Memasuki era digital, manusia perlu memahami ulang siapa dirinya sendiri. Keperluan itu hari-hari ini sangatlah mendesak, sebab teknologi tampaknya lebih mendominasi alam semesta ini dibandingkan dengan manusia itu sendiri, terutama apa yang disebut oleh Medhy Aginta sebagai Homo Digitalis atau manusia yang lahir, besar atau hidup berbarengan dengan perkembangan teknologi digital (Hidayat, 2018).
Jika kita bertanya, apa itu manusia? maka jawaban paling sederhananya adalah bahwa manusia itu adalah makhluk hidup, atau dengan cara menunjuk diri kita sendiri.
Pertanyaan mulai larut untuk dijawab ketika kita mengatakan ‘apa yang menjadi sebuah perbedaan antara kita dengan binatang atau tumbuhan? bukankah mereka pun adalah makhluk hidup? di sinilah letak pentingnya pengenalan diri manusia kepada manusia itu sendiri. Sekalipun topik pembahasan mengenai manusia sudah menjadi bagian dari ilmu lainnya, seperti kajian sosiologi misalnya, tapi hal ini tidak mampu menjawab pertanyaan mendasar sebagaimana dituliskan di muka, melainkan hanya jawaban yang mengandung aspek sosial saja.
Sebagai seorang tenaga pendidik di sekolah kejuruan, berdasarkan perhatian saya terhadap peserta didik saya selama di sekolah, saya banyak menemukan bahwa mereka kehilangan diri mereka sendiri, diri mereka sesungguhnya telah lenyap dimakan oleh teknologi. Dalam kondisi apapun, mereka seringkali menyempatkan untuk membuka gawai, yang dilakukan bisa saja berbeda, dimulai dari sekedar membuka instagram atau tiktok, membuka twitter, membuka whatsapp sampai bermain game.
Jika kita bertanya kepada mereka, kenapa mereka melakukan hal-hal semacam itu, mereka akan menjawab ‘tidak tahu’ dan disinilah letak persoalannya. Mereka melakukan sesuatu berdasarkan ketidaktahuan dan jelas ini bermasalah sebab jika seperti itu, apa bedanya mereka (manusia) dengan domba yang hendak disembelih di hari raya idul adha. Bukankah domba tidak tahu apa yang sedang dilakukannya? mereka hanya menuruti tuannya yang sedang menarik tali yang terikat di lehernya.
Lebih jauh dari itu, Medhy Aginta mengatakan persoalan yang cukup serius atas masalah Homo Digitalis ini. Dengan mengutip pandangan Jean Baudrillard, Medhy mengatakan bahwa Homo Digitalis memasuki ruang simulacra, yakni ruang abstrak yang dipenuhi dengan teka-teki yang tidak jelas untuk membedakan mana sesuatu yang benar dan mana sesuatu yang salah. Ruang abstrak yang dimasuki itu kemudian menghantarkan mereka kepada posisi hiperrealitas, di mana mereka merasa lebih real ketika sedang berada di dunia maya atau dunia digital dibandingkan di kehidupan nyata (Hidayat, 2018).
Al-Qur’an surat al-Jatsiyah ayat 13 mengatakan bahwa alam semesta dan seisinya ditundukkan untuk mengangkat harkat martabat manusia. Dalam ayat yang sama, hal itu dimaksudkan agar manusia tidak terbelenggu oleh sesuatu lain yang ada di alam semesta sehingga dia menjadi orang yang merdeka, yakni orang yang tidak terbelenggu sesuatu yang menurunkan dimensi kemanusiaannya (Madjid, 2004). Hal yang membedakan antara manusia dengan sesuatu lain yang ada di alam semesta ini adalah bahwa manusia memiliki jiwa rasional (nafs nathiqah). Ini tentu saja tidak dimiliki oleh sesuatu lain selain manusia (Ramdhani, 2016).
Dalam perbincangan saya dengan seorang dosen ekonomi di program studi manajemen dakwah, ia mengatakan bahwa sekalipun komputer memiliki kemampuan untuk menyimpan segala sesuatu yang tidak dimungkinkan tersimpan di dalam otak manusia, tapi tetap saja komputer tidak mampu memiliki kemampuan untuk menemukan sesuatu yang baru, dan sesuatu yang baru itu hanya bisa ditemukan oleh manusia.
Manusia dengan akalnya itu, amat sangat diperintahkan untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang mendengungkan hal tersebut, dikutip pula misalnya oleh Ibn Rusyd dalam karyanya Fashl al-Maqal, Q.S. Al-Hasyr ayat 2, Fa’tabiru ya ulil abshar dan tentunya banyak ayat lainnya yang ditujukan kepada manusia untuk mempergunakan akalnya guna memahami ihwal alam semesta dan isinya (Rusyd, 1972).
Nurcholis Madjid juga mengatakan hal yang demikian sama, dalam bukunya Pintu-pintu Menuju Tuhan, dia berpandangan bahwa manusia, terlebih seorang muslim, memerlukan sebuah ilmu pengetahuan untuk menjalani hidup dengan benar. Hal itu dimungkinkan sebab manusia memiliki akal, sesuatu yang khas manusia, dan di dalam diri manusia itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Mulyadhi Kartanegara, tersimpan semua jiwa lainnya yakni jiwa mineral, tumbuhan dan binatang yang masing-masing memiliki pengertian dan kualitas tertentu (Madjid 2004).
Pandangan di atas mengisyaratkan bahwa manusia itu adalah makhluk sempurna ciptaan Tuhan, ini akan menjadi gagal apabila manusia tidak mempergunakan akalnya lagi (Madjid, 2008).
Mungkin saja akan ada yang berkomentar bahwa mereka yang bermain gawai juga menggunakan akalnya. Tentu saja ini akan dengan mudah dibantah dengan mengatakan bahwa bermain ponsel sebagaimana yang peserta didik saya lakukan, bisa saja dilakukan oleh seorang monyet di kebun binatang. Jadi itu tidak memerlukan akal, karena daya yang berjalan ketika itu adalah daya insting berdasarkan kinerja indera batin, yakni khayal dan wahm.
Jiwa rasional itu, perlu digunakan oleh manusia, selain untuk menjadi manusia, penggunaan terhadap kualitas jiwa rasional adalah bentuk rasa syukur kita kepada Tuhan atas anugerahnya itu. Murtadha Muthahhari dalam bukunya Teori pengetahuan yang diterjemahkan oleh penerbit Sadra, dengan terlebih dahulu mengutip al-Qur’an surat an-Nahl ayat 78, mengatakan bahwa perintah bersyukur atas pelbagai instrumen pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan itu bukan hanya sebatas ucapan ‘aku bersyukur’ melainkan harus digunakan dalam tataran aksi, yakni penggunaanya untuk memperoleh pengetahuan sebagaimana adanya dan sebagaimana harusnya (Muthahhari, 2019).
Pengetahuan sebagaimana adanya itu tidak mungkin dilakukan oleh makhluk lain selain manusia, sebab kinerjanya barangkali membutuhkan pemilahan dan analisis yang hanya bisa dilakukan oleh manusia. Sedangkan indera, baik lahir maupun batin, hanya dapat disebut tahap pertama saja dalam pengetahuan, dan analisis hanya dapat dilakukan oleh manusia yang dalam hal ini memiliki nafs nathiqah (Muthahhari, 2019).
Ketika manusia sudah tidak lagi menggunakan akalnya, maka dia melakukan kesalahan fatal yang berturut-turut. Pertama dia tidak bersyukur atas anugerah instrumen pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan. Kedua dia menjadi terbelenggu dan tidak merdeka, padahal posisinya di alam semesta ini adalah sebagai khalifah dan ketiga dia akan turun derajatnya menjadi binatang (Madjid, 2008).
Mengenai argumentasi ketiga ini, kita bisa melihatnya dari argumen yang dipaparkan dengan sangat elok oleh Ibnu Sina mengenai jiwa. Bagi Ibnu Sina, manusia adalah makhluk dua dimensional yang terdiri dari jasad dan jiwa. Jiwa adalah substansi dari manusia, di mana tanpa jiwa, manusia tidak akan bisa melakukan apapun. Ini terlihat dari manusia yang sudah meninggal dunia, sekalipun jasadnya ada, karena jiwa sudah meninggalkan jasad, maka manusia itu sudah tidak bisa lagi melakukan apa-apa (Ramdhani, 2016).
Jiwa dalam kajian Ibn Sina itu terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama jiwa dengan tingkat tumbuhan. Jiwa ini ada pada setiap tumbuhan, fungsinya adalah untuk makan, reproduksi dan tumbuh (Nasr, 2020).
Berikutnya Ibn Sina mengatakan bahwa ada tingkat yang lebih tinggi dari jiwa tumbuhan, yakni jiwa binatang. Pada jiwa binatang memang terdapat jiwa tumbuhan, karena itu setiap binatang pun memiliki kualitas jiwa sebagaimana tumbuhan, yakni tumbuh, makan dan reproduksi. Namun ada yang khas pada jiwa binatang itu yang tidak terdapat pada tumbuhan, yakni gerak dan persepsi (Kartanegara, 2003).
Binatang bisa bergerak, itu jelas adanya di realitas. Misalnya ketika hujan dan petir saling bersahutan, tentu saja tumbuhan akan diam di tempat dan tidak berlarian sebagaimana binatang. Kemudian binatang juga mampu mempersepsi sesuatu, daya persepsi ini dimiliki binatang melalui adanya indera lahir dan batin (Kartanegara, 2003).
Indera lahir terdiri dari penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan pengecap. Adapun indera batin itu terdiri dari al-hiss al-musytarak yang terjemah bebasnya adalah indera bersama. Indera bersama adalah indera yang mampu menangkap sesuatu secara bersamaan melalui indera lahir yang berbeda. Misalnya ketika kita sedang melihat konser musik, paling tidak saat itu ada dua indera lahir yang sedang bekerja, yakni penglihatan dan pendengaran. Penggabungan perolehan dari dua indera menuju akal adalah indera bersama, sebab jika tidak ada daya ini, niscaya informasi dari dua indera lahir itu datang secara acak ke dalam akal dan tentu saja itu akan menjadi mudharat bagi manusia (Kartanegara, 2003).
Indera batin lainnya yang dimiliki oleh manusia adalah khayal. Khayal adalah indera yang fungsinya adalah menyimpan bentuk sesuatu, apapun itu, selagi masih bisa terindera karena itu kita bisa mengetahui bentuk laptop, bentuk rokok dan bentuk-bentuk lainnya. Kemudian ada indera batin yang menangkap makna dari suatu bentuk, itu dinamakan wahm. Berkat daya inilah binatang bisa mengetahui bahwa ketika kita mengambil batu dia akan lari ketakutan sebab sebelumnya dia pernah dilempar oleh batu (Kartanegara, 2003).
Dalam hal ini, khayal yang ada pada binatang menangkap bentuk kita, bentuk batu, dan wahmnya itu menangkap makna bahwa kita hendak melempar dirinya dengan batu, oleh karena itu dia akan lari.
Kemudian ada indera batin yang berfungsi sebagai pemersatu bentuk, itu disebut mutakhayyilah. Daya ini bisa menggabung-gabungkan sebuah bentuk. Agak sulit mencontohkannya apabila terjadi pada binatang. Namun karena daya ini juga ada pada manusia, akan lebih mudah memberikan contoh dengan anime One Piece misalnya. Sang pembuat anime berhasil menggabungkan konsep manusia dan karet pada karakter Luffy. Oleh karena itu, Luffy adalah manusia karet. Hal itu terjadi karena manusia memiliki daya mutakhayyilah atau lebih tepatnya jika diterapkan pada kajian manusia, disebut dengan mutafakkirah (Kartanegara, 2003).
Yang terakhir dari indera bathin adalah daya menyimpan makna yang ditangkap oleh wahm, yakni al-hafizhah. Berkat daya inilah seekor anjing misalnya akan lari ketakutan ketika kita mengambil batu walaupun kita tidak berniat untuk melemparnya. Karena anjing itu memiliki pengalaman menangkap sebuah makna mengenai apa yang kita lakukan, yakni mengambil batu, maka anjing itu akan lari sebab dalam pengalamannya itu seseorang yang mengambil batu akan melemparnya (Kartanegara, 2003). Itulah kualitas daya yang dimiliki oleh binatang. Sebelum melanjutkan lebih jauh, perlu diketahui bahwa kedua daya jiwa yang telah dijelaskan di atas juga terdapat pada jiwa manusia. Jadi jiwa manusia itu paket komplit, di dalamnya terdapat jiwa tumbuhan dan jiwa binatang.
Perlu diketahui pula indera adalah pintu pembuka pengetahuan bagi manusia. Oleh karena itu, jika inderanya rusak, maka manusia menjadi merugi sebab sebagaimana diktum Aristoteles yang dikutip oleh Ibn Sina bahwa ‘barangsiapa yang kehilangan satu indera, maka kehilangan satu pengetahuan’. Jadi karena Ibn Sina adalah filosof Islam paripatetik, relasi antara pengetahuan empirik-indrawi dengan pengetahuan yang telah mengalami abstraksi oleh akal adalah niscaya (Muthahari 2019).
Dalam kaitannya dengan indera lahir dan bathin sebagaimana sudah dijelaskan, mengingat indera adalah pembuka pengetahuan maka itu cukup satu kali saja dilakukan. Misalnya ketika kita hendak mengingat sebuah rokok, maka kita tidak perlu melihat rokok itu lagi, sebab sebelumnya kita telah melihat rokok. Kecuali jika kita lupa terhadap rokok itu sendiri. Ini berlaku pada konsep-konsep pengetahuan yang tadinya ada dalam pikiran kita kemudian hilang, oleh karena itu kita perlu mempelajarinya kembali.
Mengenai jiwa manusia, karakteristik yang menjadi khasnya adalah bahwa dia bisa berpikir. Oleh karena itu sering pula disebut dengan jiwa rasional atau nafs nathiqah. Jiwa ini terbagi menjadi dua, yakni jiwa teoritis dan praktis (Kartanegara, 2003).
Jiwa teoritis itu memiliki beberapa tahapan, pertama disebut dengan aql hayulani yakni akal dengan kualitas aksiomatis atau akal permulaan saja. Aql hayulani dimiliki oleh setiap manusia sejak ia lahir, namun karena sifatnya potensial, manusia saat waktu dini masih banyak direpresentasikan oleh jiwa binatangnya ketimbang jiwa rasionalnya. Oleh karena itu pula, aql hayulani ini sering disebut sebagai akal potensial (Ramdhani, 2016).
Disebut aksiomatis sebab pada tahapan akal ini manusia sudah dapat membedakan sesuatu yang tidak memerlukan penalaran filosofis, seperti bahwa sepuluh itu lebih besar dari satu dan lain sebagainya (Ramdhani, 2016).
Tahapan selanjutnya adalah aql bil fi’li, yakni akal yang baru mampu berpikir namun jawaban atas apa yang dipikirkan belum tentu ditemukan. Berbeda dengan aql bil malakah yang memiliki keterikatan dengan akal kesepuluh dalam konsep emanasi Ibn Sina dan akal kesepuluh itu memiliki kaitan secara inheren dengan akal pertama yang disebut sebagai Tuhan atau materi pertama di mana pengetahuan dapat dengan mudah ditemukan. Terlebih aql bil malakah ini memiliki hubungan dengan aql fa’al yang diidentikkan dengan malaikat Jibril (Ramdhani, 2016).
Mulyadhi Kartanegara berpandangan bahwa aql bil malakah itu adalah kualitas akal yang dimiliki oleh para nabi, sufi dan filosof. Namun ketiganya memiliki kualitas yang tetap saja berbeda (Kartanegara, 2003).
Para filosof sufi, sekalipun memasukkan konsep kasyaf atau pengalaman spiritual dalam pengetahuannya yang dikenal dengan konsep al ‘ilm al-hudhuri, tetap saja kualitasnya di bawah para nabi yang pengetahuannya langsung bersumber dari Allah. Namun yang perlu diketahui dalam hal ini adalah bahwa kedua pengetahuan yang berdasarkan pengetahuan kehadiran itu pasti benar, itu baru memiliki kemungkinan untuk salah jika disampaikan ke realitas.
Karena itu, bukanlah sesuatu yang mengherankan apabila dalam sejarah tasawuf terdapat seorang tokoh bernama al-Hallaj yang dibunuh setelah mengatakan sebuah adagium ana al-haqq. Hal itu bagi saya benar diperoleh oleh al-Hallaj, namun sayangnya al-Hallaj tidak mampu dengan secara benar untuk mengargumentasikannya.
Karena itu pula lah Sayyed Hossein Nasr, dengan mengutip Suhrawardi, mengatakan bahwa pengalaman spiritual atau kasyaf adalah tingkat pengetahuan manusia yang paling tinggi namun dia tetap menekankan aspek penalaran filosofis dalam penyampaiannya (Nasr, 2020).
Kembali kepada persoalan manusia sebagaimana saya paparkan di atas. Manusia telah terjebak pada jurang kepalsuan teknologi, terutama para penikmat media sosial. Jangankan untuk mencapai kasyaf, jiwa rasional mereka pun patut untuk dipertanyakan. Dikatakan tidak mungkin untuk mencapai kasyaf karena kasyaf memerlukan hati yang bersih dan media sosial tentunya akan sangat merusak hati manusia. Sampai saat ini, saya belum pernah menemukan orang yang berhasil memiliki pikiran atau hati yang jernih tanpa melakukan puasa media sosial.
Puasa media sosial adalah sebuah upaya yang harus dilakukan para penikmat media sosial untuk memperbaiki dirinya, itu juga dilakukan agar manusia menjadi manusia seutuhnya tanpa terjatuh dan turun derajatnya menjadi binatang.
Kenapa puasa media sosial diperlukan? sebab manusia betapapun pengetahuannya mengatakan bahwa media sosial itu tidak baik jika dilakukan secara terus menerus namun kesadaran hatinya masih sangat sulit untuk menjalankannya. Oleh karena itu, diperlukan puasa media sosial untuk mengobati masalah kemanusiaanya itu agar dia mengenal dirinya sendiri. Ada sebuah adagium dari Rasulullah Muhammad yang dikutip oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya Kimiya As-Sa’adah, yakni ‘Siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.
Puasa media sosial ditujukan untuk manusia agar mengenal dirinya sendiri. Tanpa melakukan puasa media sosial, mustahil para penikmat media sosial itu akan berhenti bermain gawai.
Hal ini juga harus diorientasikan kepada sesuatu yang menjadi tujuan akhir hidup manusia. Oleh karena itu, dengan puasa media sosial, selain akan menguntungkan bagi dirinya juga akan bernilai pahala. Nurcholis Madjid mengatakan segala sesuatu yang kita lakukan harus berorientasi kepada Allah untuk menggapai ridha-Nya. Hanya dengan itulah puasa media sosial akan bermanfaat dan bernilai tinggi.
Puasa media sosial dilakukan untuk memperbaiki krisis jiwa rasional seorang manusia terutama kepada mereka penikmat media sosial. Tanpa melakukan puasa media sosial, yang berarti tidak bermain media sosial sama sekali, minimal selama 3 bulan untuk membuat sebuah habit baru, jiwa rasional mereka akan tetap berada pada sebuah krisis yang pada tataran tertentu akan menjauhkan mereka dari tujuan hidupnya, yakni ridha Allah.
Sekalipun sulit, namun dengan kemampuan rasional yang dimilikinya ditambah dengan taufik dan hidayah dari Allah maka seharusnya puasa media sosial dapat dilakukan dengan hati yang tegar, kuat dan pasrah kepada Allah. Sikap pasrah ini oleh Nurcholis Madjid disebut sebagai Islam, jadi puasa media sosial juga bisa mengandung makna berislam.
Referensi
Hidayat, Medhy Aginta. 2018. Homo Digitalis: Manusia dan Teknologi di Era Digital. Yogyakarta: Penerbit Elmatera.
Kartanegara, Mulyadhi. 2003. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Penerbit Mizan.
Madjid, Nurcholis. 2008. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: PARAMADINA.
—. 2004. Pintu-pintu Menuju Tuhan. Jakarta: PARAMADINA.
Muthahari, Murtadha. 2019. Teori Pengetahuan: Catatan Kritis Atas Berbagai Isu Epistemologis. Jakarta: Sadra Press.
Nasr, Sayyed Hossein. 2020. Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam. Yogyakarta: IRCISoD.
Ramdhani, Dani. 2016. Risalah Pengetahuan Ibn Sina. Ciputat: Cakrawala Budaya.
Rusyd, Ibn. 1972. Fashl al-Maqal fi Ma Baina al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal. Kairo: Dar el-Ma’arif.
Muhammad Rifki Ramdhani
Mahasiswa Pascasarjana Filsafat Islam di Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra Jakarta. Penulis buku Humanisme ZIS Chapter I: Risalah 700 Umat Terberdayakan, Humanisme ZIS Chapter II: Risalah Raga dan Rasa, dan Kupinang Kau dengan Filsafat.
- 10/11/2024
3 Responses
Singkat dan komprehensif! Alhamdulillah saya tengah puasa media sosial selama 3 tahun ini, dengan mengeliminasi informasi-informasi semu yang tidak perlu, bahkan hampir nihil akun sosial maya. Berpegangteguhlah dengan ayat-ayat Al-Qur’an, dan dalam konteks ini saya mengingat-ingat Al-Munafiqun ayat-ayat terakhir. Terima kasih.
Kembali kasih, Bung. Semoga dapat hikmah yang banyak dari puasa media sosial. Terimakasih telah membaca tulisan saya, semoga tidak merasa puas.
Kembali kasih bung