Jean-Paul Sartre
Jean-Paul Sartre

Kepopuleran kutipan “Hell is—Other People” milik filsuf Jean-Paul Sartre, sayangnya, tidak seturut dengan pemahaman yang penuh atasnya. Lalu kemudian dengan pemahaman yang nanggung, kutipan itu dimunculkan ke mana-mana, ke dunia nyata maupun ke dunia maya. Lebih-lebih di dunia maya, bukan perkara sukar untuk menemukan kalimat “Hell is Other People” bertengger menjadi posting-an atau bio di media sosial seseorang.

Daya relate dari kutipan dengan pemahaman nanggung itu yang barangkali membuatnya begitu disukai oleh banyak orang. Akan tetapi, pemahaman yang separuh perlu diputus, sebab akan menimbulkan rantai kekeliruan yang tak akan habis-habis.

Secara sederhana, tanpa perlu melacak lebih dalam, saat membaca kalimat “Hell is Other People” kira-kira bakal timbul kesan mengenai relasi antar manusia yang seolah-olah niscaya konfliktual. Seakan tak ada tempat bagi manusia untuk memahami satu sama lain. Hell atau neraka di kalimat itulah yang mensyaratkannya.

Tentu saja pemahaman itu adalah pemahaman yang nanggung. Apakah benar orang lain selalu sebagai neraka? Apakah relasi manusia dengan manusia lainnya niscaya konfliktual? Sepesimis itukah pesan yang ingin disampaikan oleh kalimat itu?

Dalam tulisan ini, penulis hendak membentangkan temuan Jonathan Webber terkait apa sebetulnya yang dimaksud oleh Sartre atas kalimat “Hell is Other People”, sekaligus akan kita tengok ada apa di balik neraka itu, mengapa ia bisa menyeruak dari diri orang lain atau dari diri kita sendiri saat berelasi satu sama lain.

Tulisan ini akan banyak mengambil referensi dari buku The Existentialism of Jean-Paul Sartre karya Jonathan Webber. Untuk pemahaman yang lebih komprehensif silakan langsung rujuk bukunya setelah tuntas membaca tulisan ini.

Huis Clos dan Gagasan di dalamnya

Barangkali orang-orang sudah mengetahui muasal dari kalimat “Hell is Other People”. Tetapi untuk sedikit menyegarkan ingatan, sejenak akan kita bahas.

Kalimat “Hell is Other People” pertama kali muncul dalam karya drama Sartre berjudul Huis Clos (No Exit). Drama yang ditulis pada 1944 ini mempertanyakan bagaimana seseorang dapat bertindak secara bebas dan autentik, sementara kebebasan dan kesadaran orang lain berada melingkunginya.

Drama ini sangat sederhana, tak butuh banyak karakter dan properti, hanya ada empat pemeran dan sebuah ruang tamu bergaya Second Empire dengan ornamen perunggu terhias di rak perapian. Akan tetapi di balik kesederhanaannya itu, terkandung berbagai ide filosofis yang diselipkan Sartre ke dalam metafora-metafora, untuk menampung gagasan-gagasan eksistensialismenya. Karena memang, sebelum dibedah secara lebih komprehensif dalam Being and Nothingness, dalam No Exit (atau karya-karya sastra sebelumnya) telah tertampung sekilas gagasan-gagasan Sartre, salah satunya mengenai relasi antar manusia.  

Terkait tafsir atas metafora, Kevin W. Sweeney misalnya, lewat buku The Philosophical Contexts of Sartre’s The Walls and Other Stories, memberi eksplanasi terkait absennya cermin dalam drama No Exit, yang hal tersebut (ketidakhadiran cermin) kemudian menuntut para karakter untuk dependent satu sama lain. (Sweeney, 2016) Hingga mau tak mau, pola saling mengobjektifikasi menjadi tak terhindarkan. Dan bagi manusia, sebagai being for-itself, pengobjektifikasian akan dapat mengganggu kebebasannya yang inheren.

Tak mengherankan bila kalimat quotable “Hell is Other People yang lahir dari drama itu diterjemahkan sebagai relasi antar-manusia yang niscaya konfliktual. Padahal tidak demikian.

Kekeliruan atas “neraka”

Selain karena kalimat Hell is—Other People”, dugaan bahwa relasi antar manusia niscaya konfliktual juga diakibatkan oleh apa yang dikatakan Sartre dalam Being and Nothingness: “Conflict is the original meaning of being-for-others.” (Sartre, 1956)

Bagi Jonathan Webber kalimat-kalimat itu kerap kali disalahartikan, dalam bukunya The Existentialism of Jean-Paul Sartre, Webber mengatakan:

But these phrases are usually misunderstood. They are usually taken to express a pessimistic account of interpersonal and social relations as necessarily conflictual, a theory that we can only misunderstand one another and must inevitably struggle to dominate one anotherThis is not, in fact, Sartre’s view.” (Webber, 2007)

Alih-alih mengatakan bahwa relasi antar manusia niscaya konfliktual, Webber menyatakan bahwa Sartre sebenarnya hendak menyibak hal yang mengusik hubungan antarmanusia, dan hal tersebut adalah bad faith. Webber melanjutkan: “His discussion of relations between people in Being and Nothingness’ is rather concerned with the way in which bad faith distorts our interactions with one another. He is attempting to identify the underlying cause of interpersonal and social problems.” (Webber, 2007)

Alasan dari banyaknya kesalahpahaman yang terjadi, menurut Webber, disebabkan oleh kecenderungan pembacaan yang keliru atas Being and Nothingness, yang menganggap buku itu sebagai sekumpulan teori-teori tentang berbagai aspek berbeda dari eksistensi kita, ketimbang sebagai suatu penyelidikan yang semakin mendalam dan meluas dari hanya satu teori. (Webber, 2007) Jadi, pembahasan terkait bad faith pada part 1 dalam Being and Nothingnessbersangkut paut dengan pembahasan being-for-others di part 3. 

Sekarang, kita tahu bahwa neraka dalam “Neraka adalah orang lain” akan jadi mungkin apabila terdapat bad faith dalam relasi antar manusia. Artinya, konfliktualitas (conflictuality) dari hubungan antar manusia tidaklah bersifat niscaya selama, bagi Sartre, tidak ada bad faith di antara mereka. Sebaliknya, selama terdapat bad faith, konfliktualitas menjadi tak terhindarkan.

Bahaya laten bad faith

Bad faith (mauvaise foi) secara harfiah berarti adalah iman yang buruk. Romo Setyo, dalam tulisannya, menggambarkan bad faith sebagai sikap tidak mau (bahkan bandel) menerima kenyataan (atau kebebasan inherennya), entah disengaja atau tidak. (Wibowo, 2020)

Satu contoh populer mengenai pola bad faith adalah tentang seorang pelayan kafe, yang berupaya sekuat tenaga merealisasikan esensialitas ke-pelayankafe-an yang diekspektasikan masyarakat, Sartre mengatakan: “He applies himself to chaining his movements as if they were mechanisms, …” (Sartre, 1956).

Tak hanya pelayan kafe, berbagai profesi, status, dan lain sebagainya juga memerankan permainannya masing-masing. Meski pada akhirnya, manusia sebagai being for-itself yang kebebasannya inheren, sedetail apa pun memainkan perannya, tetap tak akan langsung identik dengan itu. Tak selayaknya sebuah gelas sebagai sebuah gelas, yang merupakan being in-itself, identik dengan dirinya.

Akan tetapi, untuk melihat bagaimana bad faith beroperasi dalam relasi antar manusia, kita perlu mulai dari konsep the look. Sederhananya, orang lain di mata kita (atau kita di mata orang lain) telah selalu berada dalam dunia objek-objek, berada di luar kesadaran (consciousness). Dan karakteristik objek/being in-itself, salah satunya, adalah memiliki fixed natures.

Hanya dalam bad faith kecenderungan untuk melihat manusia memiliki karakteristik tetap mungkin terjadi. Jonathan Webber, yang juga senada dengan David E. Cooper dan Hazel E. Barnes, mengatakan: “that in bad faith we see other people as having fix traitsand in bad faith we cannot accept the nature ascribed to us by another personso we seek to undermine their view of us by ascribing certain fixed to them.” (Webber, 2007)

Bagian Akhir

Orang lain menjadi neraka akan mungkin bila bad faith mengungkung kita, dan di dalam bad faith kita cenderung untuk melihat manusia sebagai sebuah esensialitas, suatu yang memiliki karakteristik tetap. Dari situlah konfliktualitas membara, orang lain menjadi neraka.Hell is—Other People bukan phrase yang pesimis, ia adalah peringatan agar relasi antar-manusia tidak konfliktual, bukan sebaliknya. Maka dari itu, lihatlah manusia tidak lagi dalam kungkungan bad faith. Lihatlah manusia beserta dengan kebebasannya yang inheren. 

Khodadad Azizi
Khodadad Azizi

Pekerja tulisan

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.