Hegemoni Wacana Teologis dalam Ruang Publik: Refleksi atas Peristiwa Mihnah

Nama Mu’tazilah sebagai aliran teologi Islam memiliki pengaruh yang cukup kuat di kalangan para pemikir muslim era modern abad ke-19 M, seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Sayyid Ahmad Khan. Meski pun pijar-pijar pemikiran Mu’tazilah sangat diminati para cendekiawan muslim modern, namun Mu’tazilah sebagai aliran teologi sendiri pernah mengalami keterpurukkan dan mendapat kecaman yang sangat hebat di kalangan umat Islam pada abad ke-9 M. Sikap sentimen terhadap Mu’tazilah ini disebabkan oleh peristiwa Mihnah. Peristiwa Mihnah  membawa dampak yang tidak menguntungkan bagi Mu’tazilah sebagai aliran teologi. Upaya represif yang dilakukan oleh seorang penguasa Abbasiyah kala itu terhadap para qadi (hakim), para fuqaha, serta para ahli hadis membawa citra buruk bagi Mu’tazilah ketika mereka ditetapkan sebagai mazhab resmi negara. Pada era kekhalifahan al-Mutawwakil, Mihnah mulai dicabut dan khalifah menghapus Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara. Pasca pencabutan Mihnah dan penghapusan Mu’tazilah sebagai mazhab negara, popularitas Mu’tazilah sebagai aliran teologi mulai pudar. Pandangan-pandangan teologis yang bercorak rasional mulai dilarang, dan buku-buku mereka dibakar. Konsekuensi dari lahirnya peristiwa Mihnah  ini adalah sikap sentimen yang timbul terhadap kalangan umat Islam pada saat itu, sampai Mu’tazilah sebagai aliran teologi yang rasional dihidupkan kembali oleh para pemikir modern abad ke-19 hingga sekarang.

Sebagaimana yang diketahui secara khalayak umum, Mu’tazilah dikenal sebagai aliran teologi yang sangat rasional di mana mereka menyebut diri mereka sebagai ahl at-tauhid. Para pemikir Mu’tazilah dikenal di kalangan masyarakat sebagai pemikir yang benar-benar mengesakan Tuhan. Di sini terlihat di mana para pemikirnya menolak pandangan antropomorfisme, serta sangat kukuh dengan pandangan nahyu al-sifat (peniadaan sifat-sifat). Kaum Mu’tazilah memahami sifat-sifat Tuhan tidak lepas dari zat-Nya. Allah mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar melalui zat-Nya. Sebab, jika sifat-sifat Tuhan dipahami sebagaimana lazimnya, maka akan memunculkan dua entitas yang qadim (kekal), yakni zat Tuhan dan sifat-Nya. Pandangan tersebut berimplikasi pada penolakan Al-Qur’an sebagai kalamullah, sebagaimana yang dipahami oleh aliran Asy’ariah selanjutnya. Al-Qur’an sendiri dipahami kaum Mu’tazilah sebagai makhluk. Karena Al-Qur’an adalah makhluk, maka diciptakan. Kaum Mu’tazilah dalam hal ini benar-benar menyucikan Tuhan.

Para ahli sejarah Islam menyebutkan bahwa Mihnah merupakan suatu peristiwa penyelidikan, pemeriksaan, dan pemaksaan yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap para qadi (hakim), para fuqaha, serta ahli hadis agar meyakini bahwa al-Qur’an sendiri adalah makhluk (diciptakan). Mihnah mulai diterapkan pada masa kekhalifahan al-Ma’mun yang merupakan khalifah ketujuh Abbasiyah kala itu. Dalam peristiwa itu ia menguji akidah para qadi (hakim), para fuqaha, serta ahli hadis. Tujuan dari pengujian ini ialah meluruskan akidah para warga negaranya. Sebab pada era kekhalifahan al-Ma’mun, banyak para qadi (hakim), para fuqaha, serta ahli hadis yang masih meyakini kekadiman al-Qur’an. Barang siapa tidak mengimani bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia harus dipenjara. Padahal para qadi harus dapat dipercaya, terlebih lagi para fuqaha dan ahli hadis yang memiliki pengaruh besar di masyarakat.

Upaya menghegemoni keyakinan teologis para warga negaranya dilakukan dengan mengirimkan surat kepada gubernur Baghdad yang berisi pandangan tentang kemakhlukan Al-Qur’an, serta perintah untuk menguji para qadi (hakim), para fuqaha, serta ahli hadis. Pada saat itu banyak dari kalangan hakim, fuqaha, serta ahli hadis yang mengakui kemakhlukan Al-Qur’an. Akan tetapi ada indikasi pula bahwa sebagian dari mereka melakukan taqiah, hal ini demi menghindari siksaan yang akan dilakukan oleh penguasa pada saat itu. Dari pengujian yang dilakukan para Gubernur tersebut, terdapat 30 orang yang memberikan jawaban tidak tegas. Mereka tidak terang-terangan mengakui kemakhlukan Al-Qur’an maupun kekadiman al-Qur’an. Jawaban yang dilontarkan secara tidak tegas itu membuat khalifah al-Ma’mun merasa tidak puas. Akhirnya al-Ma’mun kembali memanggil 30 orang yang terdiri dari para qadi (hakim), para fuqaha, serta ahli hadis untuk diuji kembali. Mereka semua akhirnya mengakui kemakhlukan Al-Qur’an kecuali Ahmad Ibn Hambal dan Muhammad Ibn Nuh yang tetap dalam pendiriannya.

Sepeninggal Khalifah al-Ma’mun, Mihnah tetap dijalankan oleh Khalifah al-Mu’tashim. Ia melanjutkan ujian-ujian tersebut, dan memenjarakan Ahmad Ibn Hambal. Selanjutnya pada era kekhalifahan al-Wasiq Mihnah tetap dilanjutkan, akan tetapi Mihnah tidak hanya dilakukan terhadap para qadi, para fuqaha, dan para ahli hadis. Seluruh masyarakat kala itu sehingga penjara banyak dihuni oleh orang-orang yang menolak kemakhlukan Al-Qur’an. Khalifah al-Wasiq tidak menyiksa dan memenjarakan Ahmad Ibn Hambal, melainkan melarangnya untuk tinggal di negeri itu. Ketika kekhalifahan al-Wasiq digantikan oleh al-Mutawakkil, Mihnah masih terus berlanjut selama dua tahun. Namun pada akhirnya, al-Mutawakkil membatalkan Mihnah dan menghapus Mu’tazilah sebagai mazhab negara. Dari sini tamatlah sudah riwayat Mihnah yang menghantui para masyarakat pada saat itu. Popularitas Mu’tazilah sebagai aliran teologi pun mulai menurun pada saat itu.

Dari peristiwa Mihnah tersebut dapat dilihat bagaimana penguasa menghegemoni keyakinan teologis masyarakatnya. Indoktrinasi teologis dilakukan secara terang-terangan melalui paksaan, bukan secara terselubung. Apabila ditelaah lebih lanjut melalui perspektif Gramscian, upaya penghegemonian yang dilakukan oleh penguasa sendiri berjalan melalui dua tahap, yakni dominasi dan direction atau pengarahan intelektual. Al-Ma’mun sebagai seorang khalifah sendiri memiliki posisi yang kuat dalam melancarkan doktrin kemakhlukan Al-Qur’an.

Dalam upaya menyeragamkan akidah para warga negaranya, al-Ma’mun memiliki instrumen-instrumen kekuasaan dalam melancarkan doktrinnya, yakni para qadi, para fuqaha, dan para ahli hadis. Ketiganya merupakan instrumen yang digunakan oleh penguasa, karena mereka dipercaya penuh oleh para masyarakat pada saat itu, terutama para fuqaha dan ahli hadis. Kemudian, al-Ma’mun melakukan pengarahan intelektual terhadap semua warga negaranya dengan menerapkan regulasi bagi masyarakat. Terlihat bagaimana al-Ma’mun menerapkan hukuman penjara bagi siapa saja yang menolak paham kemakhlukan Al-Qur’an.

Ruang publik sendiri seolah-olah tercemar oleh kekuasaan dalam peristiwa Mihnah tersebut. Padahal ruang publik sendiri – sebagaimana yang dikatakan Habermas – sebagai wadah pertemuan antar diskursus masyarakat. Dengan kata lain ruang publik merupakan ruang demokratis, di mana para masyarakat dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan, serta kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Selain itu, keberadaan ruang publik sendiri dapat menjadi wahana bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya terhadap pemerintah. Upaya pencemaran ruang publik dengan cara melakukan indoktrinasi keyakinan teologis terhadap para masyarakatnya tentu merupakan suatu upaya yang mengarah pada dehumanisasi.

Alih-alih menyeragamkan akidah warga negaranya, namun yang ada hanyalah suatu bentuk upaya yang bertujuan untuk merongrong martabat manusia. Manusia layaknya suatu hewan yang didikte secara paksa, tanpa boleh memiliki pandangan yang bertentangan. Padahal keyakinan teologis merupakan suatu hal yang bersifat individu. Keyakinan teologis merupakan cara manusia dalam memahami agamanya, serta sebagai cara dalam memahami realitas lingkungan sekitarnya. Setiap manusia memiliki rasionalitas masing-masing dalam memahami realitas. Kebijakan mengenai penerapan aliran teologi tertentu sebagai mazhab negara satu-satunya tentu tidak dapat dibenarkan. Hal itu justru akan membuat ruang publik semakin tercemar, dan tentu para warga negara tidak akan mampu menyampaikan aspirasi dalam ruang publik. Padahal ruang publik sendiri harus bersih dari kepentingan-kepentingan tersebut. Hendaknya keyakinan teologis dikomunikasikan dalam ruang publik melalui perbincangan rasional.

Dari peristiwa Mihnah tersebut kita dapat belajar bagaimana ruang publik benar-benar tercemar oleh kekuasaan. Upaya menghegemoni keyakinan teologis telah mencemari keberadaan ruang publik sebagai wahana diskursus bagi masyarakat. Sebagai wadah bagi penyampaian aspirasi masyarakat, ruang publik sendiri harus bebas dari hegemoni penguasa. Eksistensi ruang publik sendiri harus selalu dijaga. Baik penguasa maupun masyarakat harus saling bekerja sama dalam menjaga keberadaan ruang publik yang bebas penguasaan. Indoktrinasi secara paksaan harus diganti dengan perbincangan rasional. Sebab setiap individu sendiri memiliki cara serta rasionalitas masing-masing dalam memandang suatu realitas. Hendaknya perbedaan cara pandang tersebut selalu dikomunikasikan dalam ruang publik yang bebas kekuasaan. Pandangan yang kontradiktif tersebut harus dihadapi secara argumentatif dan dialogis, bukan dihadapi secara represif melalui instrumen-instrumen kekuasaan yang tersedia.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.