Jika hukum alam adalah kehendak Tuhan, maka definisi Tuhan hanya untuk mengganti satu misteri dengan misteri lain.
Kutipan di atas adalah bentuk kesinisan dua penulis buku The Great Design pada jawaban Kepler, Galileo, Newton, dan Descartes atas pertanyaan klasik apa asal usul hukum alam?
Penulis buku ini ialah dua orang fisikawan berpengaruh abad ini, Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow. Sebagaimana yang kita tahu jika Hawking, ilmuwan yang kadang disorot sebagai seorang yang atheis tulen karena keberhasilannya meneliti blackhole walau dalam kondisi fisik yang sangat mengenaskan. Sedangkan Mlodinow seorang keturunan yahudi dan seorang profesor fisika teoritik tapi dikenal luas dengan buku-buku bertemakan emosi dan pengembangan diri seakan-akan dirinya juga seorang profesor psikologi.
Karakteristik buku yang sedang saya bedah ialah berdasarkan determinisme sains yang digagas pertama kali oleh Marquis de Laplace pada tahun 1817, yang menjelaskan secara menyeluruh kenapa kedua penulis ini begitu menertawakan para filsuf yang mungkin menciptakan kesalahan tapi justru kesalahan tersebut menjadi sebuah percikan ide yang menjelaskan hal-hal mengenai alam semesta lebih dalam.
Gertakan Pertama
Pada halaman lima tertera di sana: Secara tradisional, pertanyaan-pertanyaan seperti Bagaimana tingkah laku alam semesta? Apa hakikat dari kenyataan? Dari mana segala sesuatu berasal? Apakah alam semesta membutuhkan pencipta? Semua yang tadi adalah pertanyaan filosofi, tapi filosofi sudah mati, filosofi sudah tidak mengimbangi kemajuan terkini dalam sains, terutama fisika. Para ilmuwan telah menjadi pemegang obor kemajuan dalam pencarian pengetahuan.
Ketidakseriusan para filsuf dimulai dari tahun 5600 SM, saat mereka mengisahkan suku Indian Klamath yang mempercayai bahwa meletusnya Gunung Mazama disebabkan oleh kemarahan dewa. Pada akhirnya, Descartes dan para filsuf lain di abad ke-17 mulai menyusun dan mengetatkan standar sains.
Hal yang paling saya sukai ialah disisipkannya beberapa anekdot kompleks khas mereka, yang salah satu contohnya ialah ketika Paus Yohanes XXI menerbitkan daftar yang berisi 219 orang terkutuk, yang salah-satunya berisi bid’ah jika seseorang mempercayai bahwa alam itu menuruti suatu hukum dan hal itu berdampak akan kemahakuasaan Tuhan. Lucunya mereka melanjutkan bahwa Paus Yohanes XXI justru tewas akibat efek gravitasi beberapa bulan kemudian, ketika atap istananya runtuh menimpa dirinya.
Miskonsepsi Terhadap Filsuf
Hawking & Mlodinow memandang para filsuf yang dikatakan para tetua para guru menelan itu bulat-bulat. Pada bagian yang menjelaskan perkembangan ilmu fisika, mereka merendahkan salah satu filsuf yaitu Aristoteles, yang mereka tulis tak ada keperluan melakukan pengukuran dan perhitungan. Aristoteles malah membangun ilmu fisikanya berdasarkan kaidah-kaidah yang menarik bagi akalnya. Mereka lupa mereka mengkritik siapa disitu, seorang yang hidup 2000 tahun yang lalu. Pengetahuan mengenai kuantum dan lubang cacing semesta telah menutup para penulis pada akar-akar dari semua cabang ilmu tersebut.
Hawking berpendapat bahwa proyeksi dunia dalam dua dimensi tak bisa dimasukkan dalam satu peta. Dibutuhkan peta dari masing-masing wilayah yang kemudian dikumpulkan. Jika seseorang memaksa untuk mengakumulasi semua daerah menjadi satu, maka proyeksi bumi menjadi mustahil. Seperti proyeksi Mercator yang biasa kita lihat berupa peta dunia yang dipajang di kelas. Justru pemikiran tersebut tidak diaplikasikan juga ke dalam empatinya mengenai pemahaman Aristoteles. Seorang yang hanya bekerja sebagai guru yang mungkin tak pernah membaca buku-buku mengenai psikologi pendidikan, yang hanya seorang pencetus yang masih banyak kurang. Cermati kehidupan nenek moyang kita.
- 21/06/2023