pada kesia-siaan belaka. Pada kasus revolusi tersebut, justru melahirkan kediktatoran proletariat.
Singkatnya, suatu usaha menggulingkan kekuasaan secara masif tidak serta-merta mengubah nasib dari kesejahteraan rakyat. Hal itu dikarenakan terdapat pergeseran dari bagaimana prinsip praktik kekuasaan bekerja di era modern, sehingga katakanlah usaha mengintervensi institusi, pemerintahan, dan hukum ke jalur yang lurus tidak menjamin terciptanya keadilan sosial. Bukan berarti mahasiswa perlu mengucilkan demonstrasi untuk melakukan perlawanan dan tuntutan terhadap penyelewengan kekuasaan, melainkan di sinilah teori kritis terhadap kekuasaan yang dijabarkan oleh Foucault dapat menjadi acuan untuk menjelaskan peran demonstrasi sebagai bentuk resistensi mahasiswa terhadap kekuasaan untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial.
Kekuasaan: kekuasaan berdaulat vs kekuasaan disipliner
Melalui bukunya berjudul Discipline and Punish, Foucault menjelaskan bahwa terdapat pergeseran bagaimana prinsip kekuasaan bekerja seiring dengan berkembangnya masyarakat di era modern.[5] Pertama, kekuasaan pada era pra modern dianalogikan sebagai bentuk piramida. Kekuasaan selalu diartikan menjadi “being at the top of the pyramid,” yaitu menduduki bagian atas piramida. Analogi tersebut sesuai dengan kondisi tatanan sosial di era pra modern, tepatnya sebelum revolusi Perancis. Sistem pemerintahan mayoritas negara di penjuru dunia masih berbentuk monarki. Kekuasaan bersifat top-down, di mana pemegang kekuasaan yang menduduki bagian atas piramida, dalam hal ini Raja, melancarkan kekuasaan pada rakyat, yakni yang menempati bagian bawah piramida. Sifat kekuasaan ini oleh Foucault disebut sebagai kekuasaan berdaulat (sovereign power).
Namun, pada masyarakat modern praktik monarki tidak lagi berlaku. Sistem pemerintahan beralih menjadi sistem egalitarian yang menekankan rakyat menjadi unsur dominan dalam tatanan sosial, sehingga relasi kuasa tidak lagi dapat dianalogikan sebagai piramida yang bersifat top-down, melainkan bottom-up, sebagaimana kuasa masyarakat dalam demokrasi partisipatoris. Akan tetapi, berangkat dari premis Marxian, Foucault menyatakan bahwa dalam era demokrasi tetap terdapat konsentrasi kekuasaan yang dalam hal ini kaum elit kapitalis lah yang berperan dalam menentukan agenda dari berjalannya kekuasaan di era modern menggantikan raja dalam sistem monarki.
Hal tersebut berimplikasi pada poin kedua yaitu tegaknya kekuasaan tidak lagi ditempuh melalui cara yang bersifat represif.[6] Pada sistem monarki, kekuasaan bekerja dengan tujuan menghindari praktik yang bersifat mengganggu stabilitas tatanan sosial. Dalam upaya tersebut praktik kekuasaan Sang Raja bekerja melalui hukuman kepada masyarakat yang melakukan pelanggaran dan pelanggar sama sekali tidak memiliki nilai di mata pemegang kekuasaan dan layak untuk dimusnahkan, seperti pada kasus percobaan pembunuhan Raja Louis XIV oleh Damiens. Akibat percobaan pembunuhan raja, Damiens dihukum melalui siksaan dengan cara dihancurkannya tubuh Damiens di depan publik sebagai wadah yang merepresentasikan figur sang Raja dalam menegakkan kekuasaannya.
Berbeda dengan kekuasaan era modern, kekuasaan tidak lagi bersifat represif, malah justru bersifat produktif. Era modern yang seiring bersamaan dengan kemunculan revolusi industri dan kapitalisme menilai tinggi salah satu penentu dari berjalannya unsur industrialisasi yaitu buruh. Buruh merupakan aset produksi yang titik tumpunya berada pada tubuh manusia. Dengan demikian sang pelaku memiliki tubuh yang amat bernilai dari kacamata relasi kuasa era modern sehingga alih-alih mengasingkan dan membinasakan tubuh pelanggar, secara totalitas justru beralih menjadi bentuk kekuasaan yang menekankan pada pemeliharaan tubuh, bahkan dijadikannya untuk tetap berdaya guna. Oleh karena itu, Foucault menganalogikan pergeseran praktik kekuasaan dari yang semula bersifat represif seperti halnya penegakan hukuman siksaan oleh raja menjadi ke arah praktik yang disebut sebagai disiplin (discipline) yang bersifat produktif untuk keberlangsungan sistem kapitalisme. Kekuasaan ini disebut oleh Foucault sebagai kekuasaan disipliner (disciplinary power).
Kekuasaan disipliner vs kekuasaan juridico-diskursif
Kekuasaan disipliner ditegakkan dengan tujuan terealisasikannya suatu bentuk kekuasaan yang bersifat menjinakkan subjek (docile bodies), membuat patuh, serta menjadikan subjek produktif. Kekuasaan tidak lagi dapat dimanifestasikan dalam sifat-sifat bentuk yang mengekang, restriktif, dan represif atau yang Foucault sebut sebagai bentuk kekuasaan juridico-diskursif seperti manifestasi kekuasaan berbentuk peraturan hukum, pemerintahan, dan aparatus negara. Kekuasaan disipliner bertujuan mengubah subjek ke arah yang mampu melahirkan suatu perilaku (raising a new behaviour) sesuai dengan yang diharapkan pada agenda ekonomi elit kapitalis tanpa beroperasi secara kontraproduktif. Hal ini juga bertujuan agar subjek tidak menyadari bahwa bentuk kekuasaan tersebut sedang diberlakukan atas mereka sehingga tidak memberikan tindakan resistensi yang berarti.
Konsep ini serupa dengan penjabaran yang digunakan oleh tokoh pos-marxian, Louis Althusser, yang membedakan kekuasaan menjadi dua bentuk yaitu ideological state apparatus dan repressive state apparatus. Repressive state apparatus adalah bentuk kekuasaan yang bersifat represif sedangkan ideological state apparatus adalah bentuk kekuasaan yang bersifat non-represif dan memungkinkan penundukan subjek tanpa melahirkan adanya perlawanan. [7] Bentuk kekuasaan yang terakhir tersebut sesuai dengan yang dimaksud oleh Foucault berupa bentuk kekuasaan disipliner.
Penerapan kekuasaan yang bersifat non-represif ini adalah yang mendasari lahirnya bentuk kekuasaan yang tersebar secara distributif (decentralized) melalui institusi-institusi yang tampaknya netral dan independen terhadap kekuasaan.[8] Kekuasaan modern tidak lagi bekerja seperti dalam prinsip kekuasaan monarki di era pramodern, yang menumpukan kekuasaan bersifat terpusat (centralized) pada raja dan aparatusnya. Namun untuk menciptakan suatu bentuk kekuasaan yang diterima secara pasif oleh subjek. Kekuasaan mencoba untuk terjun ke institusi atau wilayah interaksi masyarakat yang tampak netral dan independen seperti pada institusi pendidikan, keluarga, penjara, birokrasi pemerintah, dan bahkan rumah sakit jiwa.
Praktik kekuasaan disipliner (micro practice) yang dimaksud oleh Foucault adalah kekuasaan yang menyebar melalui institusi dan unit interaksi sosial terkecil (microsite of power) tanpa disadari oleh masyarakat.[9] Foucault menekankan perbedaan kekuasaan tersebut dengan struktur makro kekuasaan yang dalam hal ini selalu dituju dalam kritik para intelektual, juga terkhusus para intelektual Marxian yang menganalisis prinsip dan bentuk kekuasaan.
Ia menyatakan bahwa bentuk kekuasaan seperti kebijakan pemerintah, aturan hukum, dan institusi pemerintahan merupakan bagian dari struktur makro kekuasaan. Kekuasaan ini merupakan kristalisasi dari bentuk-bentuk kekuasaan mikro yang telah bekerja di segala penjuru wilayah interaksi sosial. Oleh karena itu, perjuangan perlawanan seperti penolakan kebijakan pemerintah pada dasarnya adalah bagian yang hanya bertumpu pada resistensi terhadap struktur makro yang merupakan manifestasi bentuk terminal dari kekuasaan (terminal form of power) sehingga tidak serta-merta mempengaruhi kekuasaan disipliner yang bersifat distributif tersebar pada wilayah institusi-institusi dan unit interaksi sosial terkecil dari masyarakat, dan dengan demikian pula tidak berarti dapat mengubah kondisi sosial menuju kesejahteraan dan keadilan.
Foucault menjabarkan secara detail bagaimana bentuk kekuasaan disipliner bekerja di setiap institusi-institusi yang dianggap netral dan independen nyatanya menjadi tempat dari kekuasaan bekerja. Institusi pendidikan pun tidak luput dari praktik kekuasaan disipliner. Sistem edukasi tidak bertujuan untuk mencetak individu yang independen dan kritis terhadap keadaan sosial di masyarakat, namun bertujuan untuk mencetak individu yang tunduk menjadi instrumen stabilitas kekuasaan dan mencetak individu yang bernilai produktif di mata ekonomi, sebagaimana dalam ungkapannya, “Universitas dan sistem edukasi yang tampak netral mendistribusikan pengetahuan, sebenarnya memelihara kekuasaan pada genggaman segelintir kelas sosial, sekaligus mengeksklusi alat kekuasaan dari kelas sosial lainnya.”
Pembagian bentuk praktik kekuasaan disipliner (microsite of power) dan kekuasaan juridico-diskursif (terminal form of power) dapat kita kaitkan secara konkret terhadap fenomena demonstrasi seperti penolakan UU Omnibus Law. UU Omnibus Law merupakan undang-undang yang bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan efisiensi kegiatan investasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Dalam upaya penerapan agenda tersebut, tentu pemegang kekuasaan perlu menerapkan kekuasaan untuk menjalankan sistem ekonomi modern. Undang-undang merupakan bagian dari bentuk kekuasaan yang bersifat juridico-diskursif, yaitu manifestasi kekuasaan terminal yang berbentuk secara konkret yang kemudian dijalankan oleh institusi pemerintahan beserta para aparatus negara. Karena bentuknya yang konkret, masyarakat dapat menilai secara gamblang mengenai kebijakan pemerintah seperti halnya pada UU Omnibus Law, atau masyarakat dapat melakukan resistensi terhadap kekuasaan apabila kebijakan tersebut sewenang-wenang. Bentuk perlawanan atau resistensi tersebut bisa mewujud dalam demonstrasi yang telah dilancarkan oleh mahasiswa dan buruh.
Upaya untuk menggagalkan UU Omnibus Law masih belum membuahkan hasil. Katakanlah skenario tuntutan demonstrasi oleh mahasiswa berhasil, apakah dengan demikian agenda kekuasaan dapat dijagal melalui usaha menggagalkan kebijakan pemerintah? Tidak. Hal itu dikarenakan upaya peningkatan kinerja dan pertumbuhan ekonomi juga diterapkan ke dalam institusi pendidikan, di mana kegiatan belajar mengajar semakin diarahkan kepada penciptaan individu produktif yang bernilai dari segi industri. Kekuasaan disipliner nyatanya masih menjadi basis dalam tegaknya kekuasaan di tiap gedung institusi maupun unit terkecil dari interaksi masyarakat sehari-hari. Sifat kekuasaan disipliner yang bekerja secara non-represif dan distributif terlihat tidak tampak dari kacamata masyarakat, sehingga instrumen kekuasaan tersebut semakin canggih menyebarkan diri ke dalam kapiler interaksi sosial di masyarakat.
Padahal, penanaman nilai kritis untuk memahami kondisi sosial secara tidak langsung berkontribusi dalam bagaimana hasil dari upaya perjuangan sosial. Variabel-variabel bagaimana keseharian mahasiswa berinteraksi antar sesama mahasiswa, mahasiswa dengan pendidik dosen, dan mahasiswa dengan institusi merupakan objek kajian yang justru, menurut Foucault, amat penting dalam memahami bagaimana penerapan kekuasaan disipliner tersebut bekerja. Dengan demikian usaha dalam perjuangan melakukan perlawanan tidak hanya sebatas pada suatu bentuk kekuasaan yang tampak seperti menuntut kesewenangan kebijakan pemerintah dan institusi negara, atau tindakan represif dari aparatus negara, namun juga perlawanan terhadap segala bentuk kekuasaan yang dapat merusak tujuan sosial berupa kesejahteraan dan keadilan seperti yang termanifestasi dalam kekuasaan disipliner.
Perlawanan terhadap kekuasaan disipliner (anti-authority struggle)
Dalam esai berjudul The Subject & Power, Foucault menciptakan kata baru yang disebut dengan anti-authority struggle.[11] Kata tersebut merujuk pada perlawanan terhadap kekuasaan disipliner. Ia menyatakan bahwa perjuangan tersebut berbeda dengan perjuangan juridico-diskursif seperti halnya yang sering dituju oleh demonstrasi mahasiswa. Perjuangan ini didefinisikan sebagai perlawanan yang bersifat lokal, tidak berfokus terhadap bentuk kekuasaan terminal, namun lebih pada kekuasaan disipliner.
Perjuangan ini berfokus pada peninjauan ulang bagaimana bentuk kekuasaan disipliner bekerja melalui instrumen-instrumen yang diterapkan di lingkungan kampus seperti upaya civitas akademika dalam mencampuri urusan mahasiswa: tata tertib, perizinan kegiatan non-akademik, kegiatan mahasiswa seperti pembatasan jam kegiatan, kebebasan organisasi seperti yang sempat polemik pada Universitas Indonesia berupa pakta integritas, kebebasan berpendapat seperti halnya pada intervensi aparat universitas dalam mengintervensi kajian yang dianggap tidak sesuai aturan kampus, dan kebebasan akademik semisal pembatasan diskursus ideologi tertentu.[12]
Semua usaha di atas juga secara tidak langsung dapat mempengaruhi variabel yang berperan pada fleksibilitas mahasiswa untuk melakukan perjuangan sosial, menciptakan pergerakan mahasiswa yang lebih solid, dan meningkatnya idealisme mahasiswa. Atau dalam arti lain sebagai penutup, sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault,
“Tugas politik pada masyarakat kita adalah mengkritisi institusi-institusi yang nampaknya terlihat netral dan independen, mengkritisinya dan menyerangnya, dengan begitu kita dapat melakukan perlawanan terhadapnya (kekuasaan).” [13]
Catatan kaki
- Gie, S.H. (2011). Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial.
- Nasional Kompas. (2019). Revisi UU KPK Disahkan, KPK Bentuk Tim Transisi. Retrieved November 7, 2020, from https://nasional.kompas.com/read/2019/09/18/10303891/revisi-uu-kpk-disahkan-kpk-bentuk-tim-transisi
- Tirto. (2020). Kronologi Omnibus Law Disahkan Hingga Jokowi Terima UU Cipta Kerja. Retrieved November 7, 2020, from https://tirto.id/kronologi-omnibus-law-disahkan-hingga-jokowi-terima-uu-cipta-kerja-f5YM
- Chomsky, N., & Foucault, M.(2006). The Chomsky-Foucault Debate: On Human Nature. London: The New Press.
- Foucault, M. (1995). Discipline and Punish: The Birth of the Prison. United Kingdom: Vintage Books Publishing.
- Ibid[5].
- Mills, S. (2003). Routledge Critical Thinkers: Michel Foucault. London: Routledge Taylor and Francis Group.
- Taylor, D.(2011). Michel Foucault: Key Concepts. United Kingdom: Acumen Publishing Limited
- Ibid[8].
- Mitchell, P. R., & Schoeffel, J. (2002). Understanding Power: The Indispensable Chomsky. New York: The New Press.
- Foucault, M. (1982). The Subject and Power. Critical Inquiry,8(4), 777-795. Retrieved November 7, 2020, from http://www.jstor.org/stable/1343197
- Tirto. (2020). Pakta Integrita UI Membatasi Hak Politik, “Memangnya Kopkamtib?”. Retrieved November 7, 2020, from https://tirto.id/pakta-integritas-ui-membatasi-hak-politik-memangnya-kopkamtib-f4sU
- Ibid[4].
Dzulkarnaen Aziz
Mahasiswa koas di FKUI-RSCM. Berfilsafat di waktu luang serta mendalami teknologi dan teori kritis.
satu Respon