fbpx

Kritik atas Definisi dalam Pendidikan

Ada banyak ciri khas dalam khazanah pendidikan kita, mulai dari aspek kurikulum, aspek tenaga pendidik, sampai pada aspek pendidik. Namun, satu yang menjadi satu bentuk kesamaan dalam kurikulum pendidikan dunia, yaitu definisi.
Foto Paulo Freire
Foto Paulo Freire

Pendidikan merupakan suatu kebutuhan setiap manusia secara umum guna untuk mendapatkan legalitas pengetahuan. Seseorang menempuh pendidikan untuk mendapatkan berbagai macam pengetahuan sekaligus juga untuk menguji apakah pengetahuan tersebut memiliki sisi pragmatis atau tidak. Pendidikan yang tidak memiliki sisi pragmatis akan diperbarui atau digantikan dengan cabang pengetahuan baru. Meskipun pernyataan tersebut bertentangan dengan implementasinya. Namun kenyataannya, pendidikan kita masih jauh dari kata layak. Bahkan terdapat berbagai praktek ‘amoral’ oleh sistem maupun oleh pengelola sistem itu sendiri justru menodai citra pendidikan yang telah bertahun-tahun melahirkan para pemikir cemerlang sehingga mampu mengubah dunia.

Ada banyak ciri khas dalam khazanah pendidikan kita, mulai dari aspek kurikulum, aspek tenaga pendidik, sampai pada aspek pendidik. Namun, satu yang menjadi satu bentuk kesamaan dalam kurikulum pendidikan dunia, yaitu definisi. Definisi selalu menjadi awal dari pembuka suatu informasi yang menjelaskan pengetahuan tertentu, lalu disusul dengan contoh dari aplikasi pengetahuan tersebut. Hal ini akan dengan mudah kita temui dalam buku-buku pelajaran anak sekolah dasar dan menengah, bahkan sampai pada tingkat perguruan tinggi. Meskipun ada beberapa dosen yang kiranya tidak terlalu memperhatikan urgensi dari adanya definisi itu sendiri.

Definisi menjadi sebuah titik di mana pendidik mulai memberikan arahan dan bimbingan akan suatu pengetahuan terhadap pihak terdidik. Dengan memberikan pengetahuan dasar melalui definisi, maka terdidik bisa mengetahui garis besar dan dasar dari pengetahuan yang dipelajarinya. Selain itu, tidak semua terdidik mampu untuk memahami, atau bahkan mengetahui dengan bukan sekedar tahu akan urgensi dari apa yang dipelajarinya. Definisi membuat kedua pihak, ialah pendidik dan terdidik, menjadi lebih mudah dalam menjangkau pengetahuan yang diinginkannya. Definisi memudahkan pendidik untuk memberikan pengajaran terhadap terdidik dan sebaliknya, dengan definisi, terdidik juga akan lebih mudah untuk menangkap pengetahuan yang diajarkan oleh pendidik.

Namun, hal ini membawa sebuah problem kecil atas kokohnya definisi yang tanpa disadari telah menjadi tolak ukur atas pengetahuan terdidik. Problem tersebut adalah jika kemudian definisi menjadi sebuah tolak ukur pengetahuan terdidik, maka yang terjadi ada klaim kebenaran yang secara otoritas dipegang oleh definisi sebagai pusat pengetahuan. Pernyataan ini menjadi dasar dari timbulnya realitas atas berbagai terdidik yang memiliki potensi berbeda-beda dalam menangkap pengajaran yang mereka terima, begitu juga mengulangi kembali apa yang sudah mereka dapatkan dalam pembelajaran tersebut.

Setiap individu adalah manusia unik, demikian sebutan pada umumnya jika memang mayoritas orang ingin menghindari diksi “aneh” dan menggantinya dengan “unik”. Keunikan inilah yang membuat setiap individu menjadikan dirinya secara alami sebagai ‘berbeda’ dari yang lain, sekalipun sama dalam jenis kelamin, tempat tinggal, makanan sehari-hari, atau bahkan rutinitas yang dilakukannya. Dari keunikan itulah terbawa berbagai hal yang pada nantinya akan menjadi identitas yang membentuk karakter dari individu tersebut.

Keunikan individu inilah yang kemudian membuat otoritas definisi menjadi sebuah problem serius. Setiap individu yang sudah pasti berbeda tentu tidak dapat diseragamkan daya penangkapannya akan pengetahuan yang diberikan oleh pendidik. Paulo Freire memberikan penegasan universal yang dapat dimaknai secara berbeda oleh banyak orang, namun intinya tetaplah sama yaitu bahwa kebebasan pendidikan merupakan bentuk kebebasan yang harus dimiliki oleh setiap orang, khususnya oleh terdidik. Kebebasan pendidikan tersebut tidak dapat sekedar dimaknai sebagai penyadaran atas urgensi berpendidikan dalam masyarakat, melainkan lebih dari itu, ada kesadaran akan urgensi perubahan sistem dalam implementasi pendidikan itu sendiri.

Meminjam dari gagasan dari sikap Jacques Derrida mengenai ketertolakan dirinya untuk menjawab ketika mendapatkan pertanyaan mengenai definisi dekonstruksi, memberikan penegasan bahwa lingkup atau cara manusia untuk dapat mencapai pengetahuan sangat beragam, dan definisi tidak dapat memenuhi seluruh keragaman dari cara mencapai individu akan pengetahuan itu sendiri. Problem ini kemudian tidak lagi hanya mengganggap kurikulum sebagai inti permasalahan, melainkan lebih dari itu, yaitu sistem yang memainkan peranan dalam membentuk kurikulum itu sendiri serta aturan yang berlaku di dalamnya.

Karena itu, perlu bagi setiap pendidik untuk memberikan demarkasi akan keterikatan terdidik terhadap hal yang dimaksud sebagai definisi. Problem awal dalam aspek pendidikan telah jelas, yaitu penghapusan segala bentuk otoritas kebenaran yang akan mengarahkan orang pada doktrinasi terhadap sistem pemahaman. Dampak yang timbul tentu jelas, yaitu lahirlah keterbatasan pribadi kreatif pada setiap orang, sekaligus juga munculnya paham universal yang menimbulkan kekakuan pemahaman, sehingga membuat daya pikir akan menurun atau bahkan hilang. Hilang bukan karena menghilang, tetapi karena dihilangkan oleh sistem itu sendiri yang terus berjalan melewati ruang waktu.

Definisi kemudian berada pada titik “tidak penting” lagi dalam aspek pengetahuan. Bukan karena definisi tidak memiliki sisi pragmatis, melainkan karena definisi menimbulkan adanya universalitas dalam bacaan atau inti dari pengetahuan, yang pada akhirnya dapat menjadi otoritas kebenaran yang harus dipatuhi. Dalam alam pikir para dewasa yang mempergunakan akalnya sebagaimana mestinya mungkin bukan suatu masalah besar, namun pada anak-anak dan remaja, hal tersebut merupakan masalah serius yang perlu untuk dikaji kembali.

Referensi:

Al-Fayyadl, Muhammad. Derrida. Yogyakarta: LKiS, 2005.

Freire, Paulo. Pendidikan Yang Membebaskan. Jakarta Timur: Penerbit MELIBAS (Media Lintas Batas), 2001.

Lutfi Mahendra

Lutfi Mahendra adalah mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content