Hukum dan moral menjadi sebuah tema diskursus dan ketegangan yang bersifat abadi (perennial). Gairah tersebut tidak dapat dilepaskan dari ketegangan dua arus pemikiran besar dalam hukum, yaitu aliran hukum kodrat (natural law) dan aliran positivisme hukum (legal positivism). Bagi aliran hukum kodrat, hukum itu memerlukan moralitas (quid leges sine moribus). Sebaliknya, menurut aliran positivisme hukum, hukum itu netral dan bebas nilai, karenanya hukum dan moral serta anasir-anasir non-hukum lainnya harus dipisahkan.
Dalam peta filsafat hukum modern, aliran hukum kodrat tidak senyaring dulu. Aliran ini, sebagaimana variannya yang menempatkan ontologi hukum pada tataran yang abstrak meta-yuridis, mendapat penolakan dan kritik oleh positivisme hukum. Positivisme hukum mengganggap bahwa hukum kodrat bersifat ambigu dan gagal memberikan kepastian hukum yang objektif. Pada titik inilah positivisme hukum lahir sebagai jiwa modernitas.
Bayang-bayang dominasi positivisme memengaruhi sistem hukum modern yang awalnya terbit di daratan Eropa, kemudian diperkenalkan dan masuk ke Indonesia melalui koloni Belanda dengan tujuan untuk mengganti secara berangsur sistem hukum terdahulu yang berbasis tradisi lokal. Masuknya arus utama positivisme hukum secara mekanistik-rasionalistik menimbulkan berbagai patologi: krisis penegakan hukum, buruknya kualitas produk hukum, degradasi moral, dan lain sebagainya. Fokus keilmuan ilmu hukum direduksi menjadi sekedar praktik rutin, serta bagaimana menjadi legal craftmanship dan legal mechanic yang ahli dalam menerapkan suatu peraturan terhadap kasus tertentu, namun tidak dapat mengembangkan dan memperbaiki sistem. Hal ini tidak lain disebabkan oleh corak dan paradigma hukum yang berlandaskan pada pandangan bahwa “hukum adalah untuk hukum”. Sehingga berlakunya hukum positif bukan dari segi materialnya, melainkan dari segi formalnya. Hukum ditaati bukan karena “baik” atau “adil”, melainkan karena ditetapkan oleh penguasa yang sah (law as command of sovereign).
Ideologi kedap moral, ajaran positivisme hukum, mengakibatkan hukum menjadi bersifat teknis-mekanistik, mudah sekali disusupi oleh berbagai agenda tersembunyi, baik pada saat hukum dibuat (law making proccess) maupun pada saat hukum dijalankan (law in action). Oleh karena itu, pada masa krisis di mana hukum tidak lagi dapat secara optimal menjalankan fungsinya, asumsi-asumsi positivisme hukum tetang pemurnian dan kepastian hukum perlu dipertanyakan dan diuji kembali, khususnya apabila dihadapkan dalam konteks negara multikultural seperti Indonesia.
Relasi Hukum dan Moral
Relasi hukum dan moral jauh lebih luas dari sekedar pertentangan pemikiran antara hukum kodrat dan positivisme hukum. Relasi hukum dan moral memiliki hubungan secara dialektis. Hubungan dialektis ini membentuk suatu relasi fungsional resiprokal di antara keduanya. Artinya, ada pengaruh timbal balik antara hukum dan moral dalam berbagai aspek kehidupan manusia, ada kontribusi moral terhadap hukum dan kontribusi hukum terhadap moral. Moralitas suatu masyarakat memengaruhi produk hukum, sedang hukum mempengaruhi pandangan baik dan buruk masyarakat tersebut. Bahkan dapat dikatakan bahwa tidak seorang pun dari positivis hukum yang dapat menyangkal bahwa hal-hal tersebut adalah sebuah fakta, atau bahwa stabilitas sistem-sistem hukum untuk sebagian bergantung pada tipe-tipe kesesuaian dengan moral seperti itu.
Para pemikir positivisme hukum, seperti John Austin dan H.L.A Hart, sebenarnya tidak secara mutlak menolak moralitas (anti-moralitas). Penolakan Austin terhadap moral hukum kodrat lebih bersifat alasan epistemik. Austin tidak menolak maxim hukum kodrat. Bonum est faciendum, malum est vitandum (semua hal yang baik harus dilakukan, dan yang jahat dihindari) tidak disangkal oleh Austin sebagai hal yang esensial dan luhur. Yang ia tolak adalah ukuran-ukuran moral adikodrati yang ada dalam hukum kodrat dipaksakan mengukur validitas positif. Demikian juga dengan Hart, walaupun hukum dan moral berbeda, namun keduanya saling terkait cukup erat. Dan menurutnya, moralitas merupakan syarat minimum hukum. Dengan mengakui posisi moralitas sebagai syarat minimum hukum, Hart berhasil mengatasi kekakuan yang ada dalam legal positivism klasik Austin. Keterpisahan hukum dan moral lebih pada persoalan ukuran validitas, yakni validitas hukum tidak bergantung pada moralitas, melainkan pada keabsahan legalitas.
Terdapat dua gugus masalah yang menyebabkan moral menjadi syarat minimum hukum. Gugus masalah yang pertama adalah menyangkut berbagai fakta natural dalam kehidupan manusia, antara lain: manusia memiliki kerentanan dan mudah terancam bahaya; manusia kurang lebih sama dalam kemampuan fisik dan intelektual; manusia memiliki kehendak baik (good will) yang terbatas terhadap orang lain; manusia memiliki keterbatasan untuk melihat ke masa depan serta untuk mengontrol dirinya; dan sumber daya yang dibutuhkan manusia terbatas kesediaannya. Kedua, adalah keterbatasan dalam hukum itu sendiri. Hukum positif, betapapun lengkapnya, tetaplah terbatas, bahkan selalu tertinggal di belakang kejadian. Hukum positif sebenarnya bersifat reaktif, karena baru dibuat setelah adanya pengalaman buruk yang menimpa diri manusia. Selain itu, kemampuan antisipasi hukum positif terbatas, sehingga banyak kasus yang tidak dapat atau sulit ditangani karena belum menjadi bagian dari hukum. Atas hal tersebut, Hart mengenalkan langkah yang paling logis untuk ditempuh, yakni langkah diskresional.
Tidak jauh berbeda dengan Hart, Lon Fuller membagi dua jenis moralitas hukum, yakni moralitas internal dan moralitas eksternal. Moralitas eksternal (external morality) berkaitan dengan masalah yang terkait isu-isu keadilan, hak asasi manusia, solidaritas, dan empati pada kaum tertindas. Sedangkan moralitas internal (internal morality) berkaitan dengan prinsip-prinsip hukum yang baik, di antaranya adalah: (1) harus ada peraturan terlebih dahulu, berarti bahwa tidak ada tempat bagi keputusan-keputusan secara ad-hoc, atau tindakan-tindakan yang bersifat arbitrer; (2) peraturan itu harus diumumkan secara layak; (3) peraturan-peraturan itu tidak boleh berlaku surut; (4) perumusan peraturan itu harus jelas dan terperinci, artinya harus dapat dimengerti oleh rakyat; (5) hukum tidak boleh menjalankan hal-hal yang tidak mungkin; (6) aturan-aturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang dapat dilakukan; (7) peraturan harus tetap, tidak boleh sering diubah-ubah; (8) harus ada kesesuaian antara tindakan-tindakan para pejabat hukum dan peraturan yang telah dibuat.
Prinsip-prinsip moralitas internal tersebut apabila dicermati jelas mengarah pada legal certainty (kepastian hukum). Selain menekankan kepastian, Fuller juga memberikan keharusan adanya jaminan prediktabilitas, kontinuitas, dan akseptabilitas. Prinsip tersebut baru merupakan pra-kondisi bagi kehadiran hukum yang terlegitimasi. Kehadiran hukum akan terasa lebih bermakna jika disertai dengan aktualisasi moralitas eksternal. Artinnya, hukum dengan mutu kepastian yang berbobot (dalam prinsip internal morality) harus memiliki koneksi yang mutual dengan berbagai nilai yang menjadi bagian dari moralitas eksternal. Singkatnya, hukum yang terlegitimasi adalah hukum yang memiliki kepastian dan memiliki keutamaan-keutamaan bagi kepentingan manusia.
Tanpa harus fanatik berlebihan pada ajaran hukum kodrat yang mengunggulkan supremasi moral, akal sehat siapa pun sulit menerima teorasi tentang kehampaan nilai dalam hukum. Hukum lebih dari sekedar aturan pragmatis untuk menguasi dan mengendalikan. Hukum pada hakikatnya merupakan bagian dari kehidupan sosial, sebagai sebuah pedoman yang harus diikuti. Hukum itu tidak jatuh dari langit atau muncul dalam pikiran ahli hukum, melainkan bagian dari kehidupan sosial yang lebih besar dan luas. Hukum ada tidak untuk hukum itu sendiri, tetapi untuk manusia dan kemanusiaan.
Ilmu hukum adalah ilmu yang tidak teratur dan tentang ketidakteraturan. Karena itu, hubungan hukum dengan relasi lain tidak dapat dipahami secara dogmatik, asimetris, linier, dan mekanistik. Hukum adalah gejala dalam kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, yang mempunyai banyak aspek, dimensi, dan faset. Hukum berakar dan terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan (moral, politik, sosial, budaya, ekonomi, dan lain sebagainya).
Hubungan hukum dan moralitas dapat digambarkan dalam beberapa aspek, pertama, meskipun hukum dan moralitas itu berbeda, tetapi dalam beberapa hal penting memiliki kesamaan, misalnya: memiliki isi yang sama, larangan membunuh dan mencampuri hak milik orang lain misalnya, keduanya dianggap sebagai sesuatu yang penting dalam tatanan sosial. Kedua, hukum dan moralitas memiliki hubungan penting bahkan mutlak, meskipun kemutlakan itu hanya kemutlakan alamiah (natural necessity) bukan kemutlakan logis. Hubungan penting antara hukum dan moralitas dapat dilihat dari kenyataan berikut: (1) Faktanya, hukum mewujudkan cita-cita moral, (2) moralitas dan hukum memiliki hubungan yang independen, (3) hukum harus mewujudkan nilai-nilai moral, (4) nilai moral mempengaruhi hukum, (5) hukum secara definitif, mewujudkan moralitas, (6) dari fakta tentang hakikat manusia dan dunia di mana mereka hidup, aturan hukum dan moralitas memiliki sisi minimum yang sama.
Hukum dan moral, paling tidak, mempunyai persamaan dalam mengatur perbuatan manusia. Hukum mengatur perbuatan manusia sesuai dengan peraturan yang berlaku, yang ditetapkan oleh negara dengan tujuan menyejahterahkan masyarakat serta memberi perlindungan dan keamanan. Sedangkan moral juga merupakan peraturan-peraturan yang mengatur perbuatan manusia tentang prilaku baik dan buruk. Tujuan moral adalah meningkatkan kualitas manusia sebagai manusia. Hukum tidak berarti banyak jika tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas hukum akan kosong. Oleh karena itu, dalam aspek pembentukan ataupun penegakan hukum, hukum dan moral harus terus diperhatikan relasi dialogisnya.
Wacana Otentisitas dalam Konteks Keindonesiaan
Bagi negara-negara hasil aneksasi imperium hukum (Rechtsstaat), tidak dapat dihindarkan jika ajaran positivisme merupakan rujukan resmi utama negara. Perkembangan hukum modern yang bersifat rasional, formal, prosedural menyisakan banyak permasalahan. Permasalahan yang esensial dalam hukum di Indonesia bukan hanya semata-mata terhadap produk hukum yang tidak responsif, melainkan juga berasal dari faktor aparat penegak hukumnya. Karena itu, pengemban hukum harus menghadirkan dimensi dan tatanan hukum yang baik. Pengembanan hukum yang baik itu sesungguhnya dimaksud bahwa hukum itu dibuat dan dijalankan dengan mendasarkan diri pada moralitas bangsa. Pada konteks ini, moralitas bangsa yang dirujuk adalah Indonesia.
Moralitas bangsa Indonesia, yang paling mendasar, berakar pada Pancasila. Pancasila dalam kedudukannya sering disebut sebagai dasar falsafah negara (philosohische Gronslas) dan ideologi negara (staatsidee). Dalam pengertian ini, Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara/penyelenggaraan negara, dengan kata lain Pancasila menjadi sebuah cita hukum (rechtsidee) bangsa. Hukum dan ideologi bangsa memiliki hubungan yang organik. Artinya, bahwa hukum pada hakikatnya tumbuh melalui perkembangan dan menguat dengan kekuatan rakyat (law grows with the growth, and stengthens with the strength of the people). Cita hukum itu akan memengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang memberi pedoman (guiding principle), norma-kritik (kaidah evaluatif), dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penemuan, penerapan hukum), dan perilaku hukum. Cita hukum berfungsi sebagai bintang pemandu (leistern) bagi tercapainya cita-cita masyarakat, kerenanya barulah dapat disebut hukum yang adil jika hukum positif memiliki sifat yang diarahkan oleh cita hukum untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat.
Bagi bangsa Indonesia, Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945, tidak hanya menggariskan tujuan negara namun sekaligus juga menyediakan pokok-pokok kaidah bernegara yang bersifat fundamental (Staatfundamental Norm). Sila-sila dalam Pancasila menjadi kaidah penuntut dan menjadi asas hukum utama dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Hukum dalam konteks ini berfungsi sebagai kaidah transformatif, yakni dalam mentransformasikan nilai-nilai ke dalam hukum positif (mempositifkan), betapapun lengkapnya, tetap saja terbatas. Namun, paradigma sistem logis, yang tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), seringkali menghindari (membaca) fenomena yang terjadi di dalam masyarakat. Karenanya tidak mengherankan jika hukum yang dibuat justru menjadi nir-moralitas.
Konsepsi moralitas memang lebih sebagai sumber makna bagi hukum positif, karena itu berposisi sebagai asas-asas umum (general principles), atau dengan kata lain dapat disebut sebagai bahasa moral atau teks moral. Karena menekankan kandungan moral, pembacaan terhadap teks tersebut hendaknya juga melibatkan dimensi moralitas (moral reading). Dengan demikian, wacana pengembanan hukum yang mendasarkan diri pada Pancasila tidak dapat hanya dibangun dalam satu spektrum yakni peraturan hukum (rules) semata, melainkan juga melalui perilaku hukumnya juga (behavior). Perilaku hukum yang mendasarkan pada Pancasila tersebut dimaksud untuk dapat merespon dan barangkali juga dapat melampaui kekakuan teks otoritatif suatu peraturan hukum. Menegakkan hukum tidak sekedar menerapkan undang-undang, menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan dilakukan dengan penuh empati, determinasi, komitmen, dan dedikasi, sebagaimana otentisitas moralitas tertinggi bangsa Indonesia, yakni Pancasila.
Hubungan hukum dan moral itu jauh lebih luas dari sekedar pertentangan pemikiran aliran hukum. Hukum dan moral memiliki hubungan timbal balik yang membentuk adanya relasi fungsional resiprokal. Konsistensi dialogis antara hukum dan moralitas hendaknya terus dibangun dan dirawat dengan harmonis. Hukum menjadi tidak terlalu berarti, jika tidak dijiwai dengan moralitas. Tanpa moralitas, hukum akan kosong. Dalam konteks keindonesiaan, Pancasila sebagai moralitas tertinggi berfungsi sebagai pemandu (leistern) sekaligus juga menjadi cita hukum bangsa yang luhur. Wacana pengembanan hukum tidak dapat hanya dibangun dalam satu spektrum, yakni peraturan hukum (rules) semata, melainkan juga melalui perilaku hukumnya juga (behavior).
Senarai Pustaka
Bernard Arief Sidharta, 2009, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju.
Brian Z. Tamanahan, 2004, On The Rule Of Law: History, Politics, Theory, United Kingdom, Cambridge University Press.
Charles Sampford, 1989, The Disorder of Law: A Critique of Legal Theory, Newyork, Basil Blackwell.
H.L.A. Hart, 1983, Essays in Jurisprudence and Philosophy, Oxford, Clarendon Press.
H.L.A. Hart, 1994, Concept of Law, Oxford, Clarendon Press, Second Edition
K. Bertens, 2011, Etika, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Cet. Ke-11.
Kennet Einar Himma, Inclusive Legal Positivism, dalam The Oxford Handbook of Jurisprudence and Philosophy of Law, New York, Oxford University Press Inc., 2002.
Lon L. Fuller, 1973, The Morality of Law, New Haven, Yale University Press
Micheal D.A. Freeman, Lloyds: Introduction To Jurisprudence, London, Sweet Maxwell.
Petrus CKL. Bello, 2012, Hukum dan Moralitas: Tinjauan Filsafat Hukum, Jakarta, Erlangga.
Richard A. Posner, 2001, Frontiers of Legal Theory, Harvard University Press.
Ronald Dworkin, 1996, Freedom’s Law: The Moral Reading Of The American Constitusion, New York, Oxford University Press Inc.
Robin West, 1993, Natural Law Ambiguites, Connecticut Law Review Vol. 25.
Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum dalam Jagat Ketertiban, Jakara, UKI Press.
Soetandyo Wignjosoebroto, 2002, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta, Elsam-HuMa.
Widodo Dwi Putro, 2011, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Yogyakarta, Genta Publishing.
Yovita A. Mangesti, & Bernard L. Tanya, 2014, Moralitas Hukum, Yogyakarta, Genta Publishing.
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.