Buku Agnosthesia: Ketidakmampuan Mengenal Emosi yang Membuat Kita Menderita karya Maria Frani Ayu (2021) dimulai dengan untaian kata pengantar yang dialunkan lembut tetapi isinya kuat mendorong dan membangkitkan ragam emosi; dengan judul puitis: Daun-daun di Jalan Menuju Altar.
Ayu ingin berbicara mengenai emosi, tidak (hanya) secara teoritis tetapi (lebih dari segi) praktis. Tidak heran jika ia menawarkan semacam solusi untuk emosi-emosi (negatif) yang sangat mungkin dialami setiap orang; agar dapat menghadapinya secara positif. Permainan dua kutub, seperti lembut dan kuat, tersesat tetapi justru mendekati tujuan, kesunyian yang ramai, dan kutub-kutub lainnya dapat kita temui dalam buku ini.
Permainan kutub yang Ayu lakukan menyerupai konsep themata Gerald Holton. Kadang tidak harus dalam bentuk kutub, tetapi dua karakter berbeda yang melengkapi, yang tumpang tindih, atau yang satu berada dalam yang lain tetapi yang lain ini tidak dapat kita temukan pada yang satu itu. Salah satunya yang paling menarik buat saya adalah mengenai kebahagiaan dan kedamaian.
Menurut Ayu, mendoakan seseorang untuk selalu bahagia memang mengesankan. Tetapi sebenarnya kita tidak dapat selalu bahagia karena emosi manusia itu berwarna-warni. Oleh sebab itu, ide “selalu bahagia” dalam pandangan Ayu menawarkan kepalsuan dalam menjalani hidup.
Kiranya selalu bahagia
Perihal kebahagiaan ini cukup menohok saya. Saya jadi diingatkan masih sering mengucapkan kata-kata “palsu”. “Sehat dan bahagia selalu ya”, begitu saya meng-kopi kalimat-kalimat yang ramai diucapkan di medsos. Tentu dengan tulus saya mendoakan kedua hal ini pada teman-teman saya. Di sisi lain, saya tahu pasti kita tidak akan selalu sehat apalagi selalu bahagia. Meskipun bahagia bisa menjadi “karakter” (maksudnya cenderung menetap) dan harus diupayakan seperti yang diyakini (lagi-lagi) Simone de Beauvoir.
Saya jadi teringat pada karya sosiolog sekaligus direktris penelitian di EHESS Paris, Eva Illouz bersama Edgar Cabanas, psikolog dan dosen dari Universitas Camilo José Cela, Madrid. Mereka menulis buku berjudul Happycratie: Comment l’industrie du bonheur a pris le contrôle de nos vies (2018; dalam bahasa Inggris buku ini diberi judul sebagai Manufacturing Happy Citizens: How the Science and Industry of Happiness Control Our Lives, 2019). Illouz dan Cabanaz memaparkan bagaimana ilmu dan industri kebahagiaan telah mengontrol kehidupan manusia.
Istilah happycratie itu sendiri diciptakan untuk memperlihatkan strategi-strategi baru yang koersif, keputusan-keputusan politik, gaya manajemen perusahaan, pola konsumsi, obsesi individual, dan hierarki emosional, yang muncul dan berkembang dalam zaman ini yang dipanggil Illouz dan Cabanaz sebagai zaman kebahagiaan.
Are you happy now?, demikian pertanyaan seorang kawan yang mengetahui kisah cinta saya yang pernah kandas. Pandai memancing orang bercerita, satu hari ia berhasil membuat saya sesenggukan menyampaikan cerita patah hati yang baru saja saya alami. Sejak itu, setiap kali bertemu, meski sudah sepuluh tahun berlalu, ia akan mengajukan pertanyaan ini, seraya menunjukkan kekhawatirannya kalau-kalau temannya yang malang ini tidak bahagia. Saya tertawa geli tiap kali mendapatkan pertanyaan ini dari teman saya yang maksudnya tentu baik dan perhatian ini.
Pertama, sekalipun saya menangis tersedu-sedu karena putus cinta, saya tidak merasa tidak bahagia pada saat itu, meskipun tentu sedih dan terluka. Dalam hal ini saya sependapat dengan Simone de Beauvoir bahwa merasa bahagia bisa menjadi suatu karakter, tepatnya kelebihan yang tidak dimiliki setiap orang.
Saya bersyukur menjadi salah satu orang yang secara umum tidak merasa tidak bahagia. Saya tuliskan kalimat dalam bentuk negatif, karena saya tentu tidak non stop bahagia tapi juga bukan berarti saya tidak bahagia ketika saya tidak merasa bahagia. Bahagia dan tidak bahagia saya kira bukan dikotomi. Merasakan dan mengalami kesedihan tidak menandakan kita tidak bahagia.
Kedua, kata now yang berarti saat ini. Awalnya yang saya tangkap adalah ia merujuk kepada apa yang saya alami di masa lalu untuk mengevaluasi kebahagiaan saya saat ini. Seandainya pun saya tidak bahagia pada waktu itu akibat putus cinta, apa saya dikutuk untuk tidak bahagia selamanya sehingga ia senantiasa mengkhawatirkan kebahagiaan saya?
Bisa jadi pula ia sekedar mengharapkan saya bahagia. Sebab baginya penting untuk saya dan setiap orang berbahagia. Kawan saya ini psikolog yang mengadopsi psikologi positif dalam pengajaran maupun praktik konseling.
Happycratie, psikologi positif, dan glorifikasi kebahagiaan
Lebih dari tiga dekade ini, psikologi positif berkembang, demikian Illouz dan Cabanas mengawali tulisan mereka tentang Happycratie. Sesuai namanya, psikologi positif mengutamakan nilai-nilai positif seperti optimisme, harapan, resiliensi, dsb. Saya termasuk yang jatuh cinta pada teori ini. Ide dasar psikologi positif lebih sesuai dengan tujuan saya.
Ketimbang melihat yang patologis dalam diri individu, memberi label gangguan yang ia alami, saya memilih untuk melihat aspek-aspek positif yang bisa dikembangkan individu. Inilah yang dikumandangkan psikologi positif. Tambahan lain yang menyenangkan dan memberi harapan dari teori ini adalah bahwa dalam setiap pengalaman negatif, manusia dapat bangkit dan bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Sayangnya dalam perkembangannya, penerapan psikologi positif menjadi berlebihan. Psikologi positif mengagung-agungkan kebahagiaan sebagai hal yang harus dicapai individu, secara individual. Setiap orang berupaya keras, bahkan mewajibkan diri untuk bahagia. Ide kebahagiaan ini diambil oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk membuat pegawai puas dan bahagia agar kinerja mereka meningkat. Sejumlah negara kini menjadikan kebahagiaan penduduknya sebagai indikator keberhasilan pembangunan.
Happycratie dan industri kebahagiaan
Kapitalisme memanfaatkan ide kebahagiaan dari psikologi positif: menjadikan kebahagiaan individu sebagai kapital dengan memproduksi apa yang dinamakan Illouz sebagai barang-barang dagangan emosional (les marchandises emotionnelles).
Bentuk pertama adalah dalam bentuk hadiah-hadiah “kecil” dengan target utamanya adalah remaja (putra-putri) dan perempuan dewasa. Kado-kado bertaburan di toko-toko menunggu untuk dibeli dan diberikan kepada mereka yang berulang tahun. Hari ibu, hari ayah, dan apalagi hari kasih sayang dirayakan, semua tersenyum gembira menerima kado. Bukan hanya yang menerima yang bahagia tetapi juga si pemberi. Bahkan bukankah lebih bahagia memberi daripada menerima? seperti bunyi salah satu ayat Alkitab. Jika pun yang diterima tidak sesuai selera, bukankah yang penting adalah niat dan perhatian? Alangkah bahagianya mendapat perhatian dari orang tersayang.
Klub-klub liburan menawarkan atmosfer sebagai bentuk dagangan emosional kedua, yang memberikan jaminan kebahagiaan untuk pasangan dan keluarga. Pasangan-pasangan yang (terutama) sedang dalam krisis disarankan untuk berlibur. Menikmati pemandangan indah, memanjakan diri dengan spa dan sauna, menyantap makanan lezat, dan menginap di tempat yang out of the ordinary. Padahal konflik yang harus ditangani ada dalam hidup sehari-hari. Liburan bisa jadi menyenangkan tetapi bukan sumber kebahagiaan apalagi penyelesai konflik kronis dua insan.
Barang dagangan ketiga bersifat psikologis. Buku-buku psikologi dengan model self-help literature banyak menawarkan cara meraih kebahagiaan. Objek anti stres, terapi anti stres, terapi kesejahteraan (well-being), coaching services, dan tips-tips self-improvement, semua laris-manis di pasaran. Kebahagiaan telah menjadi serangkaian “emodities” yaitu jasa, terapi, dan produk yang menjanjikan transformasi emosional : merasa lebih baik, menjadi pribadi yang lebih baik, merasa bahagia.
Tirani kebahagiaan
Eva Illouz tidak menentang ide kebahagiaan yang sudah dari zaman Aristoteles menjadi ideal/tujuan hidup manusia. Kebahagiaan ini berbicara mengenai nilai-nilai kebajikan (virtue) yang menjadi nilai-nilai bersama untuk menjalani hidup yang baik. Yang disayangkan Illouz adalah ide kebahagiaan yang berkembang hari ini adalah memaksimalkan potensi individu untuk bisa mendapatkan kesenangan dan kebahagiaan dengan mengabaikan nilai-nilai kebajikan bersama.
Jadi yang Illouz tentang di sini adalah visi reduksionis dan individualis dengan menempatkan kebahagiaan individu sebagai nilai utama. Kebahagiaan menjadi tuntutan. Tidak bahagia menjadi sumber kecemasan.
Manusia pada akhirnya menjadi budak dari upaya mencapai kebahagiaan dan menunjukkan kebahagiaan ini. Kita semakin konsumtif, individualis, dan narsis. Berlomba-lomba kita menghiasi media sosial dengan foto-foto (tampak) bahagia. Sebab kita tidak hanya ingin bahagia tapi juga tampil bahagia.
Dalam upaya bisa bahagia, kita mengkategorikan emosi dan melakukan apa yang Illouz namakan sebagai hirarki emosi. Maksudnya kita membedakan emosi negatif dengan positif dan melakukan patologisasi emosi negatif. Kita menempatkan emosi positif sebagai yang baik, dan menganggap emosi-emosi negatif sebagai patologis (tidak normal, gangguan). Kita berupaya keras menghindarinya, untuk tidak mengalaminya.
Kita menerapkan hal ini pada orang lain. Kalimat seperti “Sudah jangan menangis, jangan bersedih, jangan takut, dan jangan-jangan lainnya lebih sering kita ucapkan pada orang yang menampilkan emosi negatif, ketimbang membiarkannya untuk merasakan. Kita meminta orang yang kehilangan suami/anak/orangtua untuk kuat padahal jelas-jelas mereka sedang berduka.
Dalam kehidupan, tidak mungkin kita tidak pernah sedih, marah, atau kecewa. Berjuang total untuk bahagia dan bersikeras tidak ingin merasa tidak bahagia, ketika pengalaman buruk datang diiringi tentu saja emosi-emosi negatif, kita semakin terpuruk, merasa gagal, merasa bersalah, dan akibatnya justru jadi tidak bahagia. Pada akhirnya upaya mencapai kebahagiaan menjadi tirani yang menjebak manusia dalam ketidakbahagiaan.
Lebih buruknya lagi, karena upaya mencapai kebahagiaan ini bersifat individual, kita melakukan privatisasi emosi-emosi negatif. Kita sungkan bicara pada orang lain ketika sedang sedih dan berduka. Karena merasa tidak bahagia menjadi hal yang memalukan untuk diakui.
Terakhir, Illouz dan Cabanas mencatat konsekuensi dari individualisasi kebahagiaan pada ketidakmampuan masyarakat untuk melihat ketidakadilan. Menjadikan kebahagiaan sebagai tanggung jawab individual pada akhirnya menghilangkan solidaritas dan kepedulian sesama. Sebab masing-masing berfokus pada kebahagiaannya sendiri. Faktor-faktor sosial yang menyumbang terhadap ketidakadilan, kemiskinan, dan penderitaan manusia jadi tidak mendapat perhatian.
Padahal dengan menjadikan kebahagiaan sebagai industri saja, sudah pasti tercipta ketidakadilan karena tidak semua orang punya akses pada kebahagiaan yang ditawarkan kapitalisme. Tidak hanya ketidakadilan akibat industri kebahagiaan yang ditekankan Illouz. Lebih jauh, ia mengkhawatirkan bahwa dengan menyangkal emosi-emosi negatif (sedih, kecewa, marah), dengan menyimpannya sendiri (privatisasi), dengan selalu ingin (tampil) bahagia, ketidakadilan dan penderitaan dalam masyarakat pada akhirnya terbungkam.
Orang yang stres karena kehilangan pekerjaan harus berjuang sendirian untuk dapat mengatasi stresnya, menemukan pekerjaan, dan (kembali) bahagia. Perempuan yang bercerai harus berjuang sendirian untuk bisa bahagia (lagi) sambil mencari nafkah dan mengurusi anak-anaknya. Tidak ada yang peduli bahwa penghasilan ibu tunggal ini terbatas karena hanya bisa kerja part-time atau bahkan tidak ada perusahaan yang mau mempekerjakannya karena sudah terlalu lama ia menjadi ibu rumah tangga. Tidak ada yang berupaya melihat bahwa ada sistem ekonomi yang seharusnya diperbaiki.
Masing-masing individu wajib bahagia, ketidakbahagiaan tidak ada tempat dalam masyarakat. Padahal ketidakbahagiaan ini perlu dirasakan dan tidak disangkal, bukan semata untuk kepentingan individu tetapi untuk kepentingan masyarakat. Dengan setiap orang mengenali dan mengakui penderitaannya akan membawa perbaikan dalam masyarakat. Bukankah gerakan feminis lahir dari ketidakadilan dan penderitaan yang dirasakan dan diakui perempuan?
Mengakui emosi-emosi negatif dan mengalaminya akan mengantarkan kita menjadi bagian dari masyarakat yang tidak egois, yang bertanggung jawab untuk bersama-sama menciptakan masyarakat yang lebih adil dan solider.
Kedamaian bukan kebahagiaan
Maria Frani Ayu dalam bagian akhir Agnosthesia menegaskan bahwa ia tidak menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidup. Ia memilih kedamaian. Sebab dalam kedamaian ada kebahagiaan, tetapi kebahagiaan tidak (selalu) membawa kedamaian. “Ketika damai menyelimuti diri, kebahagiaan ada di sana, kelegaan ada di sana, dan rasa sakit pun ada di sana. Emosi-emosi itu ada tanpa harus saling berperang melawan satu sama lain.” (p. 161).
Jiwa kiranya menjadi tempat pertemuan emosi-emosi yang mungkin berkonflik tanpa harus menimbulkan konflik, bahwa bahagia dan tidak bahagia berpadu sebagaimana hidup manusia penuh ambiguitas. Hanya dengan mengenali dan mengakui ambiguitas, manusia terhindar dari la mauvaise foi (bad faith), demikian Simone de Beauvoir mengangkat ambiguitas sebagai etika filsafat eksistensialisme.
Referensi:
Frani Ayu, Maria. (2021). Agnosthesia: Ketidakmampuan Mengenal Emosi yang Membuat Kita Menderita. Yogyakarta, EA Books.
Illouz, Eva & Cabanaz, Edgar. (2018). Happycratie: Comment l’industrie du bonheur a pris le contrôle de nos vies. Paris, Premier Parallèle.